Entitled31

52 10 5
                                    

"Ash!" Monice mengacak mejanya. Tinta di mejanya tumpah. Begitu juga dengan tempat pena yang jatuh dan buku-buku yang berserakan. Thea segera masuk, matanya melihat meja dan buku-buku yang berantakan itu. "Nona Monice, apa ada yang salah?" 

Nonanya itu terlihat marah, tangannya mengepal erat di meja. Ini pertama kalinya ia melihat Monice semarah itu. Matanya merah dan napasnya berat. "Nona.. tenangkan diri Anda.. Ingat kesehatan Anda.." 

"Thea, siapkan kuda untuk ke istana." Monice menyentuh tangan Thea, bersandar padanya. 

Melihat kondisi nonanya yang terlihat bisa jatuh kapan saja, ia menggeleng. "Mau kemana Anda dengan kondisi seperti ini?" Thea tadinya hanya pasrah ketika Monice memaksa kembali masuk ke ruang kerjanya. Itu adalah batasannya. Untuk membiarkan nonanya pergi dan mengambil bahaya di luar: ia menggeleng kuat. Ia tidak ingin menjadi pelayan yang seperti itu!

"Apa kondisi ku penting saat ini?" Ia menatap mata Thea dengan putus asa. "Aku membunuh begitu banyak orang di medan perang.. aku pikir mereka pantas mendapatkannya.." 

"Aku tidak tahu itu semua hanya karangan." Monice menggoyangkan kepalanya, menatap Thea, 

"Aku pikir aku seorang prajurit, tapi ternyata hanya seorang pembunuh.." Mata Monice berkaca-kaca. 

Thea tidak mengerti apa yang nonanya itu bicarakan. Ia mencari hal yang membuat nonanya terlihat begitu pahit. Matanya berhenti pada sobekan kertas di meja, melihat isinya yang berisi kode dan karakter yang ia tidak mengerti. 

Thea kembali menatap ke arah Monice yang berkeringat dingin. "Nona, perang sudah berlalu.. Semuanya sudah aman.." Ia mencoba menenangkan Monice. Tetapi nonanya itu menolak. "Tidak ada yang aman.. Thea.." Suara itu gemetar. Monice menggunakan kedua tangannya bersandar pada meja. Air matanya berjatuhan. 

"Bagaimana ini..?" 

Thea melihat keputus-asaan yang begitu dalam di hadapannya. "Nona..?" 

"Aku merasa akan kehilangan semuanya.." 

Thea menggeleng meskipun ia tidak tau sepenuhnya apa yang tengah dialami nonanya. "Tidak ada yang akan hilang, Nona. Aku tidak akan kemana-mana dan terap berada di sisi Nona." Ia mengatakannya sambil merasa iba. 

Kalimat yang sampai ke telinga Monice itu sampai ke hatinya. Ia menatap Thea, "Aku juga takut tidak bisa menjagamu.." 

Thea tersenyum, "Aku tidak perlu Anda jaga. Aku bisa menjaga diri sendiri." 

Monice ikut tersenyum halus. "Uhuk-uhuk. Uhuk!" 

Mata Thea melebar melihat cairan merah terang itu, "Bicara tentang menjaga orang lain, ketika Anda tidak bisa menjaga diri sendiri?!" Thea yang emosi tidak bisa menahan seruannya. 

Ucapan itu berhasil membuat Monice kembali terkekeh tapi, ia menahannya ketika perutnya serasa diperas. 

"Anda harus beristirahat!!" Suara Thea membuat Monice menutup mata saking kerasnya. 

.

.

.

Andrass mulai kesal. "Aih, Anda mau disini berapa lama lagi?!" 

Sementara Ji hanya makan kuaci sambil duduk di jendela. Ia menikmati angin dan pemandangan kota. 

"Pangeran Ji!" 

"Andrass, anggap saja liburan.." ucapnya sambil terus melayangkan pandangannya ke luar jendela. 

"Pangeran Ji, Anda disini tengah menumbuhkan cinta untuk si putri bungsu atau bagaimana?" 

My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang