Entitled51

43 6 1
                                    

Padahal perasaan ia hanya tidur semalam, tapi sudah seminggu berlalu. Sejak terbangun, baik Ji dan Andrass belum menemuinya sama sekali. Ia hanya terus berdua dengan Sarah, sementara Sarah terlihat enggan mengatakan apa yang terjadi. Mereka tetap dipihak yang berbeda, Sarah tetap menginginkan Monice berhenti campur tangan terhadap urusan Ji, berada di pihak netral itu lebih baik. 

"Pangeran Yo sudah memberikan izin kepadaku untuk membawamu ke kapital dan merawatmu di sana." 

Monice mengernyit, tidak percaya, syok mendengarnya. "Pangeran Ji di mana?" Kenapa ia tidak menemuinya padahal ini sudah lama sejak ia terbangun. Apa yang sebenarnya terjadi di luar? 

Apa Ji terluka? Atau ia marah kepadanya? Ji marah padanya karena ia terluka?

"Moca.. jangan terlalu memikirkannya." Monice justru menatap marah ke arah Sarah. Ia merasa salah sudah mempercayai Sarah. Monice menepis tangan Sarah dan berjalan keluar dari kamarnya. 

Ji di mana? Ji di mana? Ia keluar dari rumah itu, melihat ke sekitar yang ada hanyalah suasana pemukiman penduduk malam hari. "Ji.." Ia benar-benar takut sesuatu yang buruk terjadi padanya. Ia menarik kuda dan menaikinya, mengikuti arah bintang ke timur. 

Ia berhenti di depan pagar tenda para pasukan. Ia turun dari kuda tidak peduli kalau selama ini ia berjalan dengan telanjang kaki. Ia membuka pintu pagar, tidak mengerti kenapa para pasukan ini tampak tidak mencegah orang luar masuk. 

Ia mengamati pasukan yang berkerumun menonton pertarungan, ia bisa melihat dari celah cahaya kalau itu adalah Ji dengan Ruiz. 

Sebenarnya sebanyak apa hal yang terjadi seminggu ini? Kenapa Ruiz seorang raja itu bisa ada di wilayah Emeria?

Ia berjalan mendekat. Namun sesuatu dari dalam hutan menarik perhatiannya, ia memilih mendekatinya daripada pertarungan yang sudah jelas pemenangnya. Dingin. Ia bertelanjang kaki di jalan hutan yang penuh salju. Beberapa kali ia terbatuk. 

"Hentikan. Rey." Matanya menatap ke atas pohon dimana Rey tengah menarik busurnya.

Padahal Rey tahu hanya dengan satu bidikan, ia bisa menyelesaikan misinya. 

"Rey.." suaranya gemetaran karena dingin.

Suara lirih itu membuatnya ragu. Ia mengendorkan busurnya tapi kembali membulatkan tekadnya dan meregangkannya kembali. 

"Sepuluh tahun.. Itu waktu hidupku paling lama.." 

Perkataan itu membuat busur Rey mengendur total. Ia menoleh, "Kalau begitu habiskan sisa waktumu denganku, jangan dengan orang sombong itu." 

"Jangan ganggu aku sekarang." Rey kembali memfokuskan matanya ia pastikan anak panahnya tidak meleset. 

"Aku tidak bisa hidup tanpa Pangeran Ji!" teriakan Monice membuat Rey menahan rahangnya, melesatkan anak panahnya tepat menuju jantung Ji. 

"REY!" 

Suara ramai dari para pasukan yang kalang kabut itu terdengar sampai ke telinganya. Matanya mengendur, Monice tidak percaya, Rey melakukannya?

Rey menoleh, ia melompat turun dari atas pohon. "Ha.. misiku selesai. Bagaimana? Kau mau kembali ke kapital bersamaku?" 

Amarah itu tiba-tiba memenuhi dirinya, ia menatap mata Rey ganas, seketika tubuhnya tidak lagi merasa dinginnya udara. Panas, begitu marah. Ia menarik kerah Rey mengambil anak panah dari kotak Rey. Monice tidak mengeluarkan sepatah kata pun, kilat matanya menunjukkan semua kemarahannya. Itu pertama kalinya. 

Tangan Monice yang menggenggam anak panah itu ia angkat tinggi-tinggi. Rey hendak menahan tangan itu ketika matanya melihat mata Monice yang pudar dan tubuh itu jatuh ke arahnya. Ia tersenyum tipis memeluk gadis yang tidak sadarkan diri itu. Ia mengelus kepalanya, membenamkan tubuh Monice ke dalam pelukannya. "En, ini cukup." 

My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang