Malam ini, Juni dipenuhi rasa penasaran terhadap lelaki bernama Bayu. Juni tidak bisa menebak siapa dalang dibalik semua teror ini, siapa yang harus ia tuduh tanpa bukti. Siapa yang tega membuat Juni uring-uringan seperti sekarang.
Juni menelungkup seluruh tubuhnya dibawah selimut. Ia ingin mencoba menghilangkan rasa penasaran itu namun malah semakin berkeliaran didalam pikirannya.
Seumur hidup, baru kali ini Juni mengalami teror dan tidak tau siapa pelakunya. Juni ingin segera mengakhiri, namun tidak tau harus dimulai dari mana.
TOK TOK TOK
Juni mendesah karena merasa terganggu oleh seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. Juni bisa menebak siapa seseorang itu.
Dengan gusar Juni membuka selimutnya dan menggeram berat.
"Juni, kenapa pintunya dikunci?"
Teriakan Jeno dari luar kamar membuat Juni jengah. Untuk saat ini ia tidak mau diganggu oleh siapapun, ditambah Juni sedang kesal sama Jeno karena kejadian waktu pagi.
Bukannya menjawab, Juni justru bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju rak buku. Juni mengambil buku diary yang ia buat hampir tiga tahun lalu.
Juni membuka lembaran satu persatu, membaca kembali setiap kata yang ia tulis sendiri. Juni bergidik ngeri karena pernah ada di masa alay nauzubillah.
"Gue pernah nulis kayak gini? Kok gak inget ya," gumam Juni lalu menggeleng kepala.
"Ini juga apaan, sejak kapan gue bilang Sakti mirip Chanyeol EXO, astagfirullah. Gak bener nih gue, Sakti kan lebih mirip sama mang justin ketimbang oppa Korea."
Juni membuka halaman selanjutnya, ia mendapatkan foto palaroid Sakti yang Juni ambil secara diam-diam. Di foto itu Sakti terlihat sedang bermain basket dan mendribel bola. Baju tanpa lengan dan keringat bercucuran membuat Sakti begitu menggoda iman. Dibawah foto terdapat tulisan "my sexy boy" yang membuat Juni ingin muntah saat membacanya.
Tanpa ragu Juni mencopot foto palaroid itu dan menyimpannya di atas meja. Lalu Juni kembali membuka halaman berikutnya. Di halaman ini Juni membuat sebuah puisi yang menggambarkan dirinya pada saat itu.
Dirimu, yang aku cintai
Begitu dekat namun tak bisa ku gapai
Terlihat namun tak bisa ku sapa
Nyata namun seperti tak ada
Dirimu, yang amat ku kagumi
Berjuta kata mampu ku tulis
Bermil-mil jarak mampu ku lewati
Namun takdir tuhan tak bisa di tawar lagi
Bahwa kita jauh dari kata 'cie jadian nih'
Juni tersenyum miris membaca puisi buatannya sendiri. Ia jadi terbayang saat dulu begitu mengagumi sosok Sakti Janu Namaan. Begitu mengharapkan sapaan walau sekedar basa-basi. Juni geleng-geleng tidak menyangka dirinya dulu.
Saat Juni membuka halaman baru, terdengar Jeno yang terus mengetuk pintu tanpa henti.
TOK TOK TOK TOK
"Juni, bukain pintunya dong. Abang mau ngomong nih,"
Juni memutar bola matanya malas, ia merasa terganggu aktifitas nostalgia-nya. Juni tidak mau menjawab ataupun membuka pintu karena masih dalam masa ngambek.
"Juni? Kok jawab? Lo kenapa? Jangan bikin khawatir deh,"
Sebagai seorang laki-laki, Jeno begitu cerewet apalagi jika sudah beradu mulut dengan Juni, ia tidak mau mengalah meskipun posisinya sebagai kakak.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUNIJANU
Teen FictionBagi Juni, mencintai adalah kutukan. Dan patah hati adalah buah nya. Tuhan memang tidak selalu terlihat adil di hadapan ciptaannya. Dan kini, Juni sedang menagih keadilan itu. 🍏 🍏 🍏 Juni Maharani, siswi SMA Trisuaka yang menyukai seorang Sakti J...