Lily merasa pemandangan di depannya adalah hal yang sangat wajar, namun, dalam konteks tontonan anak-anak, jelas saja gadis itu harus menghindar. Tapi mau bagaimana jika yang beradegan seperti itu adalah orang tuanya sendiri, Lily tak harus berpaling.Terlebih.
Lily sangat jelas melihat saat ibunya mendorong ayahnya untuk menjauh dengan spontan.
Kasian.
Lain kali Lily akan permisi, tidak main nyelonong seperti ini.
"Ups. Sorry. Tapi Lily tetap akan masuk lho." ucapnya terlewat santai. "Lily sudah bilang, makanya cepat menikah." imbuhnya.Anaknya ini memang sudah kebal dengan kelakuan orang tuanya, atau mungkin terlalu terbiasa, atau juga memang itu yang diharapkannya.
Hanya Lily yang tahu.
"Mom, dad. Adek minta maaf. Untuk hal yang terjadi hari ini. Tapi jangan hukum Lily."
Pintu menyibak lagi sebelum Rose berhasil menanggapi Lily. "Leon yang memaksa mom, dad. Maafkan Leon juga."
Senyum Rose tiba-tiba menghangat, matanya mengamati kedua buah hati yang berjalan mendekat kearahnya. Reflek, Rose mendekap saat Lily tiba-tiba meloncat ingin di dekap.
"Semua akan baik-baik saja 'kan, mom?" Lily terisak disana, di rengkuhan ibunya. Tidak biasanya, apa terlalu berat untuk Lily.
Rose mengangguk cepat. Baru kali ini Lily terlihat ketakutan, terlebih setelah mengatakan hal yang begitu berani di depan media masa. Tidak ada yang tahu betul bagaimana kacau hati Lily saat gadis itu melakukannya, terlebih saat ia baru saja mengetahui fakta jika ibunya digunjingkan banyak orang.
"Tidak akan aku biarkan lagi siapapun yang berani mengusik mommy. Leon janji."
Jika diibaratkan, Lily adalah air dan Leon adalah api. Kekuatannya imbang, tapi tidak sama. Leon gegabah tapi tidak pernah salah, itulah fungsinya dia dilahirkan dikeluarga kacau ini, semua sudah ditakdirlan.
"Kak, mommy pengen peluk kakak, sini."
"No, mom. Kakak yang akan peluk mommy, Leon sudah besar."
Astaga, masih saja gengsi yang diutamakan.Keadaan yang sedang haru membiru secepat itu mencair oleh ucapan sederhana Leon. Bocah itu membuat semua tertawa bahagia, tingkah sok dewasanya membuat Rose tak menyangka jika itu adalah buah dari beban yang dibawanya dua tahun belakang.
Vee sekali lagi sangat menyesal kenapa tidak sedari dulu tahu tentang semunya.
***
Kebosanan Rose terobati. Ia berjalan, bergandengan tangan dengan Vee. Di taman bunga mawar, dimana tempat itu adalah saksi dari segalanya. Awal pertemuannya dengan Vee sampai ia berpisah lagi dengan pria itu.
Berpisah.
Sepertinya satu kata itu akan dibuang jauh-jauh oleh Rose.
Kecuali maut yang melakukannya.Kesukaan Vee tetap sama. Pria itu kerab sekali memakai hoodie dan celana training, persis seperti anak muda. Rose menggambarkan Vee adalah ciptaan sempurna, bagaimana pria yang hampir mencapai usia 30-an tapi tidak terasa tua dan tetap tampan, hah, Rose sepertinya lupa jika pria itu duda, banyak orang bilang, duda lebih menggoda, kenyataan itu benar.
Rose mengulum senyum dalam seperti gadis remaja yang sedang kasmaran.
"Berhenti menemui Kristian. Atau sekalian tidak usah pergi ke Samanta Airport."
"Kok, tiba-tiba."
Bayangkan. Rose sedang menikmati suansana masa remaja dengan kenangan-kenangan indah di masa lalunya. Vee dengan seenak jidat merusak itu semua dengan mengatakan omong kosong.
"Cukup turuti aku. Titik."
Jika dipikir lagi. Vee tetap ditaktor seperti dulu dalam hal cemburu. Rose mau marah, tapi tidak jadi, Vee lucu sih.
"Iya, iya."
Vee melepas tautan tangannya, menghampiri salah satu bunga mawar di depan sana. Saat punggung itu gagah itu menjauh, Rose mengambil ponsel yang sudah penuh dengan notifikasi dari ketiga sahabatnya. Meneror karena Rose yang tiba-tiba hilang, padahal sudah tahu jika ia bersama Vee.
Bilang saja kepo. Toh Lily dan Leon juga bersama mereka. Astaga.
Rose memasukkan lagi ponsel pada saku celananya saat Vee kembali dan mendekat kearahnya. "Ada apa?"
Vee menggeleng. "Ayo." ajaknya.
Pria itu menggandeng lagi tangan Rose. Mengajaknya untuk berkeliling. "Bunganya hampir layu."
"Sudah waktunya. Nanti akan tumbuh yang baru, lebih bagus, lebih indah, seperti hubungan kita."
Vee mengulum senyum. Bisa saja wanita ini.
Kali ini Vee dan Rose tidak lagi menggunakan pakaian ninja. Mereka memutuskan untuk berani tampil terbuka. Taman bunga ini begitu sepi, hanya beberapa pejalan kaki saja yang melintas.
Rose merasakan udara yang sedikit sejuk merasuk pori-pori kulitnya. Sangat nyaman dan terasa begitu bersih. Tapi lama kelamaan Rose merasa hawa semakin dingin dan membuatnya semakin menggigil.
"Sudah kubilang, bawa jaket." Vee masih sangat ingat bagaimana ia memeperingati Rose sebelum berangkat tadi.
Rose tersenyum jahil. "Mau berguna? Sini peluk aku." tawarnya yang sebenarnya meminta.Sumpah ya. Vee sangat menggemaskan saat khawatir seperti itu.
Vee lantas tersenyum. Alih-alih menuruti permintaan Rose, justru pria itu tetap berjalan seperti sebelumnya.
"Vee. Kita ini pacaran 'kan?"
Astaga. Pertanyaan macam apa itu. Vee tidak tahu kenapa Rose berubah sedrastis ini. Vee bukan tidak suka, tapi ia masih belum terbiasa. Apa memang Rose yang sedari dulu menahan.
"Maunya?"
Rose melengos. "Tidak tahu."
"Sudah beranak dua. Mana pantas berpacaran."
Rose mendengus. Tapi benar juga. Begini saja sudah cukup. Untuk kedepannya tidak tahu. Tapi. "Tapi kalau mereka tidak mengenal kita, kita masih seperti anak SMA tau."
"Yasudah. Berarti kita pacaran."
"Merayakan hari jadi. Cium aku dong."
Astaga. Benar kan. Rose berubah.
"Jangan bercanda." Vee menatap Rose penuh tanya. Ini serius, maksudnya, setelah beberapa kali ciuman mereka lakukan, masih saja mau hal seperti itu sebagai tindakan perayaan.
"Mana ada aku bercanda. Aku serius Tuan Bellamy."
Vee tersenyum renyah. "Jadi, nona Ever sudah kembali?"
Rose mengangguk antusias. "Ayo cium aku, atau aku yang menciummu dulu."
"Tutup matamu."
"Haruskah?"
Vee mengangguk.
Rose menurut, dengan cepat ia menutup mata. Bibir berwarna merah muda cherry itu tertarik menunjukkan kebahagiaan, Rose tersenyum lebar. Tak begitu lama, keningnya mendapat sentuhan lembut, pun dingin. Rose praktis membuka mata.
"Vee, kamu tahu, itu sangat manis. Tapi aku mintanya di bibir."
Vee lantas tertawa. "Jadi ini benar-benar nona Ever?"Rose menggangguk lagi, lebih antusias. "Vee Kanesh Bellamy, aku sudah membuat janji, dan harus aku tepati, jadi, maukah kau menikah denganku?"
Astaga. Demi Tuhan. Vee belum terbiasa dengan Rose yang terus terang seperti ini.
Tapi lebih daripada itu, yang dikhawatirkan Vee adalah, bisakah ia menikahi Rose?
Sign,
Pee🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...