Rose menekan bibir pada cangkir berisikan cokelat panas. Menyesap sedikit demi sedikit, perutnya nyeri, sumpah demi Tuhan, tamu bulanan itu tidak bisa diajak kompromi.Jika biasanya Rose tidak kesakitan, tapi jika rasa lelah di campur kehilangan banyak darah serta pikiran yang tidak terarah, apalagi yang akan terjadi, semua akan lari memukul perut, mual, sudah pasti.
Tapi, biarpun begitu, setelah Leon dan Lily pergi ke sekolah, tubuh lemah lunglai itu memaksa mengendarai mobil menuju perumahan Dealova-rumah yang ditempatinya dulu, bersama Jeffry, serta memohon pada pria itu untuk tidak masuk kerja.
"Kamu mau membentuk aliansi pengangguran masa kini? Tidak memperbolehkan aku kerja?" Jeffry yang baru saja selesai berganti pakaian dari berjas rapi sampai hanya memakai kaos dan celana pendek itu pun bertanya.
Rose mengangguk, menanggapi sarkasme pria itu. Jujur, Jeffry tidak keberatan. Justru ia ingin melakukan sedikit candaan. Tapi gagal total sebab Rose sama sekali tak memberikan sedikit senyuman.
Wanita itu seperti tak berdaya.
"Mau hangout?"
"Menurutmu ini waktu yang tepat untuk hal semacam itu?"
Jeffry meringis. Sumpah demi meeting yang rela ia batalkan, padahal itu proyek besar, Jeffry tidak tahu harus melakukan apa untuk menghibur Rose.
Jika sudah begini. Maksudnya jika Rose sudah sampai mencarinya, tingkat kegalauan wanita itu sudah berada di taraf internasional.
"Vee? Masih memikirkan dia?"
Gelas di taruh di meja, kaki di angkat di sofa, satu bantal diambil lalu dipeluk. "I'm totally done with him. Jangan dibahas, aku baik-baik saja. Cuma butuh teman ngobrol."
Jeffry justru tahu jika tutur kelewat teratur itu adalah sebuah kebohongan yang sudah diatur. Alias omong kosong.
"Laura? Mau kutelfonkan dia?"
"Lebih baik aku kabur saja. Kekasihmu itu cerewet sekali."
"Shane?"
"Dia bekerja, dia sama saja seperti Laura, membuatku pusing."
"Lala?"
Rose berdiri, agaknya Jeffry ini sedang tidak ingin menemaninya. Lebih baik ia pergi saja. Namun saat sepatah kata tak keluar dari mulut hingga hanya kaki yang menuntut berjalan, tiba-tiba pergelangan tangan Rose dipegang, oleh Jeffry.
"Mau kemana?"
"Pergi."
"Ya ampun, aku hanya bercanda. Sini duduk."
Rose memutar bola matanya. Sangat kesal. Ia tidak berbohong jika tubuhnya itu sakit semua, seperti di gebukin orang sedunia.
"Aku kangen papa Jeff." Sembari mendudukkan diri disamping Jeffry, ungkapan rindu itu dikatakan dengan sedih. "Hampir dua bulan di Indonesia, rasanya seperti setahun saja tidak bertemu dengannya."
"Papa siapa?"
Rose melirik sinis ke arah Jeffry. "Siapa lagi yang bisa kupanggil dengan sebutan papa."
Tiga detik setelah Rose mengatakan itu, Jeffry merasakan nyawanya melayang entah kemana, satu fakta yang ia lupa bukanlah tentang orang yang disebut papa oleh Rose, tapi kenyataan jika si papa yang belum diberi kabar apa-apa adalah sebuah mala petaka.
"Rose. Papa belum tahu soal Leon? Sudah seminggu kita menunda memberitahunya, salahmu, jadi aku bungkam."
Bukan hanya Jeffry, sekarang Rose langsung saja terseret, "Mati aku Jeff. Harusnya tiga hari yang lalu aku ngasih tahu papa, nggak tahunya ada berita sialan itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...