Apapun itu jika sudah menjadi bangkai maka akan mengeluarkan bau yang teramat busuk. Bayangkan jika hidup dengan bangkai dalam satu radar yang sama; mungkinkah akan bertahan dengan sengatan yang menyekatkan penciuman, atau bisakah menahan tampang menjijikannya.Vee Kanesh Bellamy; pria itu menganggap Zara yang tak lebih dari hewan yang telah membusuk dengan lalat mengerubung di sekelilingnya; mungkin lebih pantas juga dibuang untuk dijadikan makanan hewan karnivora atau omnivora yang lebih membutuhkan.
Namun, anggapan hanyalah anggapan saja jika itu adalah Vee, ia tidak akan pernah memperlakukan Zara sebagai hewan. Vee masih punya akal dan hati nurani juga. Memilih angkat kaki dari rumah megah ini daripada repot-repot menyeret Zara untuk dibuang ke jalanan.
"Vee, kau bercanda 'kan!" protes Zara sembari meronta seperti orang gila.
Vee melipat tangan dibawah dada, menatap lurus Zara yang tengah bergetar dengan tangan kanan memegang selembar kertas. "Sejak kapan aku suka bercanda!"
Zara mendekat dengan melangkahkan kaki ke depan disaat itu juga Vee bergerak untuk mundur menghindar. "Jangan mendekat!" larang Vee. Tangan pria itu pun melambung ke udara untuk memperingatkan.
Zara sontak berhenti. "Kau berjanji tidak akan meninggalkanku. Tapi kenapa kau menceraikanku?" tanyanya.
Vee sempat membuang muka mendengar pertanyaan yang mungkin tak pantas untuk dijawab. Sedetik kemudin tawa pria itu meledak mengingat CCTV yang menunjukkan perlakuan menjijikkan Zara di bar delapan tahun yang lalu yang dengan senonohnya mencium dan menelanjanginya. Bahkan untuk mengungkapkan kebenaran saja rasanya kelu dilidahnya, terlalu kotor untuk terucapkan dengan kata-kata.
Zara bahkan sampai terjingkat, melihat Vee yang tertawa seperti itu, lebih menyeramkan daripada Vee yang terdiam tanpa kata. Masih sangat terpatri jelas di kepala Zara saat Vee dulu pernah menunjukkan perangai mengerikan yang sama seperti ini; saat Rose kekasihnya berhianat padanya.
"Vee."
"DIAM," kelakar Vee.
Vee membentak bagai raja hutan yang mengaung, suara menggelegarnya pun bahkan sampai menghentikan para pekerja pengangkut barang yang akan memindahkan seluruh barang pribadi pria miliarder itu.
"Rachel bukan anakku," sungut Vee penuh penekanan di setiap katanya.
Nyali Zara kontan menciut, memandang Vee yang terkerubung rasa amarah dan kecewa seakan menandakan jika dirinya sudah dalam bahaya, kedok yang dibangun dengan susah payah hancur dalam sekejab mata. Tapi Zara tidak mau menyerah begitu saja, Vee tetap harus jadi miliknya.
"Tidak, Rachel anakmu, anak kita, Vee," tampik Zara.
Vee murka, matanya memerah menyulutkan amarah. "TUTUP MULUTMU, ZARA," bentaknya.
Beruntung Rachel tidak ada di rumah, bagaiman jadinya jika gadis kecil itu mendengar orang tuanya saling berteriak-bisa merusak mental.
Sepagi tadi saja Rachel merengek pada Vee untuk mengantarkannya ke Sekolah. Pria itu tak tega, lantas menyempatkan waktu untuk menuruti permintaan putri yang ternyata bukan anaknya.
Sepulangnya dari mengantar Rachel, Vee bergegas untuk mengemas barang-barangnya yang akan di bawa keluar dari rumah. Namun, sebelum aksinya tersampaikan, pria itu tidak lupa untuk mengajukan gugatan cerai kepada Zara.
"Vee. Dengarkan aku, kau salah pah-,"
"Baca," perintah Vee setelah melempar kertas dalam map tepat di depan kaki Zara.
Zara memungut masih dengan gemetar, wanita itu sesegukan. Vee dapat melihat wanita itu yang perlahan membuka map yang berisikan ketidak cocokan DNA-nya dengan Rachel. Zara menahan napas sebelum seuntai kalimat pembelaan terujar kembali dari mulutnya.
"Rumah Sakit mungkin salah, ayo kita tes lagi," pinta Zara. Wanita itu mengucapkan setenang mungkin, tipikal pembohong ulung pikir Vee.
Jika saja, Vee masih bodoh, mungkin dirinya akan menuruti usulan wanita sialan itu. Tapi ia sudah kembali, akalnya yang sakit sudah sembuh. Mau di tes sampai seribu kalipun hasil DNA-nya juga akan sama; nyatanya mereka berdua memang tidak pernah bersenggama bersama.
Vee sempat menutup mata bersamaan itu menekankan napasnya. Zara tidak main-main untuk mempertahankan Vee, membuat pria itu semakin murka. Sebenarnya Vee ingin menunjukkan CCTV yang menjadi bukti autentik, namun sekali lagi, rekaman itu sangatlah menjijikkan.
"Zara. Berhenti untuk mengelak. Bukti sudah ada ditanganku. Mari bertemu di pengadilan," final Vee. Rasanya akan percuma jika terus melanjutkan obrolan yang tidak akan ada habisnya.
"Bagaimana dengan Rachel? Kau tega meninggalkannya?" tanya Zara. Wanita itu mencoba menekan titik kelemahan Vee.
Jika dulu, sebelum Vee tahu kebenaran; Rachel adalah satu-satunya yang mampu membuatnya bertahan. Ada sedikit beban untuk menghilangkan kecintaan Vee pada gadis yang sudah hidup delapan tahun dengannya, tidak semudah itu untuk lupa begitu saja. Namun, ada gadis lain yang harus diperjuangkan, dan itu mutlak menjadi tujuan utamanya-Lily Berna Samanta putri kandungnya.
"Bawa dia kepada ayahnya!"
"KAU AYAHNYA, VEE," serang Zara.
Tangan Vee mengepal kuat. Zara tetap tidak mau mengalah dan tetap mengelak. Ia kecewa, teramat kecewa sampai menyesal telah percaya kepada wanita yang dulunya adalah sahabatnya.
Zara telah menghancurkan hidup Vee sampai sebegininya. Tidak tahukan wanita itu jika Vee telah mengabaikan putrinya sendiri akibat ulah gilanya, tidak tahukan Zara bahwa Vee juga kehilangan putranya yang sudah kembali ke pangkuan Tuhan.
Vee mendekatkan tubuhnya untuk berjarak lebih minim di depan Zara. Sorot matanya menggambarkan kekecewaan, kesediahan, kesakitan yang tidak dapat lagi diukur dengan bilangan. Ia teramat hancur sampai berkeping-keping yang sampai tak mampu untuk memaafkan Zara sebagai manusia.
"Aku adalah ayah dari putriku dan putraku sendiri. Jangan harap aku sudi menjadi ayah dari anakmu," jelas Vee. Sedetik kemudian melangkah untuk berlalu dari rumahnya.
Zara tertunduk sepeninggalan Vee. Masih mencerna apa yang dimaksud dari putri dan putra yang keluar dari mulut pria yang menggugat cerai dirinya. Jujur Zara tidak tahu menahu soal itu. Kenyataan apa yang telah bersembunyi selama ini yang tak mampu terendus darinya.
Zara tidak akan tinggal diam. Mendongak menatap punggung Vee yang hampir dilahap pintu, senyum iblis terpatri jelas diramunnya, dan berbagai rencana sudah tersusun dengan cepat di otaknya.
"Tunggu pembalasanku, Rose."
Sign,
Pee🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...