Tidak lagi terasa perih, kini kakinya pun dapat menekan gas mobil dengan rapih. Membelah kota Jakarta yang nyatanya terlewat sepi ditemani jalanan yang tak cukup isi. Vee Kanesh Bellamy, sudah melakukan berbagai cara dengan modal pita suara, meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, kenyataan tetap kenyataan, Lily cukup membuatnya membungkam dan nurut saja.
Vee, seakan dibuat lupa untuk kesekian kali. Ada perasaan aneh yang selalu memaksa untuk menuruti gejolak jiwa. Lily Berna Samanta, gadis cilik itu seakan menghipnotisnya, benci sekali pun sungguh tidak bisa. Perangai manisnya tengah mampu menarik total tubuh Vee untuk nyaman berada di dekatnya. Pria dewasa itu yakin, pun sadar dengan perasaan yang tidak bisa ditarik begitu saja, benar-benar nyaman dan apa adanya.
Sekarang lihat saja, betapa bahagianya buntelan kecil dengan kantung plastik berisi makanan yang asik nangkring di pahanya. Duduk dibagian jok samping dimana Vee sedang menyetir, gadis itu, Lily, memakan es krim tanpa tahu betapa Vee sedang khawatir akan nasibnya saat nanti kakinya akan di bordir.
Vee tidak bercanda mengenai ketakutan pada segala jenis jarum.Manakala fokusnya sedang menyisir sekitar karena lampu merah sedang menyala. Tanpa sengaja, biji mata milik Vee menangkap presensi seseorang yang sangat amat dikenalnya, apapun itu, saat ini juga, ia sungguh ingin berhenti dan melayangkan bogeman pada seseorang yang sedang bercumbu di balik bangunan dengan bingkai kaca menembus pandangan, didalam cafe yang Vee tahu buka dalam 24 jam.
Namun, alam sedang tidak berada di pihaknya. Bocah cilik disampingnya ini sungguh tidak boleh melihatnya.
Tangan Vee yang mengepal erat pada setir itu sangat mengganggu pemandangan. Lily melihatnya, menoleh ke samping menatap kilatan mata yang memerah menjorok ke arah jendela mobil."Uncle marah ya?" tanya Lily selanjutnya.
Disaat itu juga, Vee mengerjap. Bukan karena Lily yang bertanya, suara riuh klakson di belakang saling bersautan menunjukkan protes karena lampu hijau sudah menyala. Maka, tidak butuh lama, kakinya menginjak gas untuk melanjutkan perjalanannya.
Sedangkan Lily yang merasa diabaikan hanya meremat rok seragamnya, air matanya masih enggan keluar dan hanya menggantung di pelupuk mata. Lily tidak suka, dirinya merasa bersalah juga karena keegoisannya meminta Vee untuk mengikuti kemauannya.
"Uncle pasti marah 'kan? Maafkan Lily, Uncle," ujarnya begitu lirih, pun tertunduk nyaris membuat hati Vee perih.
Lily mengira, keterdiaman Vee adalah hasil dari paksaan yang ia buat.
Vee mulai panik. "Hah!! Uncle tidak marah, Lily. Sungguh!!" pun pria itu tergesa menimpali.
Bayangkan saja, pria yang beberapa saat lalu dilahap habis oleh emosi mendadak linglung sampai membanting setir ke kanan untuk menepikan mobilnya. Jujur pertanyaan Lily dengan lagak memilukan itu membuatnya bingung tak karuan. Vee takut disangka membuat anak orang lain ketakutan.
Lantas, tidak menunggu waktu untuk semakin terulur, Vee melepas safe belt miliknya. Jemarinya meraih pipi gembul Lily yang sudah total basah.
Damn it. Vee merutuki apapun yang membuat Lily seperti itu.
Vee bersumpah akan menggusur cafe di persimpangan jalan tadi. Ia bersumpah. Pria itu tidak tuli, Lily sempat menanyainya dua kali. Vee mendengar, hanya saja otaknya tadi sedang terbelah ke dua arah."Lily sangat nakal ya, Uncle? Lily tau kok, pasti Rachel tidak pernah membuat Uncle kecewa. Terakhir kali saja, permintaan Lily untuk terakir kali, setelah ini Lily tidak akan menganggu Uncle lagi. I promise."
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...