Entitled15

70 12 1
                                    

Waktu sudah berlalu, musim panas sudah hampir selesai. Raja dan Ratu baru saja selesai berbincang dengan salah satu bangsawan dan hari mulai sore. 

Ji masuk ke ruang aula istana, membuat Ratu langsung berdiri menatap kesal ke arah Ji.

Raja tidak menunjukkan ekspresi yang signifikan, tetapi matanya mendapati sosok kecil bertudung hijau coklat gelap yang mengikuti Ji melangkah masuk.

Tubuh mungil gadis itu ditutupi jubah selutut. Kulit kakinya tertutup stoking hitam dan boots tinggi coklat.

Saat Ji menyampaikan salamnya, sosok kecil itu ikut menunduk, memperlihatkan helai merah muda gelap yang jatuh melewati daun telinganya.

"Hormat, Ayah, Ibu." Ji membalas wajah marah ibunya dengan senyum.

"Apa saja yang kau lakukan meninggalkan tugas istana begitu lama?" Ratu kembali duduk ke kursi tahtanya. "Meskipun kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu, itu sangat tidak bertanggung jawab untuk meninggalkan istana tanpa peringatan."

Ji meletakkan tangan kanannya ke dada kiri dan menundukkan badannya empat puluh lima derajat, "Maafkan kecerobohan saya."

"Hm, jangan mengulanginya lagi." Perkataan Raja itu dibalas keheningan beberapa saat.

"Ah, izinkan saya mengenalkan orang baru saya. Ia akan sering berkeliaran di Istana mengikuti perintah saya. Jadi ada baiknya mengetahui siapa dirinya."

Ji menyerongkan tubuhnya ke samping,
"Kenalkan, Monice, pengawal baruku."

Monice membuka tudungnya, kemudian menekuk satu lututnya ke lantai.

"Berkat dan kelimpahan bagi Kerajaan Emeria." Monice bersuara.

Ratu menyeringai kesal melihat sosok Monice, yang ia anggap sebagai kebodohan anaknya Yo Ji.

"Pengawal?" Ayahnya ikut bertanya melihat sosok perempuan yang tingginya tidak lebih dari 153cm. Dari atas tahta, ia terlihat lebih kecil lagi.

"Ya."

"Perempuan? Sekecil itu? Kau ini mendapat pengawal atau penjaga dapur?!"

Monice tersentak mendengar getakan Ratu Edelweiss.

Monice menoleh heran kearah Ji ketika mendengar suara tawanya. "Sebagai otak perang, saya tidak buta. Saya sudah satu bulan ini bersamanya. Meskipun ia tidak sekuat Eli karena gadis ini masih belia."

Ratu menyipitkan matanya geram, "Bagaimana dengan keluarganya? Keluarga bangsawan mana?"

"Gadis ini pengembara.."

Kesabaran Ratu benar-benar diuji mendengarnya. Tangannya meremat ujung kursi tahta.

"Bangunlah, nak." Raja memerintah Monice untuk kembali berdiri.

"Ji, aku menghargai keputusanmu. Eli adalah anak brilian yang bisa menggantikan tiga pengawal sekaligus." Raja menatap Monice kemudian mata anaknya.

"Angkat Andrass sebagai pengawalmu. Kau boleh mengangkat lebih banyak orang lagi."

Monice mengerti, dirinya kurang layak untuk dijadikan pengawal. Tapi setidaknya ia pernah mengalahkan Andrass dalam latihan tarung. Kalau masalah otak, Monice percaya diri mengalahkan Andrass.

"Dimengerti, Ayah."

"Bagus, apa ada yang ingin kau katakan lagi?"

"Tidak."

"Kau boleh pergi."

.

.

Setelah Ji memberitahu dimana ruang kerjanya, ia menyuruh Monice kembali terlebih dahulu ke Istana Prajurit. Sementara Ji harus mengurus kembali pekerjaan yang tertunda bersama Syd.

Hari masih siang. Beberapa prajurit yang berjaga pasti sudah melihat dirinya. Tapi Istana tetap kosong, hanya terlihat Sarah yang melamun di depan pianonya.

Monice berjalan masuk. Padahal suara sepatunya terdengar keras, tapi Sarah masih belum sadar juga.

Ia meletakkan pedangnya, kemudian berdiri disamping Sarah. Memainkan lagu yang biasa dinyanyikan teman-temannya di tuts tinggi sebelah kanan.

Barulah Sarah merasa ada yang janggal. Ia dengan cepat menoleh, mendapati mata Monice yang fokus ke tuts piano.

"Moca!" Sarah langsung memeluk Monice erat. "Sarah.. aku pulang.."

Sarah melepaskan pelukannya kemudian memeriksa ekspresi Monice. Memeriksa apa gadis itu baik-baik saja. Kemudian memeriksanya dari rambut sampai ujung kaki. Sarah melihat pakaian Monice yang tampak seperti pengembara itu.

"Kau pergi ke mana saja?"

Monice terkekeh, "Dari pakaianku saja sudah terlihat aku habis mengembara."

Monice melepaskan jubahnya. Menunjukkan pakaian hitam dengan sedikit sentuhan warna merah. "Aku mengunjungi Hutan Emeria dua kali." Ia memberitakannya pada Sarah.

"Oh," Sarah barusan tersenyum senang tapi setelah sesaat, wajahnya terlihat marah. "Jadi, apa yang membuatmu memutuskan untuk kembali?" Sarah memalingkan wajahnya.

"Aku diangkat menjadi pengawal pribadi Pangeran Ji oleh Pangeran sendiri." Monice berjalan duduk ke sofa, mengambil biskuit dari toples kaca.

"Begitu.." ucap Sarah tampak tidak perduli dan malah berjalan masuk ke ruangannya.

Monice menatap biskuit di tangannya. Sekilas senyum pahit tergambar di wajahnya sebelum ia melempar biskuit itu keatas dan menangkap dengan mulutnya.

"Sarah.. aku minta maaf sudah membuatmu khawatir," ucapnya menatap arah ruangan Sarah, kemudian ia berjalan menaiki tangga dan masuk ke kamarnya.

Sarah mendengar. Sarah merasa lega, sangat lega. Pangeran Ji berhasil membawa gadis itu kembali. Gadis yang sudah seperti anaknya sendiri.

Monice tidak heran kamarnya masih bersih setelah melihat tingkah laku Sarah. Ia meletakkan pedangnya ke meja lalu menjatuhkan dirinya ke kasur.

Ia mengingat kejadian sebulan yang kini terasa singkat.

"Pangeran Ji."

Ji sudah membukakan matanya kepada dunia. Ia harus belajar membedakan disaat apa ia harus mengalah, disaat apa ia harus melawan.

Matahari masih terang meskipun sinarnya tidak lama lagi akan bersembunyi.

Ia kembali duduk di kasurnya. Baru saja berpikir apa yang harus ia lakukan, Sarah membuka pintu kamarnya dengan steak daging.

"Sarah!" Monice langsung bergairah mencium bumbu daging.

"Kau tambah kurus." Sarah meletakkan nampan itu ke meja.

Melihat gadis itu makan dengan lahap di depannya, Sarah tersenyum. "Moca, kau tidak terluka apapun selama pergi, kan?"

Monice mengangguk. Tangannya ia gunakan untuk menahan rambutnya di belakang telinga.

"Kau makan dengan teratur?"
"Kau tidur dengan nyenyak?"
"Tidak ada orang yang mengganggumu, kan."

Monice menatap Sarah yang memberikan pertanyaan bertubi-tubi. "Sarah.. kenapa kau begitu khawatir? Aku sudah disini dan baik-baik saja.."

Monice tersenyum meyakinkan kemudian melanjutkan makannya.

"Bagus kalau kau baik-baik saja. Selama kau pergi aku sudah membeli beberapa buku untuk kau pelajari."

Monice menatap Sarah. "Sarah, bagaimana dengan manisan??"

Tak!

Sarah memukul dahi Monice dengan jari tengahnya. "Dasar anak nakal!"

Sementara Monice mengusap-usap dahinya membuat poninya berantakan.

My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang