Entitled36

44 8 1
                                    

"BERHENTI!" Ji mengerem kudanya dengan kasar menciptakan suara kikikan kuda. Ia segera turun dan menerabas Tuan George. "Monice.." Ia mengangkat tubuh gadis itu di lantai. 

"U-uh.." Gadis itu mengerang. Air mata mengalir dari sudut matanya. "Monice, aku ada disini.." Ia memberitahu gadis itu lembut. "Aku disini.." Ia membawa gadis itu ke dalam pelukannya. 

Ji menatap nyalang Tuan George yang masih memegang pedangnya dengan marah. "Tuan George, Anda hendak membunuh seorang korban penculikan. Apa motif Anda dibalik itu?! Apa Anda orang yang merencanakan penculikan?!" Ia mengatakannya sebagai peringatan, supaya mereka tidak lagi bergerak berbuat yang tidak-tidak. 

Ji melepaskan jubahnya dan menyelimutkannya pada Monice. Mengangkatnya dan membawanya keluar dari gudang anggur itu. 

Ji menaiki kudanya sambil memeluk Monice erat. Menatap Tuan George geram dan memacu kudanya dalam hujan, meninggalkan orang-orang itu. Andrass menyusul setelah menatap pasukan itu dengan nyalang, "HAH!" 

Ia memeluk Monice, menekan kepalanya dengan ciuman. Ia begitu berterima kasih, gadis itu mau menunggunya. 

Hujan telah berhenti, matahari kembali memancarkan sinar keemasannya yang dipantulkan daun-daun musim gugur. 

Monice bersandar pada dada bidang Ji. Tidak peduli goncangan kuat karena kuda berlari, ia merasa bisa tidur dengan pulas. Ia tidak mengeluh Ji mendekapnya erat hingga lengannya terasa sakit, ia merasa berada di tempat yang paling aman. Ji sudah kembali, hal itu sudah cukup untuk membuat dirinya kembali merasa hangat. 

Mereka berhenti di kota pertama yang ia temui. Ia tidak mungkin membawa Monice berkuda berjam-jam sampai ke kapital.

Ji membaringkan Monice di ranjang kamar sebuah villa. Sementara Andrass menyalakan perapian. Ji duduk, mengelap noda darah pada bibir Monice. 

Mereka menoleh ketika suara pintu dibuka menyeruak. "Nonaa!" Thea langsung mendekat, matanya sembab. Ia sudah menunggu di kota itu sejak surat informan datang. Menunggu kabar nonanya kembali. 

"Nona.. huwaa aku khawatir sekali.." 

Melihat pelayan itu sudah datang untuk mengurus Monice. Ji dan Andrass memutuskan untuk keluar dari kamar. 

Ji dan Andrass berjalan bersama keluar mencari angin. Udara dingin itu bukan apa-apa bagi mereka, cukup dengan pakaian rapat, sudah menghangatkan mereka.

"Pangeran Ji.. Anda berlutut di depan Putri Yo Ai.." Andrass mengungkit kejadian yang ia lihat tadi pagi. 

Ji berwajah pahit mengingatnya, "Aku begitu putus asa. Aku pikir kak Ai akan membantuku." Kemudian ia tersenyum semakin pahit, "Aku tidak menyangka ia yang merencanakan hal ini." 

Andrass menahan emosi mendengar kenyataan tidak enak itu. "Putri Yo Ai.. meminta Anda menyerahkan posisi mahkota?" 

"Eun. Ia memintaku turun dari posisi mahkota lalu ia hendak memberitahuku posisi Monice." 

Andrass menatap tanah, "Ini aneh.." Ia tidak suka dengan apa yang tengah terjadi. 

Ji juga merasa janggal.  Ia merogoh sakunya. Andrass ikut melihat, pion kayu berwarna magenta yang terdapat di tangan Ji. "Itu apa?" Andrass tidak mengerti kenapa Ji malah membawa-bawa barang seperti itu. 

"Aku mengambilnya dari kamar Kak Ai." 

Mendengarnya, Andrass teringat hal lain, "Saat kau menemuinya pagi tadi.." Meskipun hanya melihatnya sepintas Andrass tahu Ai mengenakan baju lengkap. "Apa Putri Yo memang biasa bangun begitu pagi?" 

My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang