Senandung lirih dari bibir berwarna cherry itu terlihat biasa-biasa saja, bahkan kakinya terlalu sibuk untuk menata adonan di atas meja. Jangan lupakan juga tepung yang berserakan beserta alat-alat yang sudah tak berwujud rupa.Rose bisa juga dikatakan gila, atau mungkin tidak, tapi satu fakta setelah dirinya hampir dilecehkan tak bisa membuatnya lantas bisa bersikap layaknya orang bahagia. Tapi lihat, wanita itu masih bisa menyempatkan diri membuat kue manis dengan tiga penonton yang sedari tadi duduk mengamati dirinya.
"Shane. Sahabatmu itu kenapa sih tidak bisa jujur?"
"Itu juga sahabatmu, La. aku juga tidak mengerti. Tapi seharusnya kita juga paham jika keras kepalanya itu melebihi tempurung besi."
Rose dengan jelas mendengar percakapan Lala dan Shane yang sama sekali tak jauh dari jangkauannya. Pun Rose juga sangat tahu jika kedua sahabatnya itu sedang menyindir dirinya.
"Rose. Kau mau begini terus? Keadaanmu sedang tidak baik-baik saja. Apa sih susahnya jujur sama kita?"
Kali ini Laura yang semenjak dari Australia sudah menaruh gondok di dadanya akibat Rose yang tanpa lelah berpura-pura angkat bicara.
"Aku baik-baik saja." Saut Rose tanpa berbalik badan masih sibuk dengan adonan.
Laura semakin tidak terima. Kepalanya pusing, sungguh wanita itu tidak berbohong. "Shane, La. Apa yang harus kita lakukan? Sepertinya aku harus turun tangan."
Seharusnya disini Rose tersanjung dengan keinginan Laura untuk turun tangan. Biasanya memang seperti itu jika wanita itu sedang marah.
"Jangan lakukan apapun. Percayalah, aku baik-baik saja." Tapi Rose tetap dengan pendiriannya.
"Mana bisa. Aku tahu itu pasti ulah Zara, aku akan membuat perhitungan, kau sangat lambat!" Kali ini Shane menimpali setelah menaruh ponsel dengan kasar di meja.
Shane baru saja melihat masih banyak komentar jahat di media masa mengenai sahabatnya. Terlebih para ibu-ibu beristri korban perselingkuhan para suami hidung belang, yang total praktis meluapkan amarah dengan perkataan yang tak pantas untuk dibaca.
Keterlaluan.
"Dan akan ada korban setelah kau menghancurkan Zara!" Kali ini Rose menaruh celemek cokelat sembarangan setelah terlepas dari tubuhnya.
Rose bahkan sudah membahas ini saat enam jam lebih di dalam private jet perjalanan dari Australia-Indonesia bersama Vee, pun Laura juga sebenarnya ada disana juga, bedanya wanita itu tertidur pulas akibat kelelahan. Disaat habis hampir dilecehkan, Rose tetap tak bisa berbuat apa-apa selain pulang meski sudah tengah malam dan merecoki Laura untuk ikut dengannya.
(Kau tidak usah berbuat apa-apa, kali ini akan aku selesaikan dengan tanganku sendiri. Ini pasti ulah Zara juga.)
Vee bahkan ngotot akan memenjarakan Zara yang praktis membuat Rose talak menolak.
"Disini korbannya hanya kau, Rose. Apa kau lupa apa yang dilakukan Zara sudah keterlaluan." Lala yang sedari tadi diam-diam mengamati juga sedikit kesal dengan pemikiran Rose yang kolot.
Korban?
Apa-apaan?
Rose menaruh tangan dibawah dada setelah sesaat mengela napas berat, haruskah ia katakan pada teman-temannya tentang segala kecamuk yang sudah lama ia pendam. Ada dilema memanjang yang tak ada habisnya, yang total membuat Rose tak bisa berbuat banyak dan hanya diam selagi tidak terjadi apa-apa dengan anak-anaknya.
"Rachel." Rose menjeda. "Zara dipenjara, lalu Rachel hidup dengan siapa? Marko? Pria yang baru dikenalnya sebagai ayahnya? Saat ini kita tidak tahu apa yang terjadi pada bocah itu tanpa Vee."
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...