Sakti menepati janjinya untuk mengantar Adilla di makam setelah pulang sekolah. Dan disinilah mereka berada sekarang, tempat pemakaman umum di daerah Mekar Jati.
Di antara ribuan makam, tertera nama 'Ainun Nissa' pada batu nisan yang terselip disana. Dia adalah ibu dari Adilla, sosok ibu yang sudah berpulang setahun yang lalu akibat mengidap penyakit jantung.
Saat itu, Adilla merasa dunia runtuh menimpa kepalanya, bumi yang ia tapaki seolah menghilang dan tidak memiliki tempat berpijak. Adilla merasa kehilangan semesta-nya.
Adilla berjongkok dan mengusap nisan ibunya dengan penuh kelembutan, Sakti yang ikut menemani hanya berdiri dibelakang Adilla dengan sabar.
"Mah.. Dila kangen sama mamah," Suaranya terdengar serak dan menahan tangis.
"Semenjak mamah gak ada, Dila selalu kesepian. Papah sibuk kerja, sering keluar kota dan gak punya waktu buat Dila."
"Setiap hari, yang ngucapin selamat pagi dan selamat malam cuma bi Surti. Saking sepinya, Dila nyuruh bi Surti bawa keluarga dan tinggal dirumah."
"Dila kangen mamah, biasanya mamah yang selalu ada disaat Dila sedih. Sekarang gak ada lagi. Dila sendiri."
Tanpa terasa, air mata sudah membanjiri wajah cantik Adilla. Ia benar-benar merindukan sosok ibu yang selalu ada disisinya, selalu mengerti keadaannya, dan selalu menyayanginya. Adilla rindu itu semua.
Sakti yang setia menyaksikan, menepuk pundak Adilla dengan lembut dan membuat sang empu menengok.
"Lo gak sendiri. Ada gue," ujar Sakti dengan lembut, ia tahu kalau Adilla tidak akan mudah menerima kenyataan begitu saja. Apalagi sebelumnya, Adilla selalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya.
"Sakti,"
Adilla menghamburkan pelukan kepada Sakti, ia menangis sejadi jadinya disana. Sakti tidak menahan dan justru memeluk Adilla dengan penuh kelembutan. Sakti mengerti betul, bagaimana berada diposisi Adilla. Ia bersyukur karena masih diberi keluarga lengkap dan harmonis.
"Lo cewek kuat, Dil. Gue tahu lo bisa lewatin ini semua." Ujar Sakti sambil mengelus punggung Adilla.
"Gue mau mamah balik, Sak, gue mau mamah selalu ada disamping gue. Gak mau kayak gini, gue gak bisa."
"Lo gak boleh ngomong gitu. Mamah lo pergi karena sudah waktunya. Sekarang dia sudah bersama Tuhan dan menjadi bintang di langit malam. Mamah Lo selalu bersinar di atas sana," ucap Sakti menunjuk Langit.
"Tapi gue belum bisa nerima kepergian mamah, gue cewek lemah,"
Sakti mengakhiri pelukan dan memegang pundak Adilla dengan kedua tangannya. Ditatap mata Adilla penuh kasih sayang dan juga senyuman hangat.
"Adilla," Sakti menjeda kalimatnya dan menghela nafas sejenak.
"Lo liat deh sekeliling lo. bukan cuma lo yang merasa kehilangan. Banyak orang di luaran sana yang tidak terhitung berapa kali kehilangan keluarganya. Lo gak tau kondisi ekonomi mereka saat kehilangan namun dipaksa baik-baik saja. Lo harusnya beruntung selalu diberi kecukupan dan dikelilingi orang yang sayang sama lo."
Adilla mencerna kalimat Sakti tanpa berkedip, matanya tak berhenti memandang wajah Sakti yang begitu peduli terhadapnya. Sejenak Adilla kagum dengan kesempurnaan yang terpampang jelas didepannya.
"Jadi menurut lo gue kurang bersyukur? Gitu ya, Sak?"
"Bukan kurang bersyukur, tapi belum terbiasa dengan suasana setelah kehilangan. Lo masih belum nerima kalo semua tidak akan sama lagi seperti saat nyokap lo ada,"
Adilla menundukkan wajahnya dengan lesu.
"Lo emang bener, gue belum bisa nerima kepergian mamah," ujar Adilla lemah.
"Gak apa-apa, Dil. Gue bakal bantu lo biar cepet lupain masa lalu sampai ceria lagi. Gue akan selalu ada buat lo." Pungkas Sakti dengan tersenyum lebar.
Adilla menatap Sakti kembali dan perlahan menyunggingkan senyuman. Adilla beruntung bisa mengenal Sakti sedekat ini. Rasanya, Adilla tidak rela jika Sakti bersikap manis kepada wanita lain selain kepada dirinya. Adilla tidak akan pernah rela.
"Makasih," Adilla kembali memeluk Sakti lebih erat dari sebelumnya.
"Nope," jawab Sakti dengan santai.
"Lo harus janji sama gue,"
"Janji apa?" Tanya Sakti ditengah pelukannya.
"Lo harus selalu ada buat gue gimanapun keadaannya. Lo janji gak akan pernah ninggalin gue,"
Sakti tersenyum mendengar ucapan Adilla. Bagaimana bisa ia menolak permintaan sahabatnya itu.
"Iya gue janji."
TES
Sakti merasakan tetesan air pada hidung mancungnya.
"Kayaknya mau hujan, pulang ya?"
Adilla melepaskan pelukan lalu mengangguk kepada Sakti.
"Iya,"
Mereka berdua pun berjalan keluar dari TPU dan masuk kedalam mobil untuk perjalanan pulang.
Selama di perjalanan tidak ada perbincangan diantara keduanya. Adilla hanya melirik Sakti sesekali yang fokus mengemudi.
Tak lama, Sakti meraih ponselnya yang ia simpan didepan mobil. Terlihat Sakti mengetik pesan untuk seseorang sambil mengukir senyum.
Nanti malam gue ke rumah lo ya bawa martabak, sekalian ngapel, icikiwiw<3
"Lagi apaan sih, senyum-senyum gitu," tanya Adilla mencoba mengintip layar ponsel Sakti yang keburu disimpan kembali.
"Gak apa-apa," elak Sakti.
"Ih gitu ya main rahasia-rahasiaan,"
Sakti tersenyum melihat Adilla yang cemberut. Ia memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari wanita disampingnya ini.
"Gue ngirim pesan sama Juni, kalo nanti malam gue main kerumahnya." Ujar Sakti tidak berbohong.
"Mau ngapain?"
"Ya ngapel,"
"Di malam Jum'at?"
"Iya, sekalian ketemu sama calon mertua, xixi." Ujar Sakti sambil terkekeh.
Adilla hanya menyunggingkan senyum terpaksanya. Sedekat apapun ia dengan Sakti, tidak akan bisa mengalahkan cinta diantara mereka berdua. Sampai kapanpun ia tidak akan pernah menang dari Juni. Tidak akan.
___
To be continued
JUNIJANU BAGIAN 61
Juni Maharani
Sakti Janu Namaan
Perkiraan cerita ini akan lebih dari 80 bab, insyaallah 🤲🏼
Gak jadi 100, kepanjangan 🙅
IG : xxtxi23
KAMU SEDANG MEMBACA
JUNIJANU
Teen FictionBagi Juni, mencintai adalah kutukan. Dan patah hati adalah buah nya. Tuhan memang tidak selalu terlihat adil di hadapan ciptaannya. Dan kini, Juni sedang menagih keadilan itu. 🍏 🍏 🍏 Juni Maharani, siswi SMA Trisuaka yang menyukai seorang Sakti J...