Entitled61

51 12 0
                                    

"Hm?" Thea celingak ke kanan dan celinguk ke kiri. "Apa mereka pergi? Kereta kuda dengan simbol kerajaan tidak ada disini.." Thea berjalan dan membuka pintu restoran itu. 

"Travis, apa nona tidak disini?" Thea bertanya pada Travis yang tengah membersihkan meja. 

"Nona diantar Pangeran kemari lalu tiba-tiba Pangeran pergi berwajah marah." 

Thea mengernyit mendengarnya, "Haah?" Ia bertanya-tanya apa mereka bercanda mengartikan wajah senang Ji dengan wajah marah. "Sudahlah, aku akan memeriksanya." Thea berjalan melewati ruangan makan itu dan menaiki tangga. Sementara Andrass juga penasaran apa yang terjadi. 

"Masuk, kau tunggu di dalam." Thea memerintah Andrass ketika membuka pintu ruang kerja Monice. Andrass hanya mengangguk tidak ingin membuat suasana hati Thea semakin buruk. 

"Nonaa~!" Andrass tertawa kecil mendengar Thea bisa tetap menyapa Monice dengan nada yang melengking. 

"No-na?" Thea tidak melihat Monice berbaring di ranjang. Ia hendak kembali keluar dan memeriksa Andrass ketika mendapati ada yang janggal. Ia kembali mengarahkan pandangannya ke rak buku yang bergeser, ruangan rahasia itu dibuka. 

"Nona..? Saya tau anda mungkin tengah sibuk di dalam sana, dan saya tidak boleh mengintip ke dalam.." Thea berdiri di depan pintu, melangkah sedikit mendekati ranjang. "Nona.. kalau Anda dengar, tolong jawab saya.." Tidak ada jawaban, Thea jadi agak khawatir. 

"Nona saya akan mengintip masuk loh ya.." Thea masih ragu apa nonanya akan marah ketika ia mengintip. Kan kalau dipecat bisa bahaya juga. "AAh! NONA!" Thea langsung mendekat masuk dan mengangkat wajah Monice. 

Andrass yang mendengar teriakan itu langsung berlari, membuka pintu kamarnya. "Ada apa?" 

"Nona bangun! BAngun!" Thea mengguncang-guncangkan tubuh Monice. "Andrass.. hiks.. panggilkan dokter, kumohon.." Thea menyentuh wajah Monice dengan lembut, kemudian mengangkat tubuh Monice keluar dari situ. 

Andrass mematung melihat kondisi Monice, wajah dan kulitnya tampak begitu transparan, tidak berwarna kecuali noda darah pada kulitnya. 

"Apa yang kau lakukan? Cepat.. Andrass.." Thea frustrasi melihat Andrass yang malah mematung. 

"En, tunggu." Andrass segera keluar, berlari turun. 

Cove Blaine memeriksa nadinya. Ia juga merasa putus asa. "Bagaimana?" Tanya ratu yang tidak sabar ingin mengetahui kondisi gadis itu. 

Cove melihat ke arah Ji. Sudah jelas Ji menyatakan diri sebagai tersangka ketika wajah yang shock dan tidak tenang begitu. "Kondisinya drop dalam sehari seperti titik awal penyembuhannya." 

"Saya akan memberi herbal yang lebih kuat meskipun efek sampingnya mungkin fatal. Itu lebih baik daripada lukanya tidak bisa ditolong lagi." 

Ratu hanya bisa mengangguk dan Cove keluar membuatkan obatnya. 

Ratu menatap ke arah Ji yang hanya diam dalam shock. "Ji.. beritahu aku apa alasannya.." Ratu tahu itu akibat dari perbuatan Ji. Hanya Ji yang bisa membuat gadis itu begitu sedih. Tidak mendapat jawaban, ratu kemudian melihat keliling kamar Monice. Melihat tulisan-tulisan Eli yang tertempel di dinding. 

Ratu mengerti, "Segera selesaikan keraguanmu." 

Ratu berlalu dari situ, membiarkan Ji berdua dengan Monice. Ji baru ingin mendekat ketika suara Thea memotong. "Keluar." 

Thea berjalan masuk dan tanpa berani menatap Ji, ia mengusirnya. 

Ji menatap Monice, tidak ia tidak ingin pergi lagi. Ia berjalan mendekat sampai ke samping ranjangnya. 

"Brengsek." Emosi Thea jadi kembali naik melihat Ji justru duduk di samping Monice. "Bahkan kalau sampai nona memanggil Anda dengan nama kakaknya pun, Anda harusnya terima." Ia mengatakannya dengan rasa gemas. "Orang lain boleh melakukannya, tapi setidaknya jangan Anda.." 

Thea merasa begitu sesak. 

Ji hanya diam. Kali ini sungguhan adalah kesalahannya. Ia benar-benar menyakiti gadis yang terbaring di ranjang itu. 

"Terserah, aku tidak pernah tahu Anda orang yang tidak tahu diri begini!" Thea keluar dari ruangan itu. Ia tidak ingin menangis tidak jelas di depan orang itu. 

Tangannya menyentuh tangan Monice, dingin. "Monice.." Ji hanya duduk di sebelahnya, terus mengamati gadis itu. 

Monice bisa merasakan ada cairan hangat yang masuk ke kerongkongannya. Rasa hausnya jadi agak berkurang. Awalnya ia tidak merasakan rasa pahit obat itu, sampai kesadarannya perlahan terkumpul dan rasa itu sampai membuat bulu kuduknya berdiri. Ia menekan kedua bibirnya rapat, menutup mulutnya. Obat lagi? 

Tangan Monice menahan tangan ji yang hendak menyuapinya sehingga cairan pada sendok itu kocak dan tumpah. "Monice kau harus minum.." 

Mendengar suara Ji, matanya ia alihkan ke wajahnya. "Ji..?" Monice memproses dulu wajah orang itu kemudian memeluknya erat. 

"Monice" Ia membalas pelukannya sebentar. Mendorongnya dan meminum obat itu, tangannya memegang dagu Monice, membuka mulutnya. "Engh.." Ji membuat Monice meminum obatnya dari ciuman Ji. "Ji_" Monice ingin Ji berhenti, rasanya begitu pahit. Ia tidak bisa bernapas. 

Ji tidak peduli ia menjejalkannya pada Monice sampai obat itu tidak bersisa lagi. 

Mereka saling bertatapan, Ji merapikan rambut yang menempel pada wajah Monice. "Tidur." Ji menemani Monice berbaring, memeluk dan mengelus kepalanya. "Monice.." Pandangan Ji mulai kabur. Pada Monice, dosis obatnya sedikit demi sedikit ditambah sehingga ia membangun kekebalan, tapi tidak pada Ji. 

Tidak apa, ini bukan apa-apa bagi Ji. 

____________

My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang