"Kenapa kau bodoh sekali sih. Aku sudah bilang, bawa pengawal, segitu pengennya kamu dirusak oleh Zara."Tiba-tiba Vee pusing. Rose datang dengan kemarahannya. Vee ingin menyambut dengan bahagia, namun dia tidak bisa apa-apa. Dan detik ini juga ia sadar saat Rose mengatakan Zara. Obat sialan. Vee mengingat dengan jelas kali ini, bagaimana dirinya berciuman dengan Zara di dalam lift. Vee sontak merasa jijik.
"Maaf. Maafkan aku," ucap Vee sedikit panik serta menarik tangan Rose mendekat.
Rose memejamkan mata, ia tidak bisa berbohong sangat sakit melihat Vee di depannya, apalagi tanda merah yang ada dileher pria itu sangat jelas. Pelecehan. Dera sudah bercerita bagaimana kronologinya, namun tidak mengatakan tentang Leon yang ikut terlibat didalamnya.
Rose memegang leher Vee. "Aku sedih, aku tidak terima, aku harus bagaimana?" Rose tidak bisa egois dengan mengutamakan kecemburuan. Bahkan kata cemburu saja tidak pas untuk ditempatkan dalam kondisi ini.
Rose tahu, bagaimanapun ini adalah kecelakaan. Rose hanya takut Lily akan kehilangan ayahnya lagi dengan cara selicik ini, bahkan untuk kedua kalinya, Rose tidak rela untuk mempertaruhkan kebahagiaan putrinya lagi.
Sekali lagi hanya demi Lily. Untuk urusan hati Rose. Biar nanti saja ia hadapai.
"Maafkan aku."
"Aku potong ya leher kamu?"
"Ha?" Vee memekik lalu melangkah mundur.
Dera dan Shane hanya meringis melihat interaksi keduanya. Sedangkan Vee tidak tahu harus berbuat apa. "Kenapa? Ada apa dengan leherku?"
Vee lantas mencari kaca, tidak, ada ponsel yang sedari tadi di genggamnya, ponsel Leon, ia membuka kamera depan. "Brengsek, wanita itu melakukan ini padaku?" umpatnya saat tahu tanda merah sudah menempel di lehernya.
"Bagaimana? Aku potong ya leher kamu? Mana pisau?"
"No. Jangan. Nanti aku mati kamu nangis."
"Aku nggak peduli. Kamu bodoh."
Shane menengahi. "Please, stop it. Jangan buat drama, apalagi di depan Bu Dera."
Dera sebenarnya tidak apa-apa menyaksikan perdebatan mereka berdua. Yang ia bingungkan adalah, dimana Leon-nya? Kemana bocah itu pergi saat ponsel dengan case spidermen berada di tangan Vee. Yang jelas disini adalah, Vee sudah bertemu langsung dengan putranya.
Leon di balik pintu kamar mandi diam-diam menguping. Ia sedikit meringis mendengar ibunya marah-marah kepada Vee. Ia sempat bingung apa yang akan dilakukannya. Sampai kapan ia akan bersembunyi terus di dalam sini.
"Aku bukan pengecut. Aku sudah sejauh ini."
Leon pun keluar saat ibunya masih berdebat dengan ayahnya. Dera melihat, melihat Leon berjalan pelan, senyum Dera menguatkan langkahnya. Begitupun Shane. Meski tidak tahu apa yang terjadi. Namun wajah bocah cilik itu seperti Vee. Shane jadi berasumsi namun tetap diam dan melihat kondisi.
"Mommy." Leon menyerukan suara lembut saat tubuhnya berada pada jarak satu meter dari tempat Rose.
Rose menoleh. "Oh Tuhan." Air matanya jatuh tak terbendung dalam waktu begitu cepat, jantungnya terpompa dengan tempo tak beraturan. Lantas ia merasakan lututnya yang bertabrakan dengan lantai dalam sekejab.
Bumi sudah gila hingga membuat Rose merasakan beban beratnya. Ia tidak tahu harus bagaimana. Penampakan di depannya begitu nyata, wajah laki-laki cilik itu sama dengan milik putranya yang sudah tiada, anehnya bibir mungilnya menyerukan panggilan dengan intonasi yang nadanya teramat ia kenali.
Mommy. Tedengar sangat indah dan sangat ia rindukan.
Rose seperti orang gila dan tak ada yang berani memegangnya. Vee yang berada paling dekat dengannya pun tak bisa berbuat lebih jauh. Ia membiarkan Rose mengatasi emosinya sendiri. Pria itu juga menangis. Merasakan kemelut yang tiba-tiba bergelut mengitari kepalanya, bukan sesuatu yang menyesakkan, hanya saja Vee dipaksa untuk merasakan kehampaan, kepalanya pening, ia sangat letih.Lalu Vee melihat Leon yang juga sama persis dengannya. Bocah cilik angkuh yang mendebat nya sedari tadi saat ini juga menangis, mungkin sedang menantikan ibunya tertatih untuk menghampirinya.
Tak lama. Rose berjalan dengan kedua lututnya. "Oh. Tuhan. Apa ini nyata?" Ia memegang pipi Leon.
"Ya Tuhan. Apa ini benar?" Leon masih diam saat ibunya masih meyakinkan diri sendiri jika Leon ini memang nyata, didepannya.
"Vee. Apa ini Leon?" Suara Rose semakin parau.
Vee mengangguk.Rose bukannya tidak percaya. Bahkan komposisi wajah Leon masih sangat ia hapali. Lekuk wajahnya, bentuk hidungnya, matanya, bibirnya. Mungkin hanya tinggi saja yag berbeda.
"Mom. Maaf, Leon minta maaf." Akhirnya Leon bersuara.
Rose tertunduk membenamkan wajah dengan air mata yang jatuh hingga mebasahi lantai, dia tertawa getir. Rose terdiam dalam isaknya, bagaimana ingatan Leon yang terkubur dalam peti mati dengan tubuh hangus yang tak menyisakan apapun menyeruak begitu saja.
"Mommy, maafkan Leon."
Rose tak bisa menanggapi, kata-kata yang ia pendam mengurai ke udara, meleleh menjadi air mata yang tak hentinya jatuh, terus-menerus. Lantas ia menggeleng kuat. Tak seharusnya Rose mengingat masa lalu, yang terpenting dihadapannya adalah sosok nyata yang patut untuk disyukurinya.
Akhirnya Rose datang untuk mendekap tubuh Leon dengan erat. Leon ikut terisak dalam pelukannya. Ia sangat merindukan ibunya, rindu akan rengkuhan hangatnya. Rindu semuanya. "Leon minta maaf, Mom." Dan saat ini juga, Leon menangis layaknya bocah kecil sewajarnya.
Rose menggeleng, lantas melepas pelukannya sebab ungkapan maaf Leon tidak patut diucapkan. "Huust. Tidak, Kakak tidak boleh minta maaf." Wanita itu membersihkan air mata yang sudah membasahi seluruh wajah putranya. Rambut laki-laki itu juga lembab oleh keringat. "Tampan sekali anak Mommy."
Leon masih mencibik menahan tangis. "I miss you, Mom."
"Oh, I missed you, I missed you, I missed you." Rose mengatakan itu beserta mencium seluruh wajah Leon lalu memeluk tubuhnya lagi, dengan erat.
Bagai sesuatu yang sangat berharga. Rose sampai tidak rela barang sedikitpun melepaskan pelukan yang ia buat. Ia masih tidak tahu harus berterimakasih karena Leon telah kembali padanya atau merasa bersalah karena telah lalai menjaga putranya-bahkan lebih parah membiarkan Leon hidup sendiri tanpa seorang ibu disisinya. Semua perasaan masih bercampur aduk, tapi satu yang jelas, ia sangat bahagia.
Sedangkan ketiga orang yang menonton pertunjukan keduanya tak bisa membendung rasa haru. Vee yang turut bahagai karena harapannya terwujud. Dera yang teramat lega karena Leon menemukan kebahagiaannya. Dan Shane yang masih dengan rasa terkejutnya.
Sign,
Pee🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...