Suasana hening menambah kekawatiran seorang wanita yang sedang duduk di salah satu kursi sebuah cafe pastry. Jemarinya pun tak kalah hebat dalam merespon apaun yang akan terjadi setelah ini, saling meremat pun berkeringat. Bahkan hawa dingin ruangan saja tak mampu menghalau buliran-buliran yang keluar dari sekujur pori-pori tubuhnya.
Rose Alyne Everleight, sedang menunggu seseorang, Jeffry tentu saja, sesuai janji tadi pagi, maka terdamparlah wanita itu disini setelah pekerjaanya di rumah sakit selesai.
Oh, jangan lupakan pekerjaan berat itu juga cukup menguras tenaganya akhir-akhir ini, ditambah beberapa hari kemaren dirinya juga sempat limbung akibat kecerobohannya yang mengguyur tubuh sendiri ber jam-jam meggunakan air dingin yang mengalir tanpa henti.
Pintu utama cafe terdorong dari arah luar, artinya ada pengunjung yang datang, setelah menangkap perwujudan dari arah sini, Rose bertambah gemetar. Sosok Jeffry datang membawa senyuman yang menyejukkan, betapa baiknya orang ini, pria yang selalu menemani apapun dan bagaimanapun keadaan Rose.
Jeffry menangkap presensi wanita yang menjadi tujuan utamanya datang ke tempat ini, dengan lari kecil, pria berkulit cerah itu menghampiri pun segera duduk berhadapan.
"Sudah lama?" tanya Jeffry.
Rose tersenyum, menyembunyikan kekawatiran yang terkumpul sejak tadi. "Lumayan," jawabnya diakhiri cengiran. "Mau aku pesenin kopi?" tawarnya kemudian, pun Jeffry mengiyakan.
Selang beberapa saat, pesanan sudah datang, Jeffry dengan tersenyum pun mengucapkan, "Terimakasih," kepada pelayan yang baru saja melenggang pergi.
Jeffry mendongak guna memandang netra legam milik seseorang yang sedari tadi menampilkan raut kekawatiran, Jeffry tahu persis setiap gerak-gerik mencurigakan dari wanita yang sudah delapan tahun ini tinggal bersamanya, jadi percuma bagi Rose untuk berbohong ataupun menyangkal.
"Jadi, ada apa? Hmm?" tanya Jeffry.
Rose yang dipandang seintens itu langsung saja luluh dan sedikit tenang, tidak bisa diragukan ketulusan dari Jeffry yang selama ini menjaganya begitupun putrinya mampu menjadi candu kala Rose mengalami ketegangan akibat serangan mendadak dari masa lalunya yang mampu menjadikannya tumbang kapanpun-Jeffry bisa membangkitkannya kembali.
"Jeff," ucap Rose terputus dan sedikit tercekat ragu, kalimat yang sudah disusun rapi hanya mampu menggantung diudara tanpa mampu Rose baca.
Jeffry meraih tangan Rose, mengelusnya disana. "Katakan pelan-pelan," sarannya.
"Lily, sudah bertemu dengan Vee," ucapnya cepat pun tanpa jeda dengan satu tarikan napas.
Jeffry mematung, Rose pun merasa tangannya tergenggam erat di bawah telapak tangan Jeffry.
Apakah wanita ini salah bicara sehingga mampu memunculkan kobaran api?
Terbukti, wajah Jeffry sekarang sudah merah padam menahan amarah, jangan lupakan sorot matanya yang membidik tajam siap menembakkan peluru tepat di jantung wanita dengan buntelan hoodie hitam di depannya.
"Sejak kapan? Berapa kali? Dimana?" tanyanya bertubi-tubi tanpa memperdulikan ketakutan yang melanda diri Rose, tak lupa nada khawatir dari mulutnya yang keluar dengan semburat emosi.
Rose ingin menjawab, namun ragu yang didapati, takut membuat semakin menumpahkan gas yang dapat menimbulkan kobaran api dalam kepala Jeffry. Tapi semua pikiran itu ditepis begitu saja mana kala genggaman Jeffry sudah mulai melemah, pun dengan desiran halus napasnya yang teratur menandakan Jeffry tahu wanita di depannya ini sedang ketakutan akibat respon yang terkesan sangat berlebihan darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Lãng mạn"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...