Entitled37

48 7 7
                                    

Pagi, jam kerja dimana istana semakin dipenuhi orang-orang. Ji menyampaikan salamnya kepada Ratu di aula pertemuan. Ratu duduk di singgasana merasa lega melihat anaknya itu sudah kembali dari perjalanan panjang dengan menuntaskan tugasnya. 

"Bagaimana dengan Monice?" 

"Ia tidak baik-baik saja dan sedang beristirahat." 

Namun Ratu hanya merespon singkat dengan matanya membuat Ji merasa ada yang janggal.

"Maaf, Yang Mulia, izinkan saya bertanya.. Apa yang terjadi diantara hubungan Yang Mulia dengan Monice selagi saya tidak hadir?" 

"Monice.. adalah adik kandung Eli?" 

Ji membuka mulutnya untuk merespon kemudian baru kenyataan itu menyerangnya sehingga ia tidak bisa berkata-kata. Ji mengarahkan pandangan ke ibunya kaget. Ratu mengangkat satu sudut bibirnya, "Melihat ekspresimu, sepertinya benar." Meskipun begitu Ratu masih belum sepenuhnya percaya. "Aku sudah melihat Mira sejak kecil jadi tidak meragukan asal usulnya.. aku tidak tau ternyata ada kisah yang gelap." 

Ji menekan kedua rahangnya, ia tidak tahu apakah hal ini baik atau buruk. 

"Monice adalah anak yang cemerlang.. hahah.. pantas saja.." Ratu merasa lucu, "Ia sedarah dengan keluarga George," seringainya terlihat. 

"Begitu mengungkapkan kejahatan ini ke publik.. pendukung mereka akan beralih untuk lebih fokus mendukung fraksi imperial." 

Alis Ji terangkat kecil. Ia tidak setuju! Ji menurunkan satu lututnya ke tanah berharap pemikiran itu bukanlah keputusan akhir, "Hal itu hanya akan menempatkan Monice dalam bahaya." 

Ratu tidak menggubris, "Kalau berita ini tersebar, maka tidak akan ada orang yang bisa memaksamu untuk menikahi Mira." Ia mengungkapkan keuntungannya lebih dahulu, "Kalau Monice bisa bertahan dari bahaya-bahaya itu, kau bisa menikahinya." 

"Beritahu aku.. siapa yang menculik Monice?" Ratu menatap tubuh Ji. Ia tahu anak yang hanya terlihat tegar di luarnya tapi sebenarnya tidak tabah. 

"Tuan Putri Yo Ai." 

Ratu mengangguh, "Kau yang mengatakannya sendiri." Ia berdiri, "Ji, aku tau kau sudah bekerja begitu keras. Tapi untuk mewujudkan tujuan akhirmu, bekerja keras saja tidak akan cukup. Kau masih harus mengambil resiko. Resiko yang lebih besar daripada sebelumnya." 

Ji mendengarkan, keheningan itu menguasai ruangan selama beberapa saat. 

"Kalau begitu, aku akan mempertaruhkan hidupku. Itu lebih baik daripada membahayakan Monice." Ji tidak menatap ibunya, ia hanya menunduk sehingga yang terlihat adalah kaki singgasana. "Alangkah tidak berartinya kematian Eli kalau aku tidak bisa menyelamatkan gadis itu dengan nyawaku?" 

Ratu mengernyit, kesal mendengarnya. Ia berjalan turun tangga dan menatap Ji yang masih menunduk di depan kakinya. "Ji." Ia menatap anaknya khawatir. "Apa yang telah dilakukan Eli di masa lalu tidak ada hubungannya dengan kondisi yang kau alami sekarang. Eli tidak bisa mengetahui masa depan, bukan begitu?" 

Ratu memeriksa reaksi anaknya yang hanya diam.

Beliau mengambil napas, "Baiklah. Eli mengorbankan nyawanya, lalu apa? Apa agar kau mempertaruhkan nyawamu untuk gadis itu juga?" Ia berusaha membenarkan pemikiran anaknya, "Saat ini, Monice telah menjadi kelemahanmu. Seorang Raja tidak boleh menunjukkan kelemahannya kau tau itu." 

Ji yang menunduk itu mengepalkan tangannya. Kenapa tidak ada yang bisa memahaminya? Tidak peduli apapun yang terjadi seharusnya mereka tidak mengabaikan Monice. 

"Kau adalah orang yang akan menjadi penaung rakyat Emeria. Selama ini kau belajar bukan untuk menjadi pelindung bagi seorang gadis belaka." 

"Bagaimana bisa Yang Mulia berkata seperti itu?" Ia tidak setuju, sedih mengetahui kenyataan pahit, tidak ada yang paham. "Apa Yang Mulia tidak belajar dari pengalaman yang terjadi pada Eli?" 

My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang