66 - Menikmati Polusi

279 22 2
                                    

Setelah selesai makan bakso, Sakti dan Juni kini sedang duduk santai di bangku kayu yang tersedia pada trotoar. Mereka berdua kini saling diam dan tatapan lurus ke jalanan yang penuh dengan kendaraan yang kesana-kemari.

Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing, mengabaikan hiruk pikuk kota yang bising dengan deru klakson saling bersahutan.

Sesekali Sakti melirik Juni yang setia menatap jalanan tanpa bergerak sedikitpun, kemudian Sakti mengikuti apa yang dilakukan oleh Juni. Tak berselang lama Sakti melirik kembali dan masih tetap sama, lalu Sakti menatap lurus kembali. Selama satu jam lebih, hanya seperti itu kegiatan mereka, tidak ada yang menarik.

Dan untuk kesekian kalinya, Sakti kembali melirik Juni yang masih berdiam diri. Namun kali ini Sakti menatapnya lebih lama dari sebelumnya, lebih dekat dari sebelumnya. Sakti hanyut dalam pesona Juni yang terlihat polos dengan wajah yang dipoles seadanya. Angin yang diciptakan oleh kendaraan, membuat rambut Juni berterbangan dan menutupi wajah Sakti di sampingnya.

Tatapan Sakti semakin dalam dan semakin hanyut terbius oleh manusia yang ia kagumi sedari dulu. Senyuman manis terukir di bibirnya yang tak sirna oleh suara knalpot. Semua yang dilakukan Sakti sudah membuktikan betapa ia mengagumi sosok Juni Maharani.

"Lo cantik," gumam Sakti dan tak membuat Juni tersadar dari lamunannya.

"Lo, manis,"

"Lo, indah."

Sakti terus memberi pujian dan masih terpesona dengan kecantikan Juni. Baru kali ini Sakti menyukai seseorang sedalam dalamnya. Baru kali ini Sakti mencintai seseorang tulus dari hati yang paling dalam.

"Lama-lama gue bisa gila kalo terus mandang lo kayak gini,"

Sakti memberanikan diri mengelus rambut Juni dengan pelan. Sepertinya Juni sudah terjebak dalam pikirannya sendiri, sampai-sampai tidak menyadari aksi Sakti yang akan membuatnya kesal setengah mati.

"Kapan ya kita bisa pacaran kayak orang-orang. Gue tau lo cinta sama gue, tapi kenapa sulit banget mengakui. Lo itu gengsi atau mau main-main sama perasaan sendiri?"

Suara Sakti terdengar rendah karena tidak mau menganggu Juni yang sibuk melamun.

"Kita sama-sama suka, sama-sama cinta. Tapi kok susah banget buat bersatu. Padahal gue liat orang-orang mulus bener dalam masalah percintaan."

"Gue kurang apa coba. Ganteng iya, kaya iya, berbakti kepada orang tua iya, rajin sholat iya. Terus apa lagi ya..." Ujar Sakti berpikir.

"Ah gue rajin sedekah juga iya. Tapi kenapa masalah hati gue gak pernah lancar-lancar. Heran gue,"

Sakti merapatkan dirinya kepada Juni dan menghapus jarak antara keduanya. Dengan perlahan, Sakti memajukan wajahnya pada wajah Juni. Ia dapat merasakan setiap hembusan nafas yang keluar dari hidung Juni.

Jarak mereka semakin terkikis habis, Sakti memejamkan matanya dan merasakan setiap detik berharganya. Satu sentimeter jarak antara bibir Sakti dengan pipi mulus Juni, Sakti siap melepaskan ciuman untuk kedua kalinya. Namun suara klakson bus membuat Juni tersadar dari lamunannya. Sakti buru-buru menjauhkan wajahnya lagi dan merdecak kesal karena aksinya telah gagal.

Juni melirik Sakti yang terlihat kikuk, ia merapikan rambut yang berantakan tersapu angin lalu menjauhkan diri dari Sakti saat menyadari jarak mereka begitu dekat.

"Lo ngapain sih nempel-nempel mulu sama gue. Cari kesempatan dalam kesempitan!" Cerocos Juni yang sudah sepenuhnya sadar.

"Ih Suudzon mulu ya lo. Tadi tuh ada ibu-ibu yang ikut duduk disini, makanya gue geseran. Lo nya aja yang gak nyadar."

Sakti menghela nafas berat karena berhasil membuat alasan dan Juni percaya begitu saja.

"Lo ngelamunin apa sih? sampe gue sapa gak nyaut-nyaut." Tanya Sakti mengalihkan pembicaraan.

"Gue lagi mikirin cowok penguntit tadi. Gue gak tau apa kesalahan gue sampe-sampe punya musuh kayak gini," Terang Juni.

Juni terlihat begitu gelisah, tatapannya tidak fokus pada satu arah, ia terus-terusan bergerak tak karuan. Sakti yang melihat itu merasa khawatir akan kondisi Juni, takut jika nanti Juni akan sakit karena terlalu banyak pikiran.

"Lo tenang aja, gue bakal bantu lo nyari tau apa maksud dia selalu ngikutin lo. Gue janji." Ujar Sakti menenangkan.

"Gue gak yakin sama Lo,"

"Lo ngeraguin gue? Wah parah! Teganya dirimu dirimu dirimu dirimu..." Sakti berseru keras sambil menggelengkan kepala.

"Gak usah alay!"

"Lebih alay mana sama tulisan di buku diary lo. Perlu gue ingetin apa jadinya isinya?" Ujar Sakti mengingatkan pada buku diary Juni yang sudah lama ia tulis kembali.

"Coba aja kalo inget,"

Sakti tersenyum mendengar persetujuan dari Juni.

"Tuhan, betapa hebatnya kau menciptakan makhluk setampan Sakti. Aku mencintainya sedalam laut kuta di Bali, setinggi gunung 5442 MDPL. Aku suka Sakti dari ujung rambut sampai ujung kaki, rasanya aku ingin mati saat bertatap muka dengannya. Aku..."

"STOP!"

Sakti tertawa begitu keras karena berhasil membuat Juni tersipu malu. Ia mengingat sebagian tulisan pada buku diary Juni.

Juni tidak mengingat pernah menulis kata-kata alay seperti itu. Bagaimana bisa Sakti mengingat semuanya sedangkan ia tidak. Juni merasa malu sekali sekarang.

"Gue gak pernah nulis kata-kata itu. Ngarang kali Lo!" Sergah Juni tidak mau mengakui.

"Masa?" Goda sakti sambil menoel dagu Juni.

"Ish gak usah pegang-pegang!"

"Pegang ah,"

Bukannya menurut, Sakti malah memainkan rambut Juni dan mengangkatnya ke atas, membuat sang pemilik terlihat begitu kesal.

"Janu! Lepasin gak?!"

"Cie sekarang udah lancar ya manggil gue Janu,"

Janu memukul mulutnya yang keceplosan memanggil Sakti dengan sebutan Janu. Ia kini berjuta-juta kesal terhadap Sakti.

"Cie lo salting ya, cieee." Sakti terus meledek Juni yang terlihat begitu kikuk setengah mati.

Dari kejauhan, ada dua orang lelaki yang memperhatikan dari jauh. Mereka adalah pelaku pemukulan terhadap Sakti beberapa waktu silam.

Namun, kali ini mereka tidak benar-benar berdua. Tak jauh dari mereka ada laki-laki berkacamata hitam dengan sayatan pada wajah kirinya. Ia tersenyum menyeringai melihat Sakti yang sedang asik mentertawakan Juni.

"Sekarang kamu masih bisa tertawa, tapi tidak untuk besok."

Lelaki itu membuang puntung rokok dan menginjaknya, lalu dia memasuki sebuah mobil diikuti dua algojo yang terlihat kaku.

Mobil itu menjauh dan menyisakan Sakti bersama Juni yang sibuk bertengkar.

Kenapa hidup Sakti dan Juni selalu diikuti oleh bayang-bayang ketakutan. Mereka tidak merasa memiliki kesalahan sehingga ada seseorang yang begitu membenci.

Apapun itu, semua akan terungkap pada waktunya.

___

To Be Continue

JUNIJANU BAGIAN 66

Juni Maharani

Sakti Janu Namaan

IG : xxtxi23

JUNIJANUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang