Gara-gara harus mengejar Bayu, Sakti dan Juni kini harus membolos sekolah. Saat selesai berbincang tadi, jam sudah melewati angka tujuh. Alhasil mereka sepakat untuk tidak pergi ke sekolah karena terlanjur kesiangan.
Seperti saat ini, mereka sedang berjalan menyusuri kota Jakarta tanpa kendaraan. Mereka sedang mencari tempat makan atau minum untuk di singgahi, Juni yang belum sarapan adalah alasan utamanya.
Saat melewati kedai eskrim, Juni menunjuk dan memberi isyarat kepada Sakti agar masuk kedalam toko itu.
"Ke sini yuk!" Ajak Juni dengan mata yang membinar.
Sakti menyentil kening Juni dan membuatnya mengaduh kesakitan.
"Lo belum sarapan oneng, main makan eskrim gitu aja. Mau sakit perut?"
"Ya gak mau, tapi..."
"Yaudah, cari sarapan dulu, baru boleh makan eskrim,"
Juni terkejut karena mendapat elusan kepala dari Sakti. Rasanya damai penuh kelembutan. Beberapa saat Juni dan Sakti beradu pandang, tenggelam dalam pikiran masing-masing dan hanyut dalam pesona satu sama lain.
Layaknya seorang anak kecil, Juni menuruti perintah Sakti dan mengangguk patah-patah. Sakti yang melihat itu tertawa kecil karena ia seperti sedang menasehati Caca.
Sakti dan Juni lalu melanjutkan perjalanan mereka yang tidak memiliki tujuan tanpa peta. Mereka menikmati setiap langkah dan hembusan nafas yang mereka rasakan. Nikmat sehat memang tidak ada yang bisa menandingi, mereka mensyukuri hal itu dan sedang mereka jalankan saat itu.
"Juni?"
Juni menengok kearah Sakti yang berjalan seiringan.
"Apa?" Jawab Juni menaikan sebelah alisnya.
"Jangan marah sama bang Jeno ya, dia gak bermaksud buat ngingetin lo sama almarhum om Darma," ujarnya dengan tenang.
"Siapa juga yang marah?"
"Lo lah,"
"Emangnya gue keliatan marah ya?" Tanya Juni sambil berjalan santai menyusuri jalanan kaki lima.
"Iya, abang sama bunda lo sampe kaget liat lo teriak tadi,"
"Habisnya, gue kepancing emosi sih,"
Sakti tiba-tiba berhenti dan membuat Juni pun ikut berhenti.
"Kenapa berhenti?" Tanya Juni bingung.
"Lo beneran marah sama abang Lo?"
Juni mengangkat bahunya sebagai pertanda jawaban tidak. Mengapa Sakti terus bertanya tentang masalah ia dan Jeno.
"Marah lah, sama Lo juga."
"Kok gue?" Pekik Sakti kaget.
"Kalo lo gak dateng ke rumah gue, semua yang terjadi hari ini gak akan pernah terjadi,"
"Iya deh, gue minta maaf."
"Gampang banget kalo ngomong,"
Sakti menghela nafas berat lalu menatap manik mata Juni lebih dekat, Juni tersentak kaget dan membuat mundur beberapa.
"Terus gue harus gimana biar lo maafin gue?" Kalimatnya terdengar dingin menusuk setiap kulit telinga Juni. Sebenarnya Juni tidak kuat setiap Sakti memperlakukannya dengan lembut, ia tidak terbiasa dengan sikap Sakti yang memanjakannya.
"Lo gak bakal bisa kabulin keinginan gue,"
Sakti mengerutkan keningnya, Sakti memiliki segalanya, terus apa yang tidak bisa ia kabulkan untuk seorang Juni.
"Mungkin lo mau motor yang kayak si jini ya? Gampang itu mah, mau gue beliin berapa? Gue jabanin." Ujar Sakti dengan sombongnya.
"Mulus banget itu mulut! Keinginan gue lebih dari itu,"
"Oh lo mau mobil? Atau uang? Rumah? Apart? Atau.. Pantai? Gunung? Hati gue? Lo kan udah tau kalo hati gue mah cuman buat Juni seorang, gimana sih."
Juni memutar matanya malas, lalu menarik tangan Sakti tiba-tiba.
"Udah lah ayok gak usah di bahas. Gue kepanasan, mau cari minum."
Sakti tersenyum melihat Juni yang setia memegang pergelangan tangannya dan menarik kemana ia mau. Juni hanya berjalan menatap ke depan dan tidak tau betapa senangnya Sakti di belakang.
Juni melihat tempat bakso di depan dan langsung masuk begitu saja dengan tangan yang menuntun Sakti. Lalu mereka mengambil tempat duduk paling kiri.
"Katanya mau cari minum, kok malah ke tempat bakso," tanya Sakti yang duduk dikursi sebelah.
"Sekalian makan. Laper."
"Siapa suruh pergi dari rumah tanpa sarapan,"
"Kenapa lo sewot?"
"Siapa juga yang sewot!"
"Lo."
"Lo kali, bukan gue."
"Permisi,"
Sakti dan Juni melirik dan mendapati Ibu penjual bakso sedang berdiri di depannya.
"Mau pesan bakso?" Tanya ibu penjual bakso.
"Pesan dua mangkuk bu, baksonya yang jumbo-jumbo. Sama minuminya teh Sosro dingin, maaf gak di sensor." Jawab Juni dengan cepat.
"Gue lagi gak mau makan bakso, masih kenyang. Pesen satu mangkuk aja," pinta Sakti kepada Juni.
Juni mendelik tidak suka. "Enak aja, siapa juga yang pesenin lo. Orang gue pesen buat gue sendiri." Lanjutnya.
"Gila! Itu perut atau panci?" Pekik Sakti tidak percaya.
Sakti baru tau kalau Juni banyak makan, atau mungkin baru sekali ini saja. Sakti hanya geleng-geleng melihat kerakusan Juni. Sakti saja kadang tidak habis makan satu porsi bakso, tapi Juni akan menghabiskannya di waktu yang masih terbilang pagi ini.
"Bodo amat gue gak denger." Cuek Juni tanpa melirik Sakti.
"Jadi pesan berapa?" Tanya penjual bakso yang menyaksikan keributan dua manusia di depannya.
"Dua," sahut Juni.
"Baik. Mas-nya mau pesan apa?"
"Capuccino tiga, es nya banyakin." Jawab Sakti.
"Serius mas pesan tiga?"
"Emang ibu mau saya seriusin?" Goda Sakti.
"Hehehe. Mas bisa aja. Kalo gitu di tunggu, pesanan akan segera dibuatkan." Ujar ibu penjual bakso lalu pergi meninggalkan Sakti dan Juni.
"Itu perut apa galon," sindir Juni tanpa melihat kepada Sakti.
"Bodo amat gue gak denger,"
___
To be continued
JUNIJANU BAGIAN 65
Juni Maharani
Sakti Janu Namaan
Kencangkan Votenya ya 💋
Biar up nya juga tak kencangkan.
Juni sama Janu itu kadang kayak kayak Tom and Jerry, kadang juga kayak Romeo dan Juliet.
Tergantung hati dan suasana mereka💅
IG : xxtxi23
KAMU SEDANG MEMBACA
JUNIJANU
Teen FictionBagi Juni, mencintai adalah kutukan. Dan patah hati adalah buah nya. Tuhan memang tidak selalu terlihat adil di hadapan ciptaannya. Dan kini, Juni sedang menagih keadilan itu. 🍏 🍏 🍏 Juni Maharani, siswi SMA Trisuaka yang menyukai seorang Sakti J...