Adilla memilih duduk di bangku taman rumah sakit. Ia butuh mendinginkan pikirannya dari hal-hal yang membuatnya tersiksa.
Tanpa Adilla sadari, Galang mengikutinya dan ikut duduk disampingnya. Adilla melirik Galang yang tak bersuara dan hanya menatap lurus ke depan. Adilla tau kalau mereka berdua sedang merasa kecewa dan patah hati.
"Lo ngapain ngikutin Gue?" Tanya Adilla.
"Lo ngapain keluar dari sana?" Tanya balik Galang.
Adilla menghela nafas berat, tanpa diberi tahu pun Galang pasti sudah tahu alasannya.
"Udah Gue bilang, Gue mau nyari angin. Didalam sumpek, gerah." Ujar Adilla mengelak.
"Gue juga mau nyari angin. Didalam sumpek, gerah." Ujar Galang menirukan ucapan Adilla.
"Bohong."
"Lo juga bohong," timpal Galang.
Adilla tidak bisa menjawab lagi, ia sudah ketahuan jelas apa alasan sebenarnya. Dari raut wajah saja, sudah keliatan kalau Asia tidak suka melihat pemandangan Juni dengan Sakti.
"Lo bener Lang, Gue bohong. Gue gak suka liat Sakti Deket sama Juni,"
"Udah Gue duga,"
"Gue ngerasa Tuhan gak adil. Kapan Gue diberi kesempatan buat milikin orang yang Gue cinta. Kapan?" Ujar Adilla dengan lemas. Pertahanannya runtuh di sapu oleh rasa kecewa.
"Lo udah milikin apa yang Lo mau. Jadi sahabat Sakti emang belum cukup?" Galang melirik Adilla dengan dingin.
"Gak cukup. Kalo jadi sahabat aja belum milik Gue sepenuhnya. Sakti masih bisa jadi milik orang lain."
"Lo itu kurang bersyukur ya. Udah mending bisa deket sama orang yang Lo cintai. Lah Gue?"
"Lo masih ngarepin Juni?" Tanya Adilla.
"Gak tau,"
Suasana rumah sakit yang ramai membuat mereka tidak canggung untuk mengeraskan suara. Mereka tidak takut ada yang mendengar obrolan mereka.
"Nasib kita sama ya. Gak bisa milikin orang yang kita cintai. Apa Tuhan emang gak suka liat kita bahagia?" Adilla berujar dengan miris.
"Kata siapa? Mungkin Tuhan udah nyiapin yang lebih baik buat kita. Gak ada yang tau."
"Terus siapa yang lebih baik itu? Kapan Gue bahagia? Kapan Lang, kasih tau Gue."
"Kalo udah waktunya, Tuhan bakal kasih tau. Gak sekarang, mungkin besok atau lusa."
"Tapi yang bikin Gue bahagia cuma Sakti, Gue mau Dia, gak mau yang lain."
Galang menatap Adilla dengan sendu. Ia merasa kasihan melihatnya. Mengapa orang harus mencintai orang yang bukan di takdirkan untuknya. Mengapa Tuhan senang bermain-main dengan takdir manusia. Mengapa?
"Emangnya jodoh bisa ditawar? Gak bisa, Dil."
Adilla menunduk dalam, ia tidak bisa menahan kepedihannya lagi, ia menangis.
Tuhan sudah mentakdirkan manusia dengan jodoh terbaik pilihannya. Namun untuk mencapai titik itu, Tuhan menyediakan dua jalan. Ada jalan lurus, mulus dan lancar. Ada juga jalan yang berkelok di sertai jalanan yang berlubang. Mungkin jalan yang di tempuh Adilla dan Galang berada di opsi yang kedua.
"Nangis aja, biar Lo tenang." Ujar Galang yang menyaksikan kesedihan Adilla. Galang mengerti, karena ia juga sedang merasakan kesedihan yang sama.
"Kenapa Lo gak nangis juga?" Tanya Adilla di tengah tangisannya.
"Gue cowok, Dil."
"Emang kenapa kalo cowok? Cowok juga berhak kok nangis."
"Gak apa-apa. Lo aja yang nangis, Gue temenin."
"Cuma nemenin doang? Gak mau nenangin?"
"Kalo dengan nangis Lo bisa tenang, kenapa Gue harus nahan?"
Adilla kembali menangis tersedu. Ia ingin meluapkan kekesalannya dengan air mata. Baru kali ini ia menangisi seorang lelaki. Baru kali ini juga ia menceritakan unek-uneknya kepada orang lain.
___
'Om Wiguna sudah sampai di Indonesia. Rencana balas dendam akan semakin mudah sekarang'
Isi pesan barusan di terima pria codet yang merupakan dalang dari penculikan Sakti. Ia terlihat senang mendapat pesan itu dan akan segera melakukan rencana untuk balas dendam.
Dia berjalan menuju jendela rumahnya, senyuman terukir diwajahnya, bukan senyum hangat melainkan seringaian yang begitu terlihat menyeramkan.
"Wiguna, sebentar lagi kehancuranmu akan datang."
Entah masa lalu apa yang membuatnya begitu gigih untuk mencelakai keluarga Wiguna. Dia tersenyum karena berhasil mengajarkan anaknya bagaimana cara menjalankan misi.
"Anakmu akan selalu dalam bahaya."
"Dia tidak tau kalau orang terdekatnya adalah seekor ular,"
Pria itu terkekeh pelan mentertawakan ucapannya sendiri. Dia tidak sabar ingin segera melakukan rencana untuk membalaskan dendamnya terhadap keluarga Wiguna.
Lalu Dia mengotak-atik ponselnya dan menelpon seseorang. Dengan santai Dia meletakkan ponsel pada telinga.
"Datang ke markas sekarang. Aku ada rencana untukmu."
___
To Be Continue
JUNIJANU BAGIAN 50
Juni Maharani
Sakti Janu Namaan
Jangan lupa di tap bintangnya ⭐
Tinggalkan jejak 🐾
See you pay pay
IG: xxtxi23
KAMU SEDANG MEMBACA
JUNIJANU
Teen FictionBagi Juni, mencintai adalah kutukan. Dan patah hati adalah buah nya. Tuhan memang tidak selalu terlihat adil di hadapan ciptaannya. Dan kini, Juni sedang menagih keadilan itu. 🍏 🍏 🍏 Juni Maharani, siswi SMA Trisuaka yang menyukai seorang Sakti J...