75. Janji

275 60 4
                                    


"Aku tidak akan pergi." Katanya begitu tegas, aura kelam menyelimuti dadanya, ada sedikit keraguan namun terlihat meyakinkan.

"Janji?" Tanya Rose parau, dan suaranya terdengar serak menahan air mata. Dia membenci ini, membenci perasaan gelisah seperti ini, mengingatkan masa dimana ia ditinggalkan Vee.

Vee menatap Rose dalam untuk beberapa waktu, seakan permintaan Rose perlu dirundingkan dalam pikiran, namun sejenak ia mendapat jawaban dan berkata, "Aku berjanji padamu sayang."

Silau dari matahari melewati jendela, mata yang baru terbuka menyambut cahayanya, "Cuma mimpi?" Rose berbisik pada dirinya sendiri.

"Kenapa perasaanku nggak enak?"

Namun seolah mimpi adalah kenyataan, deklarasi janji yang Vee berikan melalui bunga tidur itu harus segera di konfirmasi oleh Rose hari ini juga. Sedikit aneh, tapi Rose tahu jika mimpi adalah sebuah pertanda.

Maka, Rose sudah menyusun rencana jika siang nanti ia akan menemui Vee untuk menuntut janji jika pria itu tidak akan pernah meninggaklannya, lagi, seperti dulu.

Berjanji, dengan arti lain, menyiratkan kesediaan untuk menanti, memberi harapan. Orang-orang sering kali membuat janji, tapi tak pernah bersungguh-sungguh memikirkan arti di balik kata bermakna itu. Banyak orang ingkar.

Rose harus membuat Vee berjanji, dengan sungguh-sungguh.
Hari ini Rose sudah mempunyai rencana pergi bersama Lala, wanita itu tidak main-main ingin membuka sebuah toko kue kering.

Hembusan halus napasnya begitu menyedihkan, Rose memandang telapak tangan yang sudah di tempatkan di depan matanya, ia rindu rumah sakit, ia rindu keahlian dalam mengobati orang sakit.

"Apa berita sudah cukup reda?" Rose bertanya-tanya.

Ponsel yang berada di atas nakas ia raih, membuka portal berita online untuk mengetahui status dirinya sudah aman apa belum.

Rose sedikit lega namun belum begitu aman untuk keluar rumah sendirian, apalagi pergi ke rumah sakit. Rose bukanlah orang dengan perangai mencekam seperti novel-novel yang suka menyuguhkan ketagguhan seorang wanita, ia hanyalah ibu rumah tangga tunggal belum menikah yang kebetulan mendapat musibah ditinggalkan kekasih.

Bangkit?

Mengenahi kebangkitan, titik tertinggi Rose untuk bangkit bukanlah menjadi orang yang super wow, ia sudah cukup puas dengan membesarkan anak tanpa sakit yang keterlaluan, menjalani hari-hari menyenangkan meski tanpa pasangan, bukan acara balas dendam dengan ego ketinggian, Rose bukan wanita seperti itu.

Jadi, untuk melawan netizen yang mendadak menyerangpun, Rose tak bisa berbuat banyak, ia hanya akan diam menunggu sampai reda.

Katakan Rose lemah.

Bukan.

Rose hanya tidak mau berurusan dengan orang banyak. Ada pepatah, diam adalah emas, ya siapa tahu dengan diamnya Rose, orang-orang yang mencemooh bisa berhenti perlahan. Cara itu cukup elegan menurutnya. Nanti, Rose berjanji tetap akan menjalani hidupnya seperti dulu, bekerja di rumah sakit. Namun tak menunda untuk toko kering impian barunya.
Rose sekali lagi menghembusakan napas halus. Sebelum pagi ini terlambat dan membuat Lala si ibu rumah tangga menunggu terlalu lama, maka ia segera membasuh diri dan keluar dari rumah.

"Mbak Asih, saya pergi dulu." Sembari menuruni tangga Rose berpamitan kepada Asih yang tepat berada di lantai satu, membawa beberapa kantung plastik. "Mbak Asih masak saja buat mbak sama pak Anton, karena saya seharian keluar."

"Baik bu."

Jawaban singkat Asih yang penuh sigap membawa senyum untuk Rose. Lalu ia melenggang begitu saja, rambut yang tergerai bebas dengan pakaian super santai namun terlihat mewah jika melekat di badannya, Rose dengan santai seperti pergi ke pantai menaiki mobil yang sudah dipanasi oleh pak Anton.

CUDDLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang