Hari ini sangat terang, Rose membuka matanya perlahan. Silau dari celah jendela membuat matanya sulit terbuka lebar. Ia tiba-tiba mengingat tentang Vee yang dulu suka bermanja padanya, dulu sekali, Rose rindu, tapi tidak bisa berbuat banyak.Tiga hari yang lalu tepatnya. Vee tak mau mengulur waktu setelah sesampainya kembali dari Singapura, malam itu, Vee sepertinya benar-benar kecewa kepada Rose lantas tak menunggu pagi tiba ia langsung pergi saja tanpa banyak bicara.
Rose sedikit mendengar percakapan Vee mengatakan perpisahan, ah, bukan, lebih tepatnya menjelaskan kepada Lily dan Leon jika ia akan hidup terpisah dari mereka karena tidak boleh seorang wanita dan pria dewasa tinggal serumah tanpa ikatan.
Lily sebenarnya protes dan mengatakan tidak apa-apa, lagipula keduanya tidak tidur bersama. Namun Leon membenarkan perkataan ayahnya jika langkah yang diambil sudahlah sangat tepat. "Dad, secepatnya menikah biar kita bisa hidup tenang dalam satu rumah." Leon mengatakan itu, namun hanya setarik senyum yang dijadikan jawaban oleh Vee.
Rose dengan jelas melihat saat Vee tidak mengatakan apa-apa. Ada sedikit kecewa menusuk hatinya, namun, bukankah itu adalah keinginan Rose sendiri. Lalu tak menunggu begitu lama, Vee bergegas meninggalkan rumah mewah ini. Rose merasa kehilangan.
Tiga hari pula Rose tak melihat pria itu berada disekitarnya, bahkan saat menjemput Leon untuk daftar sekolah, Vee menunggu di depan gerbang. Sangat keterlaluan menghindari Rose sampai sebegitunya.
Rose membuka kotak perhiasan yang didalamnya ada sebuah jam tangan limited edition miliknya dari 9 tahun yang lalu, barang itu couple dengan barang satunya lagi, yang ada di tangan Vee. Entah pria itu masih menyimpan atau sudah membuang jauh, Rose tidak tahu, pasalnya benda itu adalah pemberian dari Vee.
"Pasti sudah rusak." Rose bergeming saat melihat sedikit debu menempael pada jam tangan yang ada di genggamannya.
"Rose apa kau sudah siap." Seruan itu terdengar dari Candra, bergegas Rose menutup kotak perhiasan. "Kau sedang apa?"
Rose menggeleng setelah sesaat melempar benda yang ia sembunyikan di bawah ranjang dengan cepat. "Aku akan siap-siap.""Aku tunggu, jangan lama-lama, kau tahu sendiri 'kan Bu Dera akan mengumumkan beberapa hal."
Rose mengangguk serta mengacungkan jempol tangannya. Setelah Candra keluar, Rose meloloskan napas lega. Benar, Dera alias nenek dari anak-anaknya sudah siap kembali untuk muncul kepermukaan beserta gencatan kerja yang mendadak menggemparkan beberapa pemegang saham besar yang bekerja sama dengannya. Sangat luar biasa membuat orang terpontang panting tidak karuan.
Apalagi untuk keluarga Everleight, Dera termasuk pemegang saham paling besar untuk rumah sakit terbesar di Indonesia itu. Sepertinya Dera memang sengaja menaruh banyak perhatian untuk bisnis satu ini.
Suasana rumah sakit sudah sangat ramai, banyak mobil terparkir rapi, dilihat dari fisiknya, hal tak biasa dilihat dari sini, Candra pun nampak antusias. "Pemegang saham memang beda kelas, lihat, ruang bawah tanah bagaikan tumpukan berlian."
"Kak, nggak usah norak, kau juga bisa membeli lebih dari mereka semua."
"Ya, aku sangat bisa."
"Ck." Rose berdecak. "Jangan mulai deh, sombong. Mau ku bandingkan dengan kepunyaan Lily."
Candra memutar bola matanya. Adiknya ini memang tidak bisa mengalah. Padahal Candra hanya bercanda. "Aku menyerah. Lagian, anak-anakmu itu banyak sekali daddy-nya, berduit pula, aku iri."
"Kau menghinaku ya kak?"
"Dimana letak kalimat menghina dariku? Kenapa kau tempramen sekali sih?"
"Lily punya daddy banyak? Aku bahkan belum menikah."
"Kenyataan 'kan? Jeffry dan Vee memang ayah Lily."
Rose merasa sangat tertekan saat kakaknya menyebut nama Vee meski dalam konteks membahas anak-anaknya, dan Rose tahu betul niat Candra hanya bercanda. Rose juga tidak tahu kenapa ia sangat tempramen hari ini. Apalagi saat ini pintu lift sangat lama sekali untuk turun kebawah.
Rose mengangkat pergelangan tangannya yang dilingkari jam tangan, waktu menunjukkan pukul delapan pagi, rapat besar akan diadakan jam setengah sembilan, masih ada tiga puluh menit untuk menyiapkan diri. Rose gugup, setelah tiga hari ia akan melihat wajah Vee lagi.
"Kak."
"Kenapa?"
"Aku memutuskan tidak mau melanjutkan dengan Vee."
Candra yang baru saja menelan kopi dari botol kaleng langsung tersedak. Berlebihan, tapi kabar ini sangat mengejutkan. "Ke-kenapa? Apa karena Zara? Bukankah itu jebakan?"
Rose hanya tersenyum alih-alih menjawab. Iya, jebakan yang menjijikkan.
"Apa karena perkataanku waktu itu yang berteriak keras melarang kalian bersama? Oh ayolah, aku hanya bercanda karena emosi saja."
Rose menggeleng. "Demi anak-anak, mental mereka, lebih baik aku menghindari dan hidup seperti bisanya."
Candra mengangguk. "Pantas saja, bahkan mentalmu sekarang yang terganggu."
"Aaakh. Sakit Rose, kau ini tega sekali memukulku."
Rose memang memukul pundak Candra. Cukup keras sampai sang kakak meringis sakit. Ya siapa suruh mengatai mental Rose terganggu. Meskipun yang dikatakan Candra tidak salah, Rose memang sedikit murung dan gampang pusing memikirkan Vee.
Disaat Rose akan membuka mulutnya, pintu lift terbuka. Maka dengan itu Rose mengurungkan niat dan hanya diam sampai benda itu membawanya ke lantai atas.
Sign,
Pee🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...