Sepasang kaki kecil itu tidak hentinya mengulir kesana kemari di lantai dasar rumahnya, perasaan gelisah memang tidak bisa dipungkiri. Tangannya mengenggam sebuah ponsel, tapi matanya tak henti untuk sekedar mengalihkan pandangan dari layar komputer miliknya.
Lebih tepatnya dia menunggu balasan email dari seseorang yang seharian ini tidak bisa dihubunginya, sama sekali. Namun, satu, masih ada satu kesempatan yang belum ia digunakan, yaitu menelpon langsung, tapi untuk melakukan hal itu butuh kekuatan dan keberanian ekstra besar.
"Jagoan apa yang kamu lakukan sedari pulang sekolah tadi?" tanya wanita yang sudah dipastikan adalah ibu dari jagoan itu.
"Kamu juga belum memakan makanan yang sudah Mama siapkan."
"Sean sedang menghawatirkan Lily, Mama," jawabnya sepontan tanpa ragu dan malu.
Seharusnya untuk usia yang terbilang belum dewasa, tidak sewajarnya dia mengawatirkan seorang gadis. Tapi apa daya jika hati sudah berbicara, tidak bisa di hindari, jagoan yang ternyata Sean itu sangat perduli dengan Lily.
"Memangnya ada apa dengan Lily, Sean?"
"Kalau Sean tau, Sean tidak akan sebingung ini, Mama. Hari ini Lily tidak masuk sekolah, tidak ada surat izin, email dari Sean tidak dibalas, satupun tidak dibalas," jawab Sean putus asa dan sedikit menjelaskan dengan paksa mengenai sahabatnya.
"Kamu tidak mencoba untuk menelponnya?"
Sean memandang sebentar ponsel yang berada digenggamannya, sedari tadi dia sudah membuka kontak telepon milik ibu Lily, tapi masih ragu.
"Mama tahu sendiri 'kan, Lily tidak pernah menggunakan ponsel. Telepon rumah juga Sean tidak punya. Cuma ada nomor ini." Sean menunjukkan nomor ponsel milik ibu Lily.
"Sean, coba tenangkan dirimu. Bagaimana kalau kamu mencoba memberanikan diri untuk menelepon, setidaknya kamu akan lega."
Lala, ibu dari Sean itu khawatir, terlebih putranya itu belum menyentuh makanan yang sudah sedari tadi ia siapkan. Daripada menghabiskan waktu menggukir lantai dengan kakinya, bukankah lebih baik jika Sean langsung menelpon saja.
"Sean," panggil Lala lagi yang mendapati Sean masih berdiam sembari memandangi layar ponsel miliknya, ternyata Sean masih ragu.
"Biar Mama yang telepon, dengan melihatmu seperti ini, Mama juga sedikit kawatir pada Lily. Boleh Sean?" pinta Lala lembut agar Sean lebih tenang, walau sedikit.
Lala itu sangat kenal dengan Rose, beberapa kali kebetulan bertemu saat menjemput anak masing-masing setelah bermain basket bersama di Australia waktu dulu.
Sean hanya mengangguk pasrah. Dengan tersenyum, Lala menyalin nomer ponsel milik Rose pada ponsel miliknya, tak membutuhkan waktu lama, Lala pun langsung saja menelpon.
📞Halo, La
Rose menjawab dari seberang sana, suara Rose sangat lemah, Lala bisa sangat jelas mendengarnya.
"Rose, maaf mengganggu, aku ibu Sean," ucap Lala dengan mata yang beberapa kali melirik Sean waspada.
📞Hei, Lala, kamu sedang berakting? Kenapa telepon? Eh, Lily datang.
📞(Mommy, bisakah Mommy tidak mengangkat telepon? Mommy masih sakit dan baru saja siuman)
Suara bentakan dan protes itu sudah dipastikan adalah milik Lily.
Lala tidak bisa menulikan telinganya, mendengar Rose sakit sangat mengejutkan baginya, apalagi mendengar kata—baru saja siuman—Lala berfirasat buruk.
📞(Sstt, adek diam dulu ya, ini Auntie Lala yang telepon.)
Rose pun mencoba untuk menenangkan Lily dari amarahnya. Lily pun menurut setelah tahu siapa yang menelpon ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...