Hari ini Sakti diperbolehkan pulang dari rumah sakit setelah dirawat tiga hari. Sakti sudah meminta pulang dari hari pertama karena tidak betah, namun Mira terus membujuk agar mau di rawat inap.
Sakti hanya ditemani Wiguna saat ini karena Mira sedang pergi ke pernikahan temannya, jika tidak datang ia merasa tidak enak, akhirnya memilih berangkat meskipun tanpa Wiguna.
Sakti dan sang ayah berjalan menuju mobil yang terparkir di depan rumah sakit. Namun saat Wiguna ingin menjalankan mobilnya ia merasa ada yang aneh, ia pun pergi keluar untuk mengecek. Dan benar saja, ban mobil depannya terlihat kempes dan ada robekan besar disana.
"Ada apa, Yah?" Tanya Sakti ikut keluar mobil.
"Ban-nya bocor," jawab Wiguna sambil berkacak pinggang.
Sakti langsung memeriksa ban mobil lebih dekat lagi, ia mengumpat dalam hati, pasti ada orang yang sengaja mengempesi ban mobil ayahnya.
"Pasti ada yang sengaja ngempesin." Ujar Sakti.
Wiguna tidak mau Sakti terlibat dalam masalahnya, ia tidak mau membuat anaknya banyak pikiran dan akhirnya tidak fokus belajar.
"Ya sudah gak apa-apa. Kamu pulang naik taksi aja ya, Ayah mau bawa mobil ke bengkel."
"Enggak. Aku ikut ayah." Tolak Sakti.
Wiguna menggeleng sambil tersenyum kepada Sakti.
"Kamu baru keluar dari rumah sakit, masa udah ayah bawa ke bengkel, gak keren dong."
"Suruh pak Wawan aja yang ngurusin, kita pulang mobil yang dibawa pak Wawan nanti."
"Kamu lupa? Kan pak Wawan lagi nganter Bunda ke kondangan."
Sakti menghela nafas pelan, ia tidak mau meninggalkan ayahnya sendiri, tapi kondisinya juga tidak memungkinkan jika ikut ke bengkel. Serba salah jadinya.
"Terus sekarang gimana?" Tanya Sakti tidak bisa berpikir.
"Sudah ayah bilang, kamu pulang naik taksi, biar ayah yang bawa mobil ke bengkel."
"Beneran? Gak apa-apa ayah pergi sendiri?" Ujar Sakti khawatir.
"Iya, gak apa-apa. Tuh di depan ada taksi yang berhenti, sana naik." Suruh Wiguna dengan lembut.
Sakti akhirnya menuruti kemauan Wiguna dan mengambil dompet beserta ponselnya terlebih dahulu didalam mobil, lalu ia berpamitan kepada Wiguna dan menghampiri Taksi didepan gerbang rumah sakit.
Saat Sakti sudah berada didalam taksi, ia tidak sengaja melihat dua pria yang pernah memukulinya sedang berjalan dari parkiran dan masuk kedalam mobil.
Saat mobil itu keluar dari rumah sakit, Sakti buru-buru menepak pundak sang supir taksi.
"Pak, kejar mobil itu," tunjuk Sakti kearah mobil sport di depannya.
"Baik,"
Kecepatan mobil sport incaran Sakti terbilang santai karena tidak tau sedang di ikuti oleh mobil lain.
"Terus ikuti pak," ujar Sakti yang fokus menatap mobil sport itu, ia sampai hafal nomor plat nya.
"Z 4915 BT." Sakti mengeja plat nomor dalam hati.
"Mobil itu menambah kecepatan, sepertinya sadar ada yang mengikuti." Ujar pak supir kepada Sakti yang duduk di bangku belakang.
"Bapak juga tambah kecepatan, jangan kasih kendor,"
"Baik,"
Layaknya seorang pembalap, pak supir menambah kecepatan dan berusaha mengejar mobil didepannya. Bibirnya bergelatuk, matanya menajam, dan jiwanya terbakar.
Jalanan yang semakin padat merayap, menyusahkan untuk mengejar, karena mobil sport itu terus mempercepat lajunya dan menyalip pengemudi lain.
"Sudah tertinggal jauh, bagaimana ini?" Ujar pak supir yang terjebak diantara puluhan pengemudi lainnya.
Sakti mengumpat dalam hati, ia gagal untuk mengetahui siapa pelaku yang telah mencelakainya.
Pelaku yang membuat ban mobil robek pun pasti orang yang sama.
"Putar balik aja pak, antar saya kerumah."
"Apa bisa lewat jalan depan saja?"
"Gak bisa, kalo bisa pun jauhnya tiga kali lipat, bapak mau?"
"Bisa-bisa saja, kan ongkosnya sesuai jarak yang ditempuh," jawab pak supir nyengir.
"Nah itu dia pak, saya gak mau bayar double,"
Pak supir memutar matanya malas, ia merasa keberatan karena harus putar arah di tengah padatnya kendaraan.
"Ngerepotin aja nih anak," gumam pak supir dengan pelan.
"Saya denger loh pak,"
"Eh iya iya, ini saya mau putar balik."
___
Begitu sampai dirumah, Sakti membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ia memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.
Akhir-akhir ini Sakti banyak pikiran, banyak kejadian tanpa ia diduga.
Sakti mencoba menidurkan diri dan mengistirahatkan tubuhnya. Namun baru beberapa menit, ia dikejutkan dengan sesuatu yang baru.
Terdengar suara kaca yang pecah dari arah jendela kamarnya. Seseorang baru saja melempar sebuah batu dari luar dan mengagetkan Sakti.
Sontak Sakti berlari kearah jendela untuk mengecek siapa yang telah melempar batu itu. Ia melihat seorang pria berkaus hitam menaiki motor dan melaju dengan cepat membuat Sakti tidak bisa mengenalinya.
Sakti mengambil batu yang dilemparkan dan berada di bawah meja. Terdapat kertas di batu itu dan Sakti langsung membukanya.
Didalam kertas ada sebuah tulisan berwarna merah darah.
"I'AM THE MAIN CHARAKTER," ujar Sakti membaca tulisan di kertas itu.
"Apa maksudnya semua ini?"
"Siapa yang terus-terusan nerror keluarga Gue." Umpatnya sambil mengepalkan tangan.
"Sial! Gue harus cari tahu secepatnya."
___
To be continued
JUNIJANU BAGIAN 53
Juni Maharani
Sakti Janu Namaan
KAMU SEDANG MEMBACA
JUNIJANU
Teen FictionBagi Juni, mencintai adalah kutukan. Dan patah hati adalah buah nya. Tuhan memang tidak selalu terlihat adil di hadapan ciptaannya. Dan kini, Juni sedang menagih keadilan itu. 🍏 🍏 🍏 Juni Maharani, siswi SMA Trisuaka yang menyukai seorang Sakti J...