Shane menarik tangan Lala yang hendak menerobos kamar Rose. Pasalnya wanita yang sudah pingsan sejak satu jam yang lalu sama sekali tidak memberikan pergerakkan sedikitpun."Jangan masuk dulu, dia sedang menenangkan diri. Aku yakin kau bakal di diami."
"Tapi dia baik-baik saja 'kan?"
Shane memijat pangkal hidungnya. Pusing. "Tidak bisa dikatakan baik. Satu-satunya orang yang dibutuhkan hanya Vee."
"Kau bercanda." Lala tersungut-sungut. "Vee hanya akan menambah Rose semakin tertekan."
Rose memang sering mengatakan jika ingin berpisah, bahkan sudah terealisasiakan. Tapi sebagai Shane yang tahu sejarah keduanya, beranggapan jika Vee disini, Rose pasti akan lebih tenang.
Benar saja, secara mendadak sosok Vee menerobos masuk. "Dimana kamar Rose?"
"Disana." Jawab Shane tanpa sedikitpun ragu.
Lagi, Shane menarik tangan Lala yang akan berlari mengejar Vee, berniat menggagalkan rencana pria itu untuk masuk ke kamar Rose.
"Shane. Kau melarangku masuk tapi mempersilahkan Vee begitu saja."
"Please, La. ini urusan mereka. Percaya padaku."
***
Rose tidak pernah membayangkan bersenggama dengan orang lain selain Vee. Dalam konteks ini, tubuh Rose lah yang paham, jika ia terlalu setia hanya disentuh satu orang saja.
Namun.
Kenyataan manipulasi membuatnya menjadi begitu kotor. Ia bersumpah bukan jijik dengan Jeffry, tapi melihat potongan video itu sungguh membuatnya begitu mual.
Tapi saat memikirkan ulang jika itu hanyalah manipulsi membuat jantungnya memelan untuk berdetak. Kenyataan tak seburuk itu.
Matahari sangat terik dan cahaya yang mengintip lewat jendela begitu terang. Rose memiringkan badan dengan kedua telapak tangan yang menopang kepala, matanya melihat ke arah nakas dimana photo Lily dan Leon berada diatasnya.
Napas Rose memberat saat suara derit pintu membuka terdengar, disusul ketukan sepatu yang semakin lama mendekat. Aroma lavender yang amat Rose tahu siapa pemiliknya menusuk hidung.
Rose pura-pura menutup mata.
Namun sia-sia saat matanya mendadak terbuka ketika Vee menyentuh pundaknya, maka setelah itu Rose menepis tangan Vee dari sana, membalik badan untuk mengindari tatapan pria itu.
Vee melihat punggung Rose bergetar. "Baik, aku akan keluar jika kau sendiri tidak suka dengan kehadiranku. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."
Rose tidak tahu kenapa dadanya semakin sesak mendengar penuturan lembut beserta niat pria itu untuk pergi.
Vee menatap punggung Rose dengan sedih. "Maafkan aku, untuk keadaan terakhir kita waktu itu."
Praktis membuat Rose ingat kejadian saat di Australia.
"Beserta hari-hari melelahkan akibat ulahku, delapan tahun yang lalu sampai sekarang. Aku minta maaf."Justru yang diingat Rose kali ini bukanlah suatu kenangan menyedihkan. Hangat jemari saat menyatu, tawa Vee yang begitu renyah hanya dengan membahas hal yang tak begitu lucu, ungkapan cinta berkali-kali dari pria itu yang begitu tulus. Rose mengingatnya, semua, kenangan manis yang tak pernah akan bisa ia lupa.
Vee tidak bisa menahan untuk tidak mendekat saat punggung Rose semakin bergetar hebat. Vee memutari ranjang hingga menemukan Rose yang sudah berlinang air mata.
"Maaf.." Vee mengulurkan jemari untuk mengusap pipi Rose lalu meraih tangan wanita itu untuk dielus sebentar, bahkan Vee harus menunduk di depan bibir ranjang. "Berhenti menangis, semua baik-baik saja. Percaya padaku. Aku pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...