Juni dan kedua temannya dikejutkan karena kedatangan Sakti yang begitu tiba-tiba. Dan yang lebih mengejutkannya lagi kondisi Sakti sedang tidak baik-baik saja, terlihat tangan kanannya terpasang selang infus sembari mendorong besi yang terdapat infusan.
Sakti melangkah dengan tenang seolah merasakan setiap detik tapak kakinya. Tatapannya tak henti tertuju kepada Juni yang berbaring di blankar. Wajahnya terlihat damai, menyejukkan setiap makhluk yang melihatnya, begitu Masyaallah.
Juni merasa kikuk saat Sakti berdiri tepat disampingnya, bagaimana tidak, ia ditatap sebegitu dekatnya tanpa berkedip barang sekejap.
Dea dan Anya tidak berminat membuka suara dan setia menyaksikan apa yang akan dilakukan Sakti. Namun, detik kemudian mereka terkejut saat Sakti mengalihkan pandangan kepada mereka berdua. Auranya semakin tidak terdefinisikan membuat nyali menciut seketika.
"Bisa kasih gue waktu berdua sama Juni?"
Juni meneguk ludah saat melihat Dea dan Anya yang saling tatap enggan menjawab perkataan Sakti.
"Sstt..." Juni mengkode kedua temannya supaya memberi Jawaban segera. Takutnya Sakti murka karena tidak dituruti perintahnya.
Dea berkedip seperti baru tersadar dari lamunan dan langsung mengeluarkan suara, "Ah, iya, gue lupa disuruh beli ceker merecon sama mama. Biasalah, kalo ngidam suka aneh-aneh, hehe. Yuk, Nya, anter gue." Ujarnya sambil menarik tangan Anya.
"Mama lo hamil? Kok gue baru tau?" Tanya Anya polos.
"Enggak hamil, cuman lagi ngidam aja,"
"Bukan ngidam berarti itu mah, doyan." Sahut Juni.
Dea mengusap leher belakangnya karena merasa dejavu, ia tidak nyaman terus ditatap oleh Sakti dengan tajam. Sepertinya, ia ingin segera Dea dan Anya keluar dari ruangan.
"Ah, iya, sama aja lah." Timpal Dea. "Kita pamit dulu ya, Jun. Cepet sembuh, biar bisa sekolah lagi,"
"Iya Jun, kita tanpa lo tuh udah kayak ayam tanpa kukuruyuk, gak sempurna." ujar Anya dramatis.
"Gak usah drama, gak usah drama,"
"Ih seriusan tau, De. Gue..."
"Ekhem,"
Anya kaget saat Sakti memotong pembicaraan, sepertinya ia sudah tidak sabar menunggu dua teman Juni pergi. Hal itu membuat Dea dan Anya langsung mengerti dan ingin segera meninggalkan Juni bersama lelaki tampan se-Indonesia raya itu.
"Eh, yaudah deh, kita pulang dulu ya Jun," ucap Anya gugup dengan mata mengkode Dea agar segera pergi dari ruangan itu.
"Kita pamit ya, nanti kesini lagi, dadah,"
Juni mengangguk seraya tersenyum. Ia menyaksikan kedua temannya pergi dengan perasaan nano-nano. Setelah memastikan mereka keluar, Juni beralih menatap Sakti yang ternyata sudah lebih dulu menatap dirinya. Begitu tajam dan sulit diartikan, Sakti seperti bukan Sakti yang biasanya.
Sakti menempati kursi yang semula diduduki oleh Dea, meletakan tangannya pada brankar lalu memutar kepala kearah Juni dengan tenang.
Juni jadi teringat, kala Sakti dibawa oleh tiga lelaki dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sudah tiga hari berlalu dan Juni baru bisa melihat wajah Sakti yang tampan nan kiyut ini lagi. Ada perasaan tenang, namun semuanya terurungkan saat melihat kondisi Sakti yang terlihat tidak baik-baik saja.
"Sakti? Waktu itu... Tiga om-om... Dia..." Juni terbata dan kaku, bingung harus bagaimana menanyakan kondisi Sakti.
"Gue gak-papa,"
KAMU SEDANG MEMBACA
JUNIJANU
Teen FictionBagi Juni, mencintai adalah kutukan. Dan patah hati adalah buah nya. Tuhan memang tidak selalu terlihat adil di hadapan ciptaannya. Dan kini, Juni sedang menagih keadilan itu. 🍏 🍏 🍏 Juni Maharani, siswi SMA Trisuaka yang menyukai seorang Sakti J...