Kuda milik informan itu di rem tiba-tiba membuat kuda Monice melaju beberapa meter di depannya sebelum benar-benar berhenti. "Ada apa?" Monice menoleh sambil menarik kekangnya.
"Kuda saya sudah lelah.. Ini juga sudah hampir malam, bagaimana kalau kita beristirahat di kota terdekat?"
Monice mengangguk, sudah seharian.. ia juga ingin segera berbaring.
Ia mengikatkan kudanya pada teduhan bambu bersama kuda-kuda yang lain dan memberinya ember air untuk diminum.
"Lady Kannelite, bukannya Anda juga sedang tidak sehat? Apa ada obat yang perlu saya beli?"
Monice melirik ke informannya mendengar pertanyaan yang membuatnya geli. Ah benar, orang ini pasti sudah melihat bagaimana raja dan ratu mengasihaninya. Ia mendesah, "Sudahlah kita cari makan saja."
Informannya mengangguk. "Lady, saya memang mengatakan pemikiran Anda akan sangat dibutuhkan.. tapi sekarang saya penasaran bagaimana Anda akan mengatasi masalah ini?" Keponya sambil berjalan mengikuti Monice. Memang sudah pekerjaan pengumpul informasi untuk sering bertanya.
"Berisik, aku harus melihat dulu bagaimana keadaannya sekarang. Aku bukan peramal yang bisa mencegah nasib buruk."
Pria itu kembali mengangguk, "Apa Anda tahu apa yang mungkin terjadi akibat rencana Ai?"
"Ah, sudah kubilang aku bukan peramal. Aku mana tahu?" Pertanyaan itu secara tidak langsung membuat moodnya turun. Melihat makanan yang dipajang dijalanan atau dimangkuk orang-orang justru membuatnya merasa mual. "Sudahlah, aku ingin berjalan sendiri. Besok pagi kita bertemu lagi!" Monice mempercepat jalannya, tidak ingini dibanjiri pertanyaan-pertanyaan lagi.
"Lady! Saya tidak akan bertanya lagi, jangan pergi!"
Monice semakin bingung ketika pria itu justru berlari menyusulnya.
"Saya takut Anda hilang."
"Hah." Lucu sekali. "Kau pikir kau siapa?" Monice mendengus, membiarkan orang itu mengikuti jalannya.
"Anda tahu arah mata angin? Anda tahu kalau sekarang anda berjalan ke arah utara? Saya belum pernah berjalan bersama Anda sebelumnya jadi saya kurang tahu.."
Apakah ini bentuk kepedulian atau perkepoan? Monice tidak menjawab, membiarkan pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban.
Monice hanya terus berjalan menggerakkan kakinya ada tempat yang ia lewati dua kali. "Lady Kannelite? Apa Anda tidak menemukan makanan yang Anda suka?" Informannya itu bertanya ketika mereka sudah mengitari kota itu kurang lebih empat puluh menit.
Melihat ada restauran di depan, "Itu saja," tunjukknya dengan muka. Daritadi Monice tidak kepikiran kalau orang yang membuntutinya itu perlu makan.
"En, ayo." Informannya ingin cepat-cepat.
Monice menghela napas.. dia tidak lapar nih. "Ka_" Kalimatnya terputus, matanya melebar menoleh ke arah jalan di sebelah dari celah antar bangunan. Ia tidak salah lihat? Barusan itu??
"Andrass berhenti menggeretku sesuka hatimu, aku ini hanya ingin tidur!" Ji kesal tangan Andrass melingkar pada lengannya dan menggeretnya keluar dari penginapan. "Diperjalanan kemarin kau sudah puas tidur. Kau harus jalan-jalan dan makan makanan enak untuk menghilangkan stress."
"Ah, tidak ada gunanya, lepas!" Ji mendorong tangan Andrass. "Jangan lingkarkan tanganmu padaku. Ih, hei!" Ji dan Andrass jadi saling mendorong satu sama lain. Andrass mendorong Ji mundur, "Aku jadi ikutan kesal melihatmu uring-uringan tau!"
"Kenapa? Aku sudah melakukan yang terbaik, apa itu masih salah?" Ji balik mendorong Andrass hingga punggungnya menatap dinding bangunan.
"Itu bukan salahmu, jangan bertindak seolah tidak ada harapan lagi!"
"Ash, bacot!" Ji melepaskan tangan Andrass dan berjalan menjauh.
Andrass hanya menonton, "Hei! Mau kemana?!" Andrass bingung Ji harus diapakan agar suasana hatinya membaik. Ketika ia hendak berjalan menyusul, matanya mendapati gadis berambut magenta gelap itu tiba-tiba muncul dari sela bangunan. Gadis itu tidak melihatnya, hanya menyadari Ji dan mengikutinya dari belakang.
Tapi siapa orang yang mengikuti Monice dari belakang? Andrass menarik orang itu, "Kenapa mengikuti gadis itu?"
Monice berlari melalui sela bangunan itu. Mendapati sosok yang begitu mirip dengan Ji. Ia berjalan mengikutinya. "Andrass melihatmu hanya membuatku terus teringat kejadian memalukan itu, jadi berhenti mengikutiku!" Ji yang merasa langkahnya di buntuti itu merasa terganggu.
Pria itu menyebut nama Andrass. Senyumnya mengembang, Ia tidak sedang bermimpi, kan?
Itu Ji! Itu Ji! Hatinya ingin melompat keluar.
"Ck." Masalahnya Ji yang tidak tahu itu Monice jadi benar-benar kesal. "Kau sedang mengejekku atau bagaimana?"
Kejadian yang terjadi saat rapat itu adalah pertama kalinya! Pertama kalinya ia begitu dipermalukan! Kejadian itu terus terputar kembali di kepalanya. Bukan sepenuhnya kesalahan dirinya, tapi ia tidak bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri karena gagal.
Ia mungkin sudah tampak suram di mata Andrass tapi itu juga perasaan yang belum ia tunjukkan semua. Perasaannya lagi tidak karuan.
Itu Jiii! Melihat punggungnya saja ia sudah sangat bahagia. Ia mengikuti langkah Ji yang membawanya ke tempat lengang.
"Baiklah, kita berduel saja." Ji menghembuskan napas kasar, "Kurasa berkelahi bisa menghilangkan sedikit stresku." Tangan kanan Ji memegang gagang pedang yang berada di pinggang kirinya.
Kau tau rasanya ketika ia berbalik?
Monice menarik sudut bibirnya menjauh satu sama lain. Sudah lama sekali ia tidak melihat wajah itu. Pria itu baik-baik saja, bahkan ia bisa marah dan meminta berduel. Ia senang sekali. Saking senangnya sampai air matanya turun.
Seluruh pertahanan Ji seolah runtuh. Ia tidak percaya, Ji melangkah mundur, "Andrass sepertinya aku gila.." Ia ingin mempercayai bahkan kalau sosok didepannya adalah bohongan tapi ia tidak tega dengan Monice yang asli.
Monice melangkah kan kakinya maju, "Jangan mendekat.. aku melihatmu sebagai Monice.. jangan mendekat.." ia menarik kakinya mundur.
Ji tidak bercanda, ia takut. Ia bisa percaya kalau stressnya yang ia tahan selama ini menyebabkan penyakit halusinasi.
"Pasti berat.." lirih Monice menatap sendu ke arah Ji.
"Monice?" suara itu suara Monice, apa ia tidak salah dengar?
Ji masih tidak berani bergerak dari tempatnya.
"En." Monice membuka kancing kerah tingginya, menunjukkan liontin kalungnya. "Punyamu."
Memastikan liontin itu, Ji berjalan mendekat. Monice tersenyum kemudian melepaskan pegangannya pada kalung itu. Monice tidak ingin Ji fokus pada liontinnya, ia ingin Ji fokus padanya.
"Berhenti ragu.. tidak bisa kah memelukku saja?"
Tangan Ji mengusap poninya keatas. Menatap wajah Monice, ia tengah mencoba mempercayai kenyataan itu.
Monice membuka kedua tangannya. Tangan Ji mengangkat gadis itu seperti anak sd dan menggendongnya. Bau manis khas Hutan Emeria itu sampai ke inda penciumannya.
"Monice.." Ia menenggelamkan gadis itu ke dalam pelukannya mencium lehernya. Ia memeluknya kuat. "Sangat menyakitkan ketika kamu tidak disisiku.."
Monice mengangguk kecil. Tangannya membelai kepala Ji lembut.
Setelah begitu lama akhirnya Ji melepaskan pelukannya, mereka saling bertatapan. "Kenapa kau disini? Andrass bilang kau sakit.." Ji merapikan rambut Monice yang jadi berantakan itu.
"Yang Mulia Raja memang punya dokter yang andal tapi tidak ada yang lebih baik daripada menghabiskan waktu bersama Anda."
"Terima kasih.. karena sudah baik-baik saja.." Ji mengecup tanda lahir di bawah mata kirinya.
"En."
________________

KAMU SEDANG MEMBACA
My Moca II : Monice
FantasySeorang gadis yang kehilangan, tidak berharap sebuah akhir yang bahagia, ia ingin akhir yang secepatnya. Tapi seseorang mengikat dirinya tetap tinggal, "Aku tidak akan memaafkan dunia, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau aku kehilangan ka...