"Lily, kamu pulang dengan siapa?" tanya Sean saat tubuh mereka berdua sudah ada di pelataran Sekolah.
Cuaca sangat terik menjelang jarum jam menuju angka satu lebih lima menit di siang hari. Sean yang sudah akan pulang dengan Jaeko lantas menyempatkan untuk mengobrol sejenak sembari menunggu ayahnya mengambil mobil dari garasi.
"Aku jalan kaki ke Rumah Sakit seperti biasa, Sean. Mungkin main sebentar di arena skateboard dekat taman," jawab Lily. Gadis itu juga menunjukkan papan skate yang sudah digapit antara lengan dan pinggang.
"Apa aku boleh ikut?"
Lily menegakkan jari telunjuknya dan menggoyangkan kekanan dan kekiri. "Tidak boleh," tolaknya. "Kamu harus ikut John Uncle ke perusahaan 'kan," lanjutnya.
Sean mendengus, benar juga yang dikatakan Lily. "Ya sudah, kamu hati-hati, Lily. Aku berangkat duluan," pamit Sean. Tidak lupa bocah laki-laki itu melambaikan tangan sambil berlari. Lily pun membalas dengan senyum yang terpatri.
Lily berlari kecil mengikuti rute yang biasanya dia lewati untuk menuju Rumah Sakit. Tujuan utama memang tempat itu, tapi Lily tadi bilang pada Sean akan mampir untuk bermain skateboard dulu.
Dari jarak dua meter, bahkan saat pertama kali Lily melangkahkan kaki dari gerbang sekolah; Vee mengikutinya dari belakang, pria itu memang sengaja ingin melihat putrinya walaupan dengan mengendap-endap.
Vee menggunakan setelan celana trining dengan tangan dimasukkan di saku, juga hoodie hitam dengan tudung menutup kepala. Jika dilihat dari jauh, pria itu persis seperti pedofil yang sedang menguntit anak kecil sebagai mangsa baru.
Bagaimana tidak.Saat Lily berhenti oleh sebab lupa lirik karena sedari tadi gadis itu bernyanyi, maka Vee juga akan berhenti sembari mencari tahu lirik apa yang di lupakan Lily. Lalu, begitu Lily melangkah untuk meneruskan jalannya, Vee juga akan mulai mengikutinya lagi, persis seperti penguntit bukan?
Bruuuuk.
Astaga, Lily jatuh karena kurang hati-hati. Masih ingat jika gadis itu sangatlah teledor. Lily meringis saat tubuhnya tengkurap di atas aspal, pasrah sekali sampai lama untuk tetap bertahan dengan posisinya.
Vee membolakan matanya dan langsung berlari lebih cepat agar dapat membantu Lily untuk bangun dan berdiri, namun langkahnya terhenti saat gadis itu sudah berdiri lagi.
"Jangan cengeng, jangan cengeng Lily. Ini tidak seberapa dibandingkan Kak Leon yang terbakar dalam mobil. Kau tidak boleh menangis."
Vee mencelos mendengar penuturan Lily yang blak-blakan mengenahi tubuh mengenaskan dari kakaknya. Bagaiman bisa bocah piyik seperti itu mampu mengatakan hal yang sangat pahit untuk di kenang, bahkan sangat sakit untuk dirasakan. Rose mengajarkan kesabaran yang luar biasa kepada putri mereka.
Setelah Lily menepuk-nepuk rok seragamnya yang sedikit kotor akibat terjatuh tadi, kini mata besarnya memindai lutut yang sedikit tergores. "Untung tidak parah," ucapnya sembari bergidik. "Jangan sampai Mommy tahu atau Mommy akan mengomel dua puluh empat jam," lanjutnya.
Vee sontak tertawa dengan membekap mulutnya agar tidak terlalu keras mengeluarkan suara. Mendengar ocehan Lily membuatnya dapat membayangkan Rose dengan omelannya. Terlintas sejenak keinginan Vee untuk tinggal dan membangun keluarga kecil bersama Rose dan putrinya. Memikirkan itu, Vee jadi menunduk dan tidak yakin jika dia dapat mewujudkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...