"Daddy."Lily semakin melebarkan langkahnya lagi, jarak dari pintu samping menuju sofa tidaklah teramat jauh namun, pekikan yang ia keluarkan begitu memekkakan telinga hingga Rose yang tengah mencocol pipi tirus penuh lebam milik Vee dengan kapas yang dibasahi alkohol lantas tak sengaja tertekan lebih dalam dan pria itu meringis, sakit, sudah pasti.
"Ups, sorry, beneran nggak sengaja, ulah anakmu itu," ucap Rose lirih, ia sedikit melunak dari sebelumnya. Mungkin karena keadaan Vee.
Vee tidak marah, malahan ia tersenyum tipis dengan menimpali, "Anak kita, bukan aku doang, kita buatnya barengan kok."
"Aw, sakit sayang."
Rose menghela napas berat, total mengabaikan sampai menulikan telinga setelah menekan sengaja kapas lebih dalam sampai Vee memekik dengan panggilan sayang. Hello. Pria itu terlalu gamblang dengan ucapannya, pun saat mulut sexynya spontan menyebut kata sayang, ada gelenyar aneh yang mendadak menyerbu hati Rose.
"Eh mommy, adek lihat ya," Lily berbicara keras dengan mata menantang ibunya. "Pelanggaran Mom, nggak boleh nyiksa pasien, itu main tekan, daddy kesakitan." protesnya melanjutkan.
Rose mengubah pandang ke arah Lily dengan sorot lelah, ada-ada saja pikirnya, ia selalu kalah dengan semua Daddy yang dimiliki Lily, tidak Jeffry juga Vee, semuanya pasti dibela putrinya. Jujur, Rose tidak cemburu, malahan ia tersenyum kecil dalam hatinya.
"Lily sayang, sweetynya daddy, ini sakit banget, mommy kamu jahat," adu Vee kekanakan setelah putrinya berdiri tepat di depannya.
Rose merotasikan bola matanya, inginnya merotasikan bumi berlawanan dengan arahnya namun, ia sadar tidak bisa melakukannya. Memilih diam daripada ocehan Lily berlanjut sampai tahun depan. Vee juga begitu, main adu kepada putrinya, membuat Lily seketika membinarkan matanya.
"Daddy, inginnya Lily tadi nolongin, tapi Lala auntie serem." ungkap Lily beserta duduk disamping Vee.
"Adek nonton!" Seru Rose tidak percaya.
Lily mengangguk lalu melihat iba ke arah ayahnya. Sedangkan Vee sontak membolakan matanya. Malu. Sudah pasti. Tidak tahu juga jika putrinya menonton pemandangan yang seolah menunjukkan jika Vee lemah. Pria itu bersumpah. Ia tidak lemah, hanya menerima apa yang seharusnya didapatkan. Bahkan jika Lala membunuhnya, ia bersedia.
"Lily bangga, karena daddy hanya diam," Lily menjeda ucapannya sampai bokongnya menyentuh sofa empuk di samping Daddy-nya. "Lily tidak tahu alasan kenapa Lala auntie mukulin daddy, tapi yang jelas, mommy harus jawab rasa penasaran Lily, daddy pasti juga penasaran 'kan?" lanjutnya diakhiri dengan memandang Rose yang ada di depannya.
Rose sontak termanung. Seperti di interogasi penyidik yang baru saja menemukan pelaku kejahatan. Lihat saja, raut muka Vee yang mendadak berubah drastis dengan kepala ditengadahkan tanda mendesak, juga, putrinya itu lho mukanya sok polos, rasanya Rose ingin memasukkan kedalam perutnya lagi.
Rose menghembuskan napas berat, menundukkan kepala, seakan mengumpulkan tenaga sampai ia benar-benar siap dengan jawabannya, Rose menatap Vee pun Lily lagi dengan keyakinan yang sudah ia kumpulkan.
"Vee, apa kau ingat dulu aku pernah bercerita tentang sahabatku dari Thailand?"
Vee, orang dengan otak encer dan daya ingat tajam yang sayangnya bodohnya kebangetan untuk urusan percintaannya sendiri itu langsung saja cepat tanggap. "Jadi, Lala, dia sahabat kamu?" tanyanya tanpa ragu.
Rose mengangguk, "Aku bertemu dia lagi di Australia, dan, ya, aku cerita semuanya, semua yang aku alami, kecuali tentangmu yang masih aku rahasiakan. Aku juga tidak tahu kalau akhirnya malah kau sendiri yang mengumbar ke Jaeko, ngundang kesini pula, cari mati memang, sudah tahu Lala itu kalau ngamuk kayak apa."
"Ya, aku kan nggak tahu, coba kamu kasih tahu dulu."
"Harusnya apa-apa ngomong dulu, jangan seenaknya."
Vee tidak terima dituduh. "Mananya yang seenaknya, aku cuma ngasih berita bagus ke Jaeko, cuma dia."
"Kita baru pindah kemaren lho Vee, belum bahas apa-apa juga."
"Gimana mau bahas kalau kamu ngehindarin aku terus, aku ngasih tahu Jaeko dan Lala biar kamu ngerasa nyaman, karena aku tahu kalian saling kenal, kita sama-sama kenal."
Lily diam menyimak, sedikit banyak paham, tidak mau masuk dalam obrolan, karena ia juga sadar belum dewasa. Lily hanya ingin tahu alasan saja, sampai disini ia ingin menyudahi.
"Oke, Lily keatas dulu, dad, mom. Lily udah paham. Jangan berantem terus, nanti cepet tua," ucapnya mendadak menghentikan Vee dan Rose yang sedang berdebat.
Rose lagi-lagi menghembuskan napas lelah, kali ini lebih harus meningkatkan rasa sabar. Sedangkan Vee hanya tersenyum tipis, tengilnya Lily sangat menggemaskan dimatanya, seandainya, sejak dulu Vee tahu. Ah, lupakan soal itu, Vee benar-benar merasa bodoh.
Sepeninggal Lily, Rose melanjutkan untuk mengobati sikut Vee yang ternyata tergores lantai saat jatuh. Sedikit ada darah. Rose terlalu fokus sampai-sampai tidak sadar jika Vee memandangnya dengan penuh kekaguman dan kerinduan. Pria itu sangat merindukan Rose.
"Aku rindu kamu," ucap Vee lirih.
Jantung Rose rasanya ingin berhenti saja. Meskipun sangat pelan, ia tetep bisa mendengar, jarak keduanya sangat dekat. Rose berdehem tanpa niat menimpali. Benci masih mendominasi meskipun setiap hari yang ia rindu hanya Vee.
"Aku rindu kamu," ucap Vee mengulang.
"Aku membencimu."
Rose mengatakan tanpa memandang Vee, sengaja, karena memang tidak mau melihat bagaimana ekspresi diwajah pria itu. Rose tetap mati-matian membangun dinding kokoh untuk pertahanan. Mungkin memang semua berawal dari kesalah pahaman, tapi Rose sudah terlalu banyak kehilangan, termasuk Leon. Ego begitu menguasai, Rose takut terlena dengan Vee, trauma juga. Bagi Rose mencintai itu sangat menyakitkan.
"Maaf."
"Aku disini karena Lily, Vee. Aku tidak mau mencari kebahagiaan dimana aku dulu dihancurkan."
Ucapan Rose barusan membuat ia tertekan. Ingin Vee memperbaiki, semua sudah dijelaskan, bukan serta merta karena penghianatan. Sebegitu sulitnya Rose memaafkan.
"Aku harus bagaimana biar kamu bisa kembali?"
Rose tersenyum kecut dalam tunduknya. Tangannya perlahan turun untuk saling meremat jari, matanya memanas. Pertanyaan Vee terasa sangat hangat dengan nada lirih. Rose tidak ingin terenyuh, tapi hatinya seperti dipeluk.
"Bisa hidupkan Leon lagi? Kau bisa?"
Mungkin pertanyaan itu begitu konyol. Menghidupkan orang mati. Apa ia pikir Vee adalah Dewa kehidupan. Bahkan jika ia seorang Dewa, tetap saja tidak bisa mengalahkan takdir Tuhan.
"Tidak bisa bukan? Jadi berhenti bertanya!" imbuh Rose.
"Kamu sengaja menyulitkanku Rose. Egomu sangat besar." cerca Vee yang merasa dipermainkan. Emosi, pria itu sedikit tersinggung.
Rose berani mendongak, menatap tajam manik mata jelangga milik pria didepannya. "Anggaplah begitu, aku tidak perduli." ucapnya tenang.
Selepasnya, Rose membereskan peralatan kesehatan untuk ditempatkan ke tempat semula, membiarkan Vee yang masih termanung sendiri di sofa. Rose tidak perduli walau bagaimanapun hatinya begitu nyeri.
Sign,
Pee🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...