"Dia sangat menyukai basket. Sama seperti Leon dan Lily. Terimakasih anda tidak lupa mendoakannya."Rose tersenyum mendengar kalimat itu. Decakan tawa pria di sampingnya menyambut hening yang sedari tadi datang bersama angin yang sedikit kencang.
Di atas rumput Rose berdiri setelah mengirim bunga di pemakaman yang dulunya ia kira milik Leon putranya. Ia ingin mengubah nama di atas batu muaram, tapi sang ayah dari Alenso tak mengijinkan, katanya biar saja, yang terpenting adalah doa yang terkirim dengan rutin dan tidak lupa.
Rose tak ingat berapa kali jemari lentiknya mengusap pipi yang berkali-kali basah akibat air mata. Rose juga tak ingat rasanya perih yang menggores lutut akibat menubruk tanah oleh sebab ia berlutut dihadapan Robert sebagai tanda permintaan maaf.
"Aku mengatakan pada Leon untuk tidak mengingat kejadian itu. Salah jika anda mengira saya menyesal karena kehilangan putra saya."
Rose menyimak bersama desiran angin yang kian lama kian melembut hingga menerbangkan rambutnya.
"Yang lebih saya pikirkan adalah bagaimana cara menghilangkan trauma yang dialami Leon. Bocah itu masih ingat dengan jelas. Tidak bisa dilupakan. Saya memaklumi. Tapi jika terus begitu. Leon akan menjadi orang yang tertutup dan dingin. Saya takut dia akan menjadi kejam dan pendendam mengingat Foltrees yang beberapa kali saya dengar dari mulut Leon ingin ia bunuh dengan tangannya sendiri."
Yang dikatakan Robert benar. Leon menjadi pribadi yang seperti itu semenjak dua tahun lalu. Menghilangkan kesenangan masa kanak-kanak hingga tak sabar bertumbuh dewasa.
Leon juga sangat berambisi dalam teknologi. Tidak ada waktu untuk putra Rose itu mencicipi kebiasaan mengunjungi taman bermain. Leon juga sering menyiksa fisik dengan bela diri yang berlebih.
"Tuan Robert. Apa Leon menghadapi kesulitan begitu banyak?" Akhirnya Rose bersuara dengan bibir gemetar.
Robert kembali tersenyum dengan sadar. "Leon selalu merindukan anda Nyonya Everleight. Tapi ia sangat membenci ayahnya. Tuan Bellamy adalah sosok yang sangat ingin ditemui. Leon selalu menyalahkannya jika keadaan semakin sulit dan tidak terkendali. Saya tahu Leon hanya ingin melampiaskan amarah saja. Tapi yang benar saya pahami, Leon sangat ingin melindungi keluarganya."
Kemudian satu titik air mata mulai jatuh lagi di pipi Rose. Kali ini tak bisa terbendung saat Robert berusaha mendekat dan tanpa sungkan memeluk bahunya yang bergetar.
Rose tak apa. Ia juga sangat ingin memeluk Robert, menyelipkan berbagai ucapan terimakasih sekaligus permintaan maaf berulang kali.
Tidak ada yang impas. Jika ingin menyalahkan, yang patut mendapatkan itu adalah Rose sendiri. Ia merasa tidak becus selama ini. Langkahnya hanya mengandalkan sakit hati dan air mata saja. Terlalu rapuh juga tidak baik, nyatanya banyak sosok kuat yang lebih menerima nasib buruk dibanding dirinya.
Disaat Rose sudah sendirian lagi, ia menatap sejenak pemandangan kota dari atas bukit. Bersama dengan senyum setipis kertas, satu jemarinya menyelipkan anak rambut dibelakang telinga. Ia merasa sedikit lega oleh sebab Robert yang beberapa kali meyakinkan jika semua akan baik-baik saja.
Justru Rose sangat berharap Robert lah yang akan baik-baik saja, sebab kehilangan yang Rose rasakan sudah kembali ke pengakuan.Sekali lagi Rose melewati gundukan bersemen dengan nama Leon Audero Samanta tercetak jelas di atasnya namun raga Alenso Justin Bieber yang menyatu dengan tanah terkubur di dalamnya. Ia bersumpah akan mengirimkan doa di sepanjang hidupnya, seumur hidupnya.
Bunyi dering ponsel menggiring Rose sampai saat jemari tangannya akan membuka handle pintu mobil. Rose membiarkan sampai ia duduk dikursi kemudi.
Laura. Nama itu terpampang jelas dilayar ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...