Entitled59

43 6 4
                                    

Ji berjalan keluar dari ruang aula dan bersandar di tembok belakang bangunan. Ia menangis. "Ah.." Ia begitu marah, kecewa, juga sedih. 

Andrass yang melihat sosok Ji berjalan dengan wajah hampir menangis itu mengikutinya. 

"Ada apa?" Ia bertanya pada Ji yang sudah duduk bersandar pada tembok. 

Ji mendongak, matanya dipenuhi air mata, dan pikirannya begitu stress. "Eli.. gadis itu sangat kesakitan.. Eli.. aku harus bagaimana.." 

Andrass hanya bisa tersenyum iba dan mendongakkan kepalanya menatap langit agar air matanya tidak turun. "Aah.." Asap putih keluar ketika ia menghembuskan napas. Di mata Andrass mereka berdua itu terlihat malang

Ia merasa bersalah tidak bisa melindungi Monice. Ia merasa kecewa gadis itu tidak mengatakan yang sebenarnya padanya. Ji takut gadis itu menghilang. Tidak apa kalau Eli.. gadis itu jangan. Ia sudah terikat begitu dalam dengannya. Ia begitu merasa bersalah tidak bisa memperlakukannya lebih baik lagi. 

Ji merasa begitu lelah dan kedinginan malam itu.

Tengah malam ketika kembang api mulai dinyalakan dan menggebyarkan langit Ji sudah tidur kelelahan sehingga Andrass harus membopong dan membawanya kembali ke istana. 

Ruiz dan Ai tertidur tanpa sempat menonton kembang api. Sementara raja dan ratu mengurus Monice menjaga agar demam gadis itu turun. 

Rakyat yang menonton kembang api dinyalakan begitu megah tahun ini memiliki perasaan. "Tahun ini adalah tahun yang baik." 

Ruiz dan Ai kembali ke istana di kapital. Mengetahui apa yang terjadi, Ai meminta izin ratu untuk membangunkan Monice. Ratu tidak yakin Monice akan bangun tapi ia membolehkan Ai masuk ke kamarnya. 

Melihat Monice yang terbaring dengan nafas berat di kasur, Ai duduk disampingnya, kemudian membaringkan dirinya. "Monice, ini tidak benar," bisik Ai pelan sambil mengelus pipinya. "Aku dimaafkan.. tapi kenapa kamu malah berbaring disini?" 

"Emh." Monice menggenggam tangannya kemudian perlahan membuka matanya. Menatap Ai agak mengernyit merasakan rasa sakit yang menggerogoti. "Pangeran Ji dimana?" Tanyanya lemah. 

"Ia terkena demam setelah menangis semalaman." 

Monice semakin mengernyit kemudian memposisikan dirinya untuk duduk. Ai ikut duduk mengikuti Monice. 

Ai menatap Monice lembut, ia mencoba memberi tahu, "Monice.. kau takut Ji meninggalkanmu seperti yang lain.. padahal Ji adalah orang yang paling takut kehilangan kamu." 

Monice menunduk. Ia juga agak yakin tentang hal itu. Ia kembali menatap Ai. "Aku ingin bertemu Pangeran Ji." 

"En." 

Monice merasa tenang idenya tidak ditolak hanya karena ia sedang sakit. Ia turun dari ranjangnya, mengambil mantel dan berjalan keluar. Ai mengikutinya dari belakang, mengikuti langkah pelan gadis didepannya. Mengikutinya sampai ia keluar dan masih harus berjalan sampai ke kediaman Ji. Gadis itu kelelahan terlihat jelas dari asap putih yang terus keluar dari mulutnya. 

"Jangan." Ai mencegah Ruiz yang hendak menggendong Monice agar lebih cepat menemui Ji. "Ia tidak selemah itu." Ruiz menatap Monice, berusaha mengerti perkataan Ai. 

Monice memutar knob pintu kamar Ji dan menariknya, berjalan masuk dan menutupnya kembali. 

"Apa maksudnya tidak selemah itu?" Ruiz masih ingin memastikan. 

"Nyatanya ia tidak jatuh dan bisa menjaga langkahnya sampai ke kamar Ji." Ai menatap Ruiz, "Ia tidak mengeluh apapun jadi jangan memperlakukannya seperti orang cacat yang tidak bisa melakukan apa-apa sendiri." Ai kemudian kembali berbalik bersama Ruiz, "Kita pergi besok pagi?" 

"Iya, kau tahan dingin?" 

"Pfft hahah, aneh, aku ini paling suka musim dingin dari ke-empat musim!" 

Ruiz tahu, tapi ia hanya ingin berjaga-jaga. Ia tidak bisa meremehkan radang dingin setelah melihat Monice. 

Monice berjalan mendekat ke arah Ji. Wajah Ji merah dan tubuhnya panas tinggi. Monice tersenyum pahit melihatnya. Ia memeriksa handuk di dahinya yang sudah tidak lagi hangat. Berpikir untuk meminta orang menggantinya. 

Grep. 

"Jangan pergi.." 

Monice tersenyum tipis. "Sebentar." Monice juga ingin demamnya cepat turun. Ia hendak melepaskan pegangan Ji tapi Ji justru duduk dan menarik Monice kedalam pelukannya. "Kau milikku, kau tidak boleh pergi tanpa izinku." 

Alis Monice sedikit terangkat mendengarnya. Benar juga.

Ia mengelus rambut Ji. "Tidurlah, aku akan tetap disini." Kemudian Monice mendorong tubuh Ji dan membaringkannya lagi dan mengangkat selimutnya. Tangan Ji menggenggam tangan Monice, enggan melepaskannya. "Janji?" 

"Janji." 

Monice tertidur dengan posisi duduk bersandar pada ranjang di samping Ji. Andrass yang melihatnya menghela napas. Ia menaikkan Monice ke sebelah Ji. Memastikan keduanya berbaring dengan nyaman sebelum keluar dari kamar itu. 

.

.

Ji terbangun pagi-pagi, memfokuskan pandangannya kemudian beranjak duduk. "Hm?" Tangannya bersentuhan dengan tangan Monice. Ia menoleh. "Monice.." Merapikan surai magenta itu. 

"Monice?" Ia menggenggam tangan Monice erat, mengelus lengannya. "Bangun.." Tapi gadis itu tidak merespon seolah tidurnya begitu dalam. 

Kejadian itu memacu jantung Ji. Ini kah? Yang dimaksud jam tidurnya akan semakin panjang? 

Ji mencium kening Monice, "Mimpi indah." Ia tersenyum tipis kemudian turun dari ranjangnya. 

Beruntungnya ia tidak terlambat untuk menghantar kepergian Ai dan Ruiz. Walau ia tidak bisa menghadiri pernikahannya, ia sudah mengucapkan selamatnya. "Jaga Monice dengan baik," pinta Ai sebelum ia berangkat. 

Ji mengangguk, sepertinya Ai benar-benar merasa berterimakasih pada Monice. "Jaga diri, kak." 

Entah kapan mereka bisa bertemu lagi. Waktu yang Ji habiskan bersama Ai sangat sedikit dan singkat, tapi belum pergi saja mereka sudah merasa akan merindukan satu sama lain begitu dalam. 

Usai, perebutan tahta itu telah usai dengan keberangkatan Ai. Kini ia hanya harus melakukan tugasnya sebagai pangeran dengan baik dan menjaga Monice tetap disisinya. Itu saja. 

Tapi kenapa rasanya lebih berat? Menjaga nyawa gadis itu terasa akan lebih sulit daripada bermusuhan dengan Ai. 

Ia lebih takut kehilangan Monice daripada kehilangan posisinya sebagai putra mahkota. 

Ji berhenti berjalan, berbalik dan menatap Andrass. "Kau ingin posisi ku tidak?" Ia bisa melepaskannya, setidaknya Andrass adalah kandidat yang cukup baik. 

Andrass merasa diejek mendengarnya. Ia tidak tahu apakah itu sarkas atau memang Ji tengah merasa berat. Tapi ia yakin satu hal, "Emeria itu paling membutuhkanmu, Pangeran Ji." 


__________

My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang