"Sangat, sangat aman."📞Jangan kawatir, semua akan baik baik saja
Leon meletakkan ponselnya di atas nakas tepat di samping ranjang dimana ada pria tampan sedang terkulai lemas dengan kulit memucat. Bocah itu baru saja menelpon Yogi, memastikan tindakan brutalnya bisa dimaafkan apa tidak.
"Kau boleh menembak kepala ayahmu kalau kau mau."
Pernah Yogi mengatakan itu pada Leon saat dulu, seketika itu, Leon merasakan bulu kudunya meremang. Tidak mungkin juga ia melakukannya, meskipun ia membenci ayahnya, namun perasaan.....entahlah, Leon tidak bisa mendeskripsikan. Bocah laki-laki itu hanya punya satu keinginan saat besar nanti, setidaknya itu adalah rencana yang Leon pikirkan saat pertama kali mencuri dengar pembicaraan Rose dan Jeffry.
Aku tidak menyalahkan dan membenarkan pendapatmu Jeff. Semua ada dikeputusanku, aku akan mengenalkan anak-anak pada Vee saat usia mereka sudah cukup, setidaknya 17 tahun adalah usia yang matang dan nggak telat-telat banget, aku yakin mereka sudah paham dengan kejamnya dunia, aku tidak bisa membiarkan mereka cemburu karena ayahnya membagi cinta.
Leon bertekad akan membogem mentah kepala Vee saat pertama kali bertemu, paling tidak kekuatan tangan Leon sedikit lebih kuat saat berumur 17 tahun nanti. Tapi apa yang di rencanakannya gagal total. Leon mengawasi pergerakan Vee, Rose pun Lily. Sebagaimana takdir tidak bisa ia pegang karena ia hanyalah manusia, maka Leon akan mengikuti alur yang sudah tersedia.
Leon menatap nanar Vee yang masih terlelap. Ia yakin hand-shot yang ia lakukan tidaklah begitu keras, pingsan yang di alami ayahnya adalah efek dari obat perangsang dengan dosis berlebih, untung tidak ada indikasi keracunan, hanya saja saat ini demam sedang menyerang saat dokter yang baru saja keluar memeriksa keadaan.
"Kalau saja tanganku cukup kuat, atau tubuhku sedikit tinggi, sudah ku bogem kepala Daddy."
Leon menyesal, teramat sangat menyesal yang menimpa kepala Vee adalah bola basketnya, cita-cita teramat besar untuk meninjukan kepalan tangannya sirna begitu saja.
"Le, lehernya ada cupang?" Haikal yang mengamati Vee sedari tadi menemukan bercak merah pada leher pria itu, bukan hanya satu, melainkan dua buah.
"Cupang? Maksudnya ada ikan cupang di leher Daddy?" Leon terburu mengikuti Haikal yang berada di sisi ranjang sebelah kanan.
Haikal menepuk jidat. Ia lupa Leon tidak akan pernah mengerti akan istilah aneh seperti itu, apalagi soal cupang, yang Leon tahu hanyalah perkara uang. Bahkan, Leon pernah mengatakan jika sudah besar nanti, perusahaan Vee akan diakuisisi dengan paksa. Itu hak ku Kak Haikal, aku anak kandungnya. Begitulah konotasinya yang terdengar. Haikal sering sakit kepala jika berdebat dengan Leon.
"Bukan...bukan itu." Lalu Haikal menunjuk tepat pada leher Vee. "Itu yang aku maksud."
Leon memegang sebentar leher Vee. "Nggak timbul, aku kira Daddy biduran, apa ini efek samping obat itu?" Leon tampak berpikir keras. "Sebentar, aku telepon Dokter Liam lagi mumpung belum jauh ninggalin hotel in........"
"Itu bukan alergi, Le, tapi digigit ular." Dilan yang sedari tadi duduk di kursi dengan tangan yang disangga dikedua lutut pun bangkit menghampiri Leon dan Haikal.
"Ular?" tanya Leon polos.
"Iya, ular betina," Haikal menimpali.
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...