Setelah pulang sekolah, Juni langsung merebahkan tubuhnya yang terasa letih. Energi-nya terkuras habis hanya untuk mengejar Bulbul yang berkeliaran disekolah.
Namun sayang seribu sayang, Juni tidak bisa membawa Bulbul kerumah karena Sakti memintanya dibawa kembali dengan alasan Caca yang tidak berhenti menangis, Juni jadi tidak tega.
Juni mengelus dadanya dengan hati-hati, sesak yang ia rasakan begitu mengganggu batin dan mentalnya. Semuanya menjadi tidak fokus karena tidak bisa bernafas dengan normal.
Untung saja, akhir-akhir ini Asma-nya tidak terlalu sering muncul, mungkin banyak pikiran adalah pengaruh besarnya.
Juni memejamkan matanya yang lelah dan membiarkannya istirahat sejenak. Seragam yang masih melekat ditubuhnya tidak ia hiraukan.
CEKLEK
Juni tidak sadar kalau Jeno baru saja membuka pintu dan masuk kedalam kamarnya. Sepertinya Juni sudah tertidur pulas.
Jeno berjalan mendekati Juni yang tertidur dengan seragam yang masih utuh. Ia duduk disampingnya lalu mengelus surau sang adik.
"Dasar kebo!" Gumam Jeno terkekeh.
"Belum ganti baju, belum mandi, main tidur aja. pasti belum sholat nih,"
Jeno merapihkan rambut Juni yang menghalangi wajahnya. Deru nafasnya terdengar berat, entah habis melakukan apa sehingga tidur sepulas ini. Biasanya, Juni tidak bisa tidur jika tidak ditemani ayanya, tapi sekarang sosok Darma sudah tidak ada dan terbang menjadi bintang di langit.
Saat Darma meninggal, Jeno berusia 14 tahun dan duduk di bangku kelas 2 SMP. Dia sudah paham benar dan mengerti apa arti kehilangan masa itu, rasanya tidak rela ditinggal pergi seorang ayah untuk selama-lamanya. Jeno sampai mengurung diri didalam kamar selama satu Minggu dan terus menangisi kepergian Darma, tapi ia teringat akan Juni dan juga Mira. Jeno harus kuat karena hanya tinggal ia lelaki satu-satunya dalam keluarga. Jeno tidak boleh merasa lemah dihadapan Bunda dan Adiknya, Jeno harus kuat, meskipun itu terpaksa.
Dan semenjak itu, Jeno selalu memberi kehangatan dalam keluarga, membawa canda tawa di setiap sudut rumah. Itu juga sebab mengapa ia selalu menganggu dan menjahili Juni, Jeno tidak mau Juni terus terpuruk dan mengingat masa lalunya, selalu melihat kebelakang dan tidak peduli dengan diri sendiri. Jeno begitu menyayangi keluarga kecilnya.
Jeno berjalan menuju rak buku yang berada di dalam kamar Juni, isinya penuh dengan novel-novel yang ia koleksi. Mulai dari Novel senior, salah satunya karya Djoko Damono, Asma Nadia, dan Pidi baiq. Sampai Novel terkini pun Juni jajahi yang salah satunya karya Boy Candra, Rintik sedu dan juga Innayah Putri.
Jeno melihat satu persatu jajaran buku yang tersusun rapi, sampai matanya berhenti pada buku berwarna merah muda yang menarik perhatiannya.
Jeno mengambil buku itu lalu membuka halaman pertama, disana terdapat tulisan 'Milik Juni', itu adalah buku diary Juni yang membuat Jeno penasaran dan ingin membacanya.
Lembaran demi lembaran ia baca dengan teliti, Jeno tidak bisa menahan gelak tawanya saat membaca tulisan Juni yang menurutnya menggelikan.
Salah satu tulisan yang membuat Jeno tertawa geli yaitu :
Sakti, kau sungguh tampan nan rupawan
Senyumanmu membuat hatiku tak karuan
Jika kau menerima cintaku
Akan kukuras sungai Gangga untukmu
Sakti, kapan kau menyadari
Jika aku sedang menunggu disini
Seperti menunggu tukang bakso di sore hari
Setia berdiri di teras rumah walau sendiri.
'Juni_15072017'
Jeno tertawa membaca puisi yang ditulis oleh Juni, ia baru tahu kalau adiknya itu ternyata budak cinta alias bucin. Meskipun tulisan itu sudah lama, namun tetap terlihat rapi dengan kertas yang sedikit menguning.
Di dalam sana Juni curahkan isi hatinya dan juga setiap beban yang tidak yang ia rasakan. Jeno membaca semua isi dari buku Diary milik Juni.
"Udah bacanya?"
Jeno tersentak kaget saat mendapati Juni sudah terbangun dan kini sedang berdiri dengan tangan dilipat pada dada serta tatapan ingin membunuh.
"Ju.. Juni? Abang gak bermak..." Ucap Jeno terpotong.
"Siapa yang nyuruh baca buku diary Juni?"
Jeno menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia merasa gengsi karena tertangkap basah membaca buku rahasianya.
"Gak ada yang nyuruh," jawab Jeno nyengir.
"Kalo gak ada kenapa baca?"
"Karena mau,"
"Abang udah bosen hidup?"
Juni siap melayangkan pukulan kepada Jeno namun dengan sigap menghindarinya. Juni terlihat semakin marah lalu merebut buku dari tangan Jeno.
"Maaf ya, Abang gak sengaja liat buku itu di rak sini,"
Juni mengangguk sambil tersenyum, namun sebenarnya ia mati-matian menahan diri untuk melenyapkan Jeno.
"Gak marah kan?" Tanya Jeno hati-hati.
"Enggak. Juni gak marah. Enggak kok, enggak." Serkah Juni yang kelihatan sedang berbohong.
"Alhamdulillah,"
PLAK
Juni menggeplak kepala Jeno secara tiba-tiba dengan keras. Jeno meringis kesakitan ditambah takut saat melihat Juni yang siap menerjangnya kapan saja.
"Abang nanya Juni marah atau enggak? YA MARAH LAH KETEK BULBUL!"
"Siapa yang ngizinin Abang masuk kamar Juni?Siapa juga yang ngizinin nyentuh barang-barang milik Juni? Gak sopan banget sih!" Bentak Juni dengan nada tingkat oktaf.
"Ya maaf,"
"Untung Juni gak bawa Bulbul pulang. Biarin aja jadi peliharaannya Caca terus di angkat jadi keluarga om Wiguna. Biarin aja!"
Jeno langsung menatap Juni dengan serius saat mendengar kata Bulbul.
"Lo udah ketemu sama Bulbul? Sekarang mana?" Tanya Jeno antusias.
"Tadinya Sakti mau ngembaliin Bulbul disekolah, tapi Juni kasih balik. Males bawa pulang, kalo ujung-ujungnya bakal ngerepotin orang rumah."
"Juniiii! Kenapa gak dibawa pulang aja! Abang tuh udah kangen banget sama Bulbul tauuu."
"Bodo amat! Biarin aja disana selamanya. Juni gak peduli! Abisnya abang ngeselin!" Ujar Juni menghentakan-hentakan kakinya kesal.
"Abang kan gak sengaja baca buku itu, kok ngancemnya kelewatan sih." Ujar Jeno dengan wajah menahan tangis.
"BODO AMAT! Sekarang abang keluar sebelum Juni tumbalin Bulbul ke Nyi Roro kidul!"
Juni menyeret Jeno dengan kasar dan mendorongnya keluar kamar, setelah itu ia mengunci pintu rapat-rapat.
Juni mengehela nafas panjang dan mencoba mengatur emosinya. Aksi Jeno yang keterlaluan membuatnya menguji kesabaran.
Juni berlari menuju kasur dan membanting kan tubuhnya. Juni menenggelamkan wajahnya dengan bantal laku berteriak sekeras mungkin. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Jeno saat tahu isi dari buku Diary-nya.
Dulu Sakti, sekarang Jeno yang berhasil membaca rahasia terdalamnya.
"AAAA.. JUNI MALUUUU!"
___
To be continued
JUNIJANU BAGIAN 60
Juni Maharani
Sakti Janu Namaan
KAMU SEDANG MEMBACA
JUNIJANU
Teen FictionBagi Juni, mencintai adalah kutukan. Dan patah hati adalah buah nya. Tuhan memang tidak selalu terlihat adil di hadapan ciptaannya. Dan kini, Juni sedang menagih keadilan itu. 🍏 🍏 🍏 Juni Maharani, siswi SMA Trisuaka yang menyukai seorang Sakti J...