10. Pelukan Lily

2K 344 28
                                    

Hari paling membahagiakan untuk Lily datang saat ini. Bagaimana tidak, ibu yang paling dia cintai di dunia akan segera pulang dari Rumah Sakit, yang artinya sudah sembuh dari sakitnya.

"Yuuuhuuu, nanti malam bisa tidur bareng mommy," pekiknya terlalu bahagia.

Kaki Lily menendang-nendang krikil di pinggiran jalan, tak lupa bibir mungilnya bersiul-siul, bagaimana bisa anak sekecil ini mampu menciptakan siulan yang begitu nyaring.

Angin sedikit berhembus menghempas tubuh mungil Lily yang hanya berbalut seragam dan swift shirt sebagai luaran, anak ini bisa kedinginan setengah mati apabila tidak cepat beranjak dari tempat ini.

Lily sengaja ingin berjalan kaki ke Rumah Sakit sekalian menjemput ibunya. Jarak yang tidak begitu jauh dari lokasi sekolahnya, pun sudah menjadi pertimbangan bagi Rose untuk memberi izin putrinya yang ngotot ingin berjalan kaki sendirian.

"Aku butuh coklat panas, aku kedinginan." Bibir Lily menggerutu diiringi telapak tangan mengusap-usap lengan berharap menemukan kehangatan sedikit dengan gesekan yang ia ciptakan.

Lily menghentikan pijakan kakinya, lalu mata bundar itu melihat jam tangan yang bergetar melingkar cantik di pergelangan tangan kirinya—alarm makan siang berbunyi. Anggap saja jam tangan adalah pengganti cerewetnya ibu Lily.

Setelah kesibukannya dengan benda kesayangan yang beberapa hari sempat hilang itu. Oh ingatkan Lily untuk mengucapkan banyak terimakasih pada Laura Auntie yang telah berhasil menemukannya. Lily pun melanjutkan langkahnya untuk membeli coklat panas sebagai penghangat lambung.

Lily tersenyum mana kala matanya memeta taman bunga mawar yang sangat indah persis di sebrang sana, tanpa ragu Lily ingin mengunjungi sebentar saja.

"Itu Vee uncle," monolognya sendiri saat melihat seorang pria yang tengah duduk di kursi kayu tepat di tepi taman.

"Haruskah aku menghampirinya?" tanya Lily pada dirinya sendiri.

Sedikit ragu namun sangat ingin sekali menghampiri pria yang menurutnya sangat keren saat kemaren beralih profesi secara dadakan sebagai pelatih basket untuk sementara. Lily memutuskan untuk mengikuti kata hati, yaitu menghampiri Vee.

"Vee Uncle, kau 'kah itu?" intrupsinya mana kala tepat disebelah kiri orang yang sedang menjadi tujuannya.

Dengan mata yang masih berkaca karena sisa tangisan, Vee memutar kepalanya ke kiri melihat siapakah gerangan pemilik suara cantik yang baru saja terdengar indah mengalun di gendang telinga.

"Lily," ucapnya, diakhiri dengan senyuman, lalu memindahkan Rendang di samping kanannya.

Lily sedikit mengerutkan alisnya, dengan pasti juga gadis yang mengaku sempat kedinginan tadi secara cuma-cuma menaruh coklat panas yang belum sempat tersentuh oleh mulut itu untuk di taruh di sebelah kiri Vee.

Seakan benar-benar mengikuti kata hati, Lily meraih kedua pipi Vee, karena Vee sedang duduk, maka dengan mudah Lily mendaratkan telapak tangannya untuk mengusap lelehan bening yang sudah terlanjur keluar membanjiri pipi.

"Kenapa uncle sedih? Siapa yang menyakiti uncle?" tanya Lily polos tanpa disangka, namun hal mengejutkan lainnya pun menyusul membuat Vee sedikit terhenyak-Lily ikut menangis bersamanya.

Hati kecil Vee terasa nyeri melihat Lily menangis. Terlebih tangan mungil yang menyentuh pipinya itu sangat dingin. Baju yang digunakannya gadis itu pun dirasa tak mampu menghalau dinginnya udara.

"Don't Cry, uncle, hiks, hiks," ucapnya lagi sambil mencibik, aaah, jangan lupakan lendir yang sudah keluar dari lubang hidungnya itu.

Namun, siapa sangka dengan cekatan Vee beralih membersihkan berbagai macam cairan yang keluar membasai seluruh bagian wajah Lily, lalu mengambil tissue dari kantong coat bagian dalam untuk mengusap telapak tangannya.

CUDDLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang