62 - Strategi PDKT

340 25 2
                                    

Sesuai janji, Sakti akan main kerumah Juni malam ini. Dan disinilah ia berada, di teras rumah seorang Juni Maharani. Dengan setelan kemeja berwarna biru tua dan topi bertuliskan "i'am yours" terpampang jelas di kepalanya.

Sakti dengan setia menunggu Juni yang sudah 30 menit belum menampakkan batang hidungnya. Di atas meja sudah ada martabak yang Sakti beli untuk Juni yang katanya calon pacar.

Tak lama, Juni keluar dengan setelan piyama keropi dan rambut yang digerai. Wajahnya menunjukkan ketidaksukaan atas kedatangan Sakti.

Juni mengambil duduk yang berhadapan langsung dengan Sakti.

"Ngapain kesini?" Tanya Juni tidak suka.

Sakti hanya menyengir lebar dan menunjukkan lesung pipi di kedua bibirnya.

"Kan gue udah ngasih tahu mau ngapelin Lo, gimana sih,"

"Emang gue iya-in?"

"Ya enggak sih. Tapi gue-nya yang mau, hehe."

Juni memutar matanya malas, ia sudah lelah menghadapi Sakti yang begitu menyebalkan. Sakti memang tampan, tapi lebay jika sudah bertemu dengan Juni.

Dulu saja gengsi yang di junjung tinggi, tapi sekarang kebalikannya.

"Lo gak nyuruh gue masuk?" Tanya Sakti tanpa ragu.

"Dih, mau ngapain,"

"Ya ketemu sama calon mertua lah, udah lama gak ketemu bunda Lo,"

"Calon mertua pala lo bunting! Bunda gue gak akan mau ya punya menantu modelan kayak lo!"

Sakti terlihat menekuk bibirnya kebawah, ia sedih karena mendengar perkataan Juni yang menyakiti lambungnya.

Hati kali thor_- (oh iya lupa)

"Emang lo gak mau punya pacar ganteng nan sholeh kayak gue?"

"KAGAK!"

"Mmm, masa?" Sakti mengerutkan keningnya seolah tak percaya dengan ucapan Juni.

Sakti mengetuk-ngetuk pipinya seolah berpikir. "Terus, siapa ya yang dulu suka merhatiin gue diam-diam. Siapa ya yang dulu ngarepin gue jadi pacarnya. Mmm, siapa ya,"

Sakti menyindir Juni yang pernah menulis kebucinannya dalam buku diary. Juni terkejut sekaligus malu karena tulisannya bocor oleh tokoh dalam bukunya.

"Siapa emang? Gak tau tuh." Jawab Juni pura-pura tidak tahu.

"Perlu gue ingetin lagi?"

"Gak usah!" Juni dengan cepat menyangkal.

Sakti tertawa kecil karena berhasil menggoda Juni yang wajahnya sudah terasa panas terbakar rasa malu.

Beruntung sekali Sakti membaca buku diary Juni waktu itu, kalau tidak mungkin selamanya ia akan menjunjung tinggi rasa gengsi dan tidak akan pernah mengungkapkannya perasaan terhadap Juni. Mungkin juga momen sekarang tidak akan pernah terjadi jika Sakti tidak mengetahui kalau Juni adalah penggemar diam-diam, meskipun itu dulu.

Sakti membaca kebucinan seorang Juni Maharani yang ditulis sekitar dua tahun lalu, yaitu saat Juni kelas satu. Juni menggambarkan sosok Sakti dengan sebuah puisi dan juga kata-kata mutiara. Betapa senangnya Sakti tahu hal itu walau sekarang ia yang harus mengejar Juni dan berusaha menaklukkan hatinya.

"Juni? Lo beneran gak mau ngajak gue masuk? Disini dingin, banyak nyamuk juga." Ujar Sakti mengalihkan pembicaraan.

"Ngapain masuk, pulang aja sana ke rumah lo sendiri," jutek Juni.

"Gue bawa martabak loh, lo gak mau emangnya?"

"Gue gak mempan di sogok. Apalagi cuma pake martabak doang."

JUNIJANUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang