"Ssst, diam adek."Mungkin puluhan kali Rose mengatakan hal itu saat Lily memanggilnya dengan sendu. Bahkan ingin mengatakan sepatah kata pun Lily tak mampu. Tubuh kecil itu di dekapan ibunya semalaman hingga fajar tiba.
Yang benar adalah Rose sama sekali tidak mau memulai pembicaraan, entah bertanya ataupun menginterogasi putrinya, pun tidak mau mendapatkan kejelasan juga. Sudah cukup bagi Rose mengetahui jika Lily sudah tahu sandiwaranya, cukup malu juga karena ia tidak tahu-menahu bagaimana asal mulanya.
Sedangkan Lily yang saat ini sedang mengguyur tubuhnya dibawah shower lantas berhembus nafas kasar beberapa kali. Inginnya menceritakan perihal dirinya yang tahu begitu saja hingga membentuk lakon bagai pemeran sebuah drama bersama ayahnya. Namun, ingin mengecap sepatah kata sudah dihentikan dengan perintah yang layak untuk dilakukan.
Semalaman Lily tidur bersama Rose, ia tahu ibunya tidak benar-benar memejamkan mata, karena dirinya pun juga sama. Suasana mendadak tegang saat kepulangan Ibu dari ayahnya. Hingga malam tiba sampai fajar berjumpa; semua tak menimbulkan suara. Bahkan, saat makan bersama saja tak saling memandang dan hanya fokus pada piring di atas meja.
Hari ini Lily akan bersekolah lagi, atmosfer baru di dalam rumah ini sudah pasti berbeda, apalagi dibumbuhi dengan kedok yang baru saja terbuka, jika Lily bisa memilih, ingin saja membawa tubuhnya terbang menuju sekolah.
"Dek, makan dulu. Nanti kamu berangkat bareng Vee uncle."
"Aku Daddy-nya ngomong-ngomong."
Segamblang itu Vee ikut limbung dalam pembicaraan dipagi hari. Lantas Rose yang diprotes hanya berdecak tanpa mengalihkan pandang. Tangannya masih sibuk menyiapkan makanan.
Sedangkan Lily yang sudah siap dengan tas ransel di gendongan masih terdiam karena tidak tahu harus berbuat apa, memandang bergantian dua orang dewasa yang tak saling menegur sapa seperti kebiasaan saat pagi tiba. Good morning atau sebagainya. Iya, itu maksud Lily.
Lily meloloskan senyum tipis sebelum berkata, "Good morning mommy, daddy," sapa Lily akhirnya.
Mungkin bagi Lily itu sudah menjadi kebiasaan yang memang harus diungkapkan. Rasanya kering seperti gurun pasir saat sapaan manis itu dibiarkan menggantung begitu saja.
Vee yang mendapati Lily yang telah berucap lantas menjalankan torsonya untuk mendekat. Mengelus surai putrinya hingga menghadiahi kecupan dikening juga. "Morning sweetie," balasnya.
Sedangkan Rose hanya menonton adegan yang seharusnya sudah dari dulu dapat dilihatnya. Penyesalan hanyalah tindakan yang membuang-buang waktu, maka dari itu Rose tidak mau terbelenggu dan hanya harus meneruskan bagaimana takdir membawa hidupnya untuk berjalan.
"Kenapa kita tidak berangkat bersama saja, mom?"
"Mommy mau jemput Jeffry dad-daddy di bandara," jawab Rose yang terenggal saat menyebut Jeffry dengan panggilan itu.
Mata Rose juga tidak sengaja bertabrakan dengan obsidian milik pria di depannya, warna itu sangat kelam dan menatap Rose dengan tajam sampai-sampai ia harus mengedarkan pandangan dengan berantakan.
Vee mungkin sangat berat saat putrinya memanggil pria lain dengan sebutan yang seharusnya diperuntunkan untuk dirinya seorang. Tapi ia juga tahu, akar permasalahan yang menjulang subur adalah ulah dari pupuk kebodohan yang ia tabur.
"Benarkah? Daddy pulang?"
Lagi, sorakan gembira dari Lily membuat hatinya berdenyut hebat. Vee punya rasa cemburu yang menderu seru. Mulutnya ingin melayangkan protes. Namun diatahan karena ia masih tahu malu.
Rose mengangguk beserta deheman membenarkan. Lantas menaruh bokongnya untuk duduk dan bersiap untuk menyantap makanan.
"Kau bisa kan mengantar Lily?"
Vee yang duduk disamping Lily mengikuti arah suara wanita depannya, tepatnya terhalang oleh meja saja. "Apa itu sebuah pertanyaan?" tidak menjawab, Vee justru meloloskan pertanyaan.
"Tentu saja. Aku tidak bisa memerintah orang begitu saja."
"Aku ayah Lily."
"Aku sangat tahu, kau tidak usah menjelaskan."
Oh Tuhan. Maksud Vee bukan itu. Tidak perlu ditanya pun sudah pasti ia akan mengantar putrinya. Bahkan jika Rose tidak meminta, ia sudah pasti akan melakukannya.
Vee tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan sosok Rose yang terbilang sangat jauh berbeda dari saat mereka masih beradu cinta. Ah, lupakan soal cinta, yang terpenting bagaimana cara mengambil hati Rose untuk kembali didekapnya, itu tidak akan mudah.
"Iya, aku bisa mengantar Lily." begitu saja mungkin akan cepat menyelesaikan obrolan yang dirasa tidak akan pernah menyatu jika terus berseteru.
Sunyi, hening dan hanya suara sendok yang beradu dengan piring saja yang terdengar. Keluarga harmonis penuh kehangatan nampaknya masih sangat jauh untuk direalisasikan. Walau bagaimana, Vee tidak bisa begitu saja untuk meminta Rose menjadi miliknya lagi.
Lily diam-diam memang mengulum bibirnya kedalam, mungkin nampak lucu saat menyaksikan perdebatan orang tuanya yang sama sekali tidak lucu. Namun, sejak dulu memang pemandangan inilah yang ingin ia rasakan, makan mersama dalam satu meja, walaupan berantakan saat diawal, Lily ingin diakhir cerita melihat semuanya tersenyum bahagia-sederhana yang diinginkan seorang anak untuk melihat keluarga yang utuh bersatu.
Lily tidak ingin menuntut, pelajaran hidupnya yang sangat tahu tentang permasalahan orang tua sudah cukup membuat ia paham bahwa Dunia sangat pintar melakonkan umatnya. Manusia diberi rasa cinta untuk saling dilemparkan, diberi rasa benci untuk saling memisahkan.
Lily menerima berbagai rasa yang ditumbuk dihatinya, bercampur aduk hingga membuat dirinya dapat berpikir dengan dewasa.
Sign,
Pee🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...