65. Little Hand Save Us

375 84 10
                                    


Bel berbunyi, tepat pukul sepuluh pagi. Selama hidup, Leon tidak pernah merasa bahagia luar biasa setelah mendengar lonceng tanda istirahat seperti yang baru saja terjadi. Sebab, kurang lebih dari 30 menit yang lalu, ia mati-matian, menyelinap, mencuri-curi untuk menyembunyikan tangan yang dengan terang memegang ponsel di bawah meja, menyaksikan dan mendengarkan lewat earphones saat ayahnya berhadapan dengan sepuluh wartawan untuk menuntaskan kontroversi sialan.

Belum terlambat. Secara otomatis, Leon menyusun rencana. Huh. Jika saja Mis Kendal adalah guru yang menyebalkan, Leon sudah pasti kabur dari kelas, tapi sayang, wanita berkacamata dan berpoles lipstik merah muda itu adalah idaman para pelajar, jadi Leon mengurungkan niat berbuat keributan.

"Dek. Mau ikut rencana kakak?" Lily yang membereskan buku di bangku paling depan lantas menoleh karena ucapan Leon menggugah selera.

Rencana?

Apakah Lily akan menjadi keren seperti kakaknya ini. Gadis itu sangat ingat jika Leon bukan kakak yang biasa saja, banyak rahasia, pun mempunyai kecerdasan di atas rata-rata.

Lily menggangguk semangat. "Mau." jawabnya.

Leon mendekat serta berbisik di depan telinga Lily. "Kita kabur dari sekolah. Ada sesuatu yang mendesak. Berkaitan dengan mommy, gawat."

"No." Lily spontan menjawab. Kabur bukan ide bagus. "Banyak bodyguard di luar, mereka bukan lawan kita kak. Otak boleh encer, tenaga, huh, You sure you can handle it?"

Leon menggaruk kepala. Iya juga. "Tapi, ini benar-benar mendesak."

"Just tell me, bro!! Ada apa? Situasinya bagaimana?"

Fine. Leon sepertinya harus menjelaskan sedari awal.

Earphones ditempelkan di telinga Lily, tangan Leon menggulir layar ponsel. "Situasinya sangat mendukung. Mengaku sebagai anak daddy, agar masalah beres, aku cukup pusing melihat daddy dan mommy."

Lily terkena serangan panik.

Bagiamana bisa. Hei. Ini bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Lily membayangkan datang ke tempat itu, membicarakan omong kosong beserta mengaku sebagai anak dari Vee Kanesh Bellamy meski memang ia adalah anaknya. Mungkin itu terlihat mudah, tapi tidak, Lily tidak bisa.

"Nggak, kak. Lily nggak mau."

"Apa lagi? Jika bukan kita, daddy tidak akan pernah bisa, Dek. Trust me. Itu yang daddy mau, tapi tidak diberi izin oleh mommy."

"Mommy punya alasan, Kak." satu sanggahan tersampaikan.

"Apa? Sejauh ini alasan mommy karena kita."

Lily memegang kepala. Dibelakang sana, agak jauh ada Rachel yang duduk di bangku. Sampai kapanpun Lily tidak bisa menyakiti hati orang lain. Meski Lily sangat ingin pergi bebas tanpa menggunakan atribut seperti ninja bersama ayahnya, tapi ia tak begitu tega kepada gadis yang tahu-tahu sudah berjalan pelan mendekatinya.

"Aaakh. Rachel lepas." Lily berteriak.

Akibat pekikan luar biasa dari Lily, praktis membuat semua murid berkumpul menyaksikan keributan. Rachel dengan terang menjambak rambut Lily yang terkepang kuda. Sumpah demi hak asasi rambut yang tak boleh terpisah dengan kepala, Lily merasakan pening yang luar biasa.

"Kau merebut papaku, Lily."

What the.... Lily sebenarnya ingin mengumpat, atau ingin membalas jambakan, tapi ia mengurungkan niat itu, sebab jika Lily sudah bertindak, sudah dipastikan Rachel hanya akan babak belur setelah ini.

CUDDLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang