Entitled24

47 9 1
                                    

Bukan noda darah yang menyadarkannya lebih dulu. Tapi Monice kenal benar suara yang barusan ia dengar, rintihan sakit. Dokumen yang sudah ia kumpulkan itu terlepas dari tangannya yang lemas. Detak jantungnya memburu. 

"Mo_nice ini bukan apa-apa, aku hanya terluka sedikit dalam perjalanan." Ji berjalan mendekat, memegang pundak Monice. "Aku tidak apa-apa.." Jemari Ji menghapus jejak air matanya lembut kemudian memeluknya.

Gadis itu hening sejenak kemudian mendorong dan mengudarkan pelukan Ji. Wajahnya yang pucat membuat Ji merasa begitu bersalah. 

"Aku akan membantu mengganti perbannya." Ia menggandeng tangan Ji dan berjalan menuju ruang kerja Ji. 

Awalnya Monice berjalan dengan cepat, tapi menit berikutnya kakinya yang gemetaran itu terasa tidak berenergi. Ji bisa merasakan tangannya yang bergetar semakin hebat. 

Ketika masuk ke istana dan tidak lagi diantara orang banyak, Ji berhenti berjalan. Ia menahan tangan Monice sehingga ia juga berhenti berjalan. 

Ji menarik tangan Monice, dan mengangkat tubuh Monice ke gendongannya. "Pangeran Ji!" Ia setengah memekik dengan napasnya yang tersengal. 

Ji mengulum senyum, "Kubilang aku baik-baik saja. Aku masih bisa berlari naik gunung dengan tas batu, jadi tenanglah sedikit." Meskipun sedikit pincang, Ji tidak mengurangi tempo jalannya. Mengingat apa yang gadis itu lakukan untuknya membuatnya tersenyum halus. Ia mencium kening Monice. "Langsung katakan padaku lain kali," Monice bersuara kecil. 

"Iya." 

Disisi lain Andrass mengambil kembali dokumen yang Monice jatuhkan. "Rey, sekarang begitu aku yang mengambilnya kau tidak membantu?" Ia menatap Rey dengan senyuman sarkas. Rey hendak membantu, "Sudahlah tidak perlu" tetapi kembali menarik tangannya dan menghela napas kesal. 

"Aku bantu." Ai ikut berjongkok dan membantu Andrass menatanya membuat keadaan jadi semakin canggung. "Pemimpin harus melayani bukan dilayani." Ai tersenyum dan menyerahkan kertas itu pada Andrass. 

Andrass tersenyum miring mendengarnya kemudian berdiri. "Berkat dan kelimpahan bagi Kerajaan Emeria." Ia menunduk ketika Ai melanjutkan jalannya. 

"Apa ada yang makanan yang kau suka Rey? Aku akan melayanimu." Telinga Rey langsung memerah karena marah dan malu. "Heheh, bercanda," kekeh Ai kemudian meneruskan jalannya. 

Andrass menegakkan kembali tubuhnya, melihat Rey berjalan mengikuti Ai. Ia menggelengkan kepalanya. Terlalu psiko!

Suasananya hening, hanya sesekali terdengar desisan Ji saat Monice mengobati lukanya. Andrass yang juga bernapas diruangan yang sama harus bersabar melihatnya. "Ikat yang kencang, supaya dia tidak bisa keluar dari ruangan ini sekalian," ucap Andrass yang menyilangkan tangan di dada sambil bersandar pada rak buku. 

Monice memerban ulang dengan rapi, kemudian menurunkan gulungan celananya. "Em, terima kasih." Ji menatap Monice yang tidak mengeluarkan suara apa-apa. Ia melirik Andrass, mungkin yang dikatakan Andrass benar, gadis itu marah tidak ingin berbincang dengannya. 

Sementara Andrass hanya mengangkat alisnya, seolah berkata "Apa lu?". Ia merasa sudah dipamer-pameri melihat kegiatan mereka berdua. Ia melepas sandarannya dan berjalan duduk ke sofa, berhadapan dengan Monice. "Aku sudah meletakkan dokumenmu di meja." Perkataan itu hanya dibalas anggukan. "Pangeran Ji, aku akan kembali ke restoran." Monice berdiri, senyum tipisnya terlihat agak dipaksakan. 

"Hn? Oh, kau tidak ingin lebih lama disini?" Ji menatap Monice yang hanya diam dengan ekspresi datarnya. "M_maksudku Andrass mungkin akan kesulitan membantuku," Andrass menatap Ji tega. Meskipun ia lebih lambat sedikit daripada Monice dalam urusan menulis, ia sudah membantunya dengan baik selama ini. 

Monice menggeleng, "Tidak." Ia kembali memaksakan senyumnya dan berjalan keluar dari ruang kerja Ji. 

"Hoho. Anda pantas ditinggal." Ji menghela napas lagi mendengar ejekan Andrass. Sudah dua tahun ini dia harus mendengar setiap ocehan Andras beserta sumpah serapahnya. Ajudannya itu memang nakal, tapi ia bisa dipercaya. 

Sementara Monice kembali masuk ke restoran miliknya, membuka pintu mengakibatkan suara gemerincing. "Selamat da_" Pramu saji yang juga seorang pelayan pribadi Monice segera melepas celemeknya, bersiap kembali bekerja. "Nona Monice, Anda sudah kembali, apa terjadi masalah?" Pelayannya itu sudah hapal, biasanya Monice akan bermalam di istana prajurit ketika jadwalnya di istana sama dengan Pangeran Ji. 

Setahunya, hari ini Pangeran Ji kembali ke istana.. 

"Tidak ada. Hari ini aku ingin sendirian, kau disini saja." Ia lebih khawatir lagi melihat nonanya terlihat lebih lesu daripada biasanya. 

"Nona, apa Anda tidak sehat? Perlu saya bawakan air hangat?" 

Monice menatap pelayannya yang terlihat begitu khawatir. Ia tersenyum tipis, mengelus lengan pelayannya. "Tidak apa, hari ini kau istirahat juga.." Kemudian ia berjalan menaiki tangga. 

Seluruh bagian dalam bangunan itu ditata sehingga memberikan kesan mewah dan simpe, tapi tidak dengan kamarnya. Ramai. Kamarnya dipenuhi dengan barang-barang pemberian Eli selama 6 tahun bersamanya. Sebelumnya, Sarah yang menyimpan semuanya tapi tidak lagi sejak ia tinggal di bangunannya sendiri. 

Mulai dari diagonal ruang atas sampai ke bawah. Mulai dari boneka beruang yang saat diberikan lebih besar darinya dan masih begitu. Kain tenun yang didapat saat Eli pergi ke luar kota, warnanya ungu bercampur perak. Bisa dibilang semua yang Eli dapat dari daerah yang dikunjunginya terpampang di kamarnya. Bahkan dokumen tua dan surat-surat yang ditulis tangan oleh Eli tertempel jelas di dinding samping pintunya. Bahkan Sarah tidak tahu, hanya Monice, pelayannya yang tadi, aku dan kamu. 

Monice membuka pintunya dan melangkah masuk, menuju ke lemari buku dan mengangkat salah satu buku. Cahaya masuk ke ruang rahasia yang berada di balik rak. Ia menghidupkan empat lilin di dinding kanan dan kirinya kemudian menutup pintu rapat. 

Ia menatap lukisan yang terpampang didepannya. Ia tersenyum tipis menatap kakaknya duduk di kursi dan tersenyum disana. 

"Moca datang." 

Ia menyentuh lukisan itu, menyandarkan badannya. Air matanya selalu turun di hadapan kakaknya. Tangannya gemetaran sambil menahan mulutnya yang ingin berteriak. Baru sebentar saja, kakinya sudah lemas dan ia terduduk di lantai. 

Tidak peduli tiga tahun atau lebih lama lagi. Ia masih tidak rela pelukan hangat kakaknya direbut kematian. Elusan tangan di kepalanya. Senyumnya, tawanya, wajah kecewanya, bahkan bibir basahnya saat menyentuh kulitnya. Suara saat ia memanggil-manggilnya. 

"Aku sayang Moca"

Monice tidak bisa lagi menahan tangisnya agar tidak pecah. "Li_liel.." sudah ribuan kali ia memintanya kembali. "kangen." isaknya. Tapi pelukan itu tidak pernah diterimanya kembali. Kenangan-kenangan indah itu berubah menjadi rasa sakit yang membuatnya semakin gila. 

Ia merasakan apa itu kehilangan. Kehilangan dunianya. Begitu sesak. Ia tidak mau kehilangan lagi, jangan lagi, ia menggeleng ketika sosok Ji terlintas di kepalanya. 

Moca mengangkat kepalanya, menatap Liel. "Aku takut." Sekedar mendengar rintihannya saja ia tidak tahan. "Jangan.." Ia kembali terisak Ji yang selalu ingin melindunginya. "Aku.. tidak ingin-" 

Ia tersengal-sengal, "tidak mau--" "tidak mau--"
"dilindungi lagi"

Ia berhenti sebentar, mengatur napasnya, kemudian kembali menatap mata kakaknya. "Aku tidak ingin_" 

"Aah!" Ia kesal saat napasnya tidak mengizinkannya mengatakan kalimat itu. "Aku_" Kenapa begitu sulit. 

Matanya melihat ke sudut ruangan, tergeletak pedang disana. Ia sudah bersiap. Jika suatu saat ia kehilangan lagi, tidak ada yang bisa menghentikannya di ruangan itu. 



______________________

ᵃᵏᵘ ˢᵉᵈⁱʰ
o(╥﹏╥)o


My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang