Vee tidak berbohong kepada ibunya perihal obat aspirin yang selama dua hari ini terus mampir melewati tenggorokannya. Pusing teramat pening merenggut ketenangan kepalanya.Bukan tanpa alasan, apa lagi sih jika bukan perkara cinta?
Semenjak Rose memutuskan untuk berpisah, sejak itu pula rumah Dera menjadi penampung tubuh malangnya. Lihat saja, wajah itu pucat, tidak ada napsu hidup sama sekali. Sampai sang mama uring-uringan melihat tingkah pria dewasa yang harusnya tak berlagak seperti remaja baru putus cinta.
"Kamu itu lho, mau sampai kapan terus begini. Dari dulu kok nggak becus ngurus diri. Goblok temen nduwe anak lanang gor siji."
Bla. Bla. Bla.
Kepala Vee seperti dihantam dengungan lonceng paling nyaring di dunia. Nyatanya bersama Dera tak membuat Vee bertambah lega. Setiap hari kerjaan ibunya itu mengomel saja. Selalu menyalahkan dia.
"Ma. Aku nggak paham mama ngomong apa. Pakai bahasa indo yang benar, jangan bahasa jawa, sumpah aku nggak paham, yang ada kepalaku tambah pusing. Mama dari dulu nggak bantu. Ini kan akibatnya." Biarkan Vee menjadi durhaka untuk kesekian kalinya.
"Mboh lah. Lebih baik mama ngurus Lily sama Leon saja. Mereka lebih pintar." Jawab Dera ketus.
Wanita tua itu berlalu dari acara mengintip kamar Vee. Dua hari pria itu membolos kerja tapi tak pula meninggalkan laptop yang duduk di meja. Pekerjaan tetap berjalan dengan semestinya meski tubuh enggan memasuki kantor besarnya.
Vee masih ingin bersama anak-anaknya, jadi membawa pekerjaan dirumah tak apa, kantor juga miliknya, jadi tidak masalah.Pria itu beranjalan pelan dari ranjang untuk keluar menemui Lily dan Leon yang sudah bercengkrama bersama Dera di teras belakang. Sekarang hari sabtu, pukul sepuluh pagi. Pasti anak-anak sudah sarapan. Sayang sekali Vee melewatkan, karena jujur, dia pusing keterlaluan sampai tak merasa kelaparan.
"Kakak senen siap sekolah?"
"Morning daddy." Lily menyapa dengan senangnya.
"Morning sweetie." Vee berjongkok mencium pipi Lily. "Morning son." Lanjutnya menyapa Leon yang sama sekali tak menggubris kedatangannya.
Leon menoleh, ingat bukan jika putra Vee itu masih enggan dengan ayahnya, tapi Leon tak lupa dengan adab kesopanan. "Morning dad." Lalu sapanya singkat. "Soal sekolah, kapanpun Leon siap." imbuhnya.
"Bagus."
Vee juga tampak ragu mau bercengkrama seperti apa dengan Leon. Bocah itu seperti sulit untuk disentuh. Rasa benci yang ditumpuk untuk Vee bukan main banyaknya.
"Bunga lili buat kamu."
Lily tampak tersenyum menerima setangkai bunga dengan kelopak warna putih itu. Terlihat sangat manis saat ayahnya menyodorkan tepat di depan matanya.
"Sangat romantis. Terimakasih dad." ucap Lily sekenanya. "Coba daddy bermanis gini sama mommy, terus ajak nikah, biar nggak pucet gitu mukanya."
Duh. Anak perempuannya ini mudah sekali dalam hal memprofokasi sakit hati. Tidak tahukah kau nak jika ayahmu ini ditolak mentah-mentah dengan ciuman sebagai hadiah perpisahan. Terlalu manis sampai Vee ingin mencicipinya lagi, tapi sayang, dia sudah pergi.
Vee menggaruk tengkuk tanpa berbicara lagi. Sumpah demi Leon yang masih sibuk terus dengan laptopnya, Vee tidak tahu harus menanggapi Lily dengan jawaban apa.
Sedangkan Dera hanya diam mengawasi interaksi disekitarnya. Mulutnya sebenarnya sangat gatal ingin mengomel lagi. Meyakinkan Vee jika putranya itu harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan Rose lagi.
Leon tiba-tiba berdiri, membalik tubuh. "Dad, I need to talk to you. Now."
"Office." jawab singkat Vee.
Dera dan Lily dilanda penasaran. Tapi keduanya tahu jika suasana tegang seperti ini berarti keadaan sedang tidak baik, atau mungkin ada kepentingan yang harus diselesaikan.
Mulai sekarang, Lily harus terbiasa dengan kakak sekaligus ayahnya yang mulai bertindak misterius. Gadis itu sebenarnya ingin tahu. Tapi ya sudahlah.
***
"Apa yang daddy lakukan? Maksudnya kesepakatan apa yang daddy buat dengan Foltrees."
"Son. Darimana kamu tahu?"
"Robert uncle."
Damn. Vee berusaha mati-matian menyembunyikan tapi Robert dengan seenaknya memberitahukan.
Oke. Vee harus tenang. Tarik napas dalam-dalam. "Hanya menawarkan kerja sama. Kebetulan Foltrees pernah memberi penawaran kepada daddy untuk sebuah bisnis ilegal."
"Dad." Leon berteriak. "You gotta be kidding me. It's crazy!!!" Suara Leon meninggi, urat di perpotongan lehernya samapi mencuat.
Vee bersumpah akan mencekik leher Robert. Mau Vee berkata tidak jujur pada Leon ya percuma. Alhasil bukan hanya bodoh saja predikat Vee sebagai seorang ayah, gila pun sudah diselipkan di belakang namanya.
Tapi. Astaga. Vee tidak segila itu dengan tidak memikirkan rencana, banyak pihak yang sudah dikoordinasi untuk siasat jebakan yang sudah tersusun rapi. Vee ingin meringkus Foltrees karena kejahatan pria itu sudah melewati batas, semenjak dari dulu, bahkan Leon juga tahu itu.
"No son. Daddy bisa mengatasinya."
"Tapi tidak begitu caranya. Daddy sama saja menjebloskan diri dalam lubang buaya. Pria itu berbahaya, astaga daddy."
Leon mengamuk. Jelas saja. Pikir Leon kenapa juga ayahnya ini terlibat hal tidak jelas. Mendekati Foltrees untuk tujuan apa? Kenapa harus daddy-nya? Kenap bukan aparat keamanan Negara saja?
Vee praktis berjongkok, menyamai tinggai putranya. "Jika saat ini usia daddy masih enam tahun, tidak mungkin daddy bertindak sejauh ini. Daddy tahu apa yang daddy lakukan."
Mendadak Leon merasa dirinya sedang disindir, masih ingat bukan, jika bukan karena tindakan ceriboh Leon, mungkin saat ini mereka tidak akan pernah terlibat dengan Folltress.
"Cita-citamu meringkus mafia bukan?"
Leon mengangguk.
"Daddy akan wujudkan. Tapi kamu diam, jangan ikut campur. Cukup jadi penonton. Oke."
"Mana bisa." Protes Leon spontan. "Jelaskan, apa yang akan daddy lakukan?"
Leon juga khawatir. Pengalaman adalah guru terbaik. Memang benar. Leon sedikit trauma dengan kematin Alenso dan Paul akibat tindakan bodoh darinya. Jujur Leon takut ayahnya akan nernasib sama. Leon masih sangat ingin menonjok muka Vee saat usia 17 tahun nantinya. Jangan sampai rencana yang Leon susun berantakan.
Suara dering ponsel saling bersautan, milik Leon pun milik sang ayah juga. Disaat Vee akan membuka mulut untuk menjelaskan apa yang di desak semenjak tadi, kedua bola mata itu bertubrukan, bersama milik putra yang berdiri di depannya.
"Mommy-mu di mana?" Si penanya tak sabar hingga sedikit meninggikan suara.
"Australia." Leon menjawab dengan pelan, masih syok dengan berita yang baru saja ia lihat di ponsel miliknya pun Vee juga sama. "Dad. Gimana rasanya ciuman?"
Oh my goodness. Putranya ini sangat mengesalkan.
"Jangan coba-coba, masih kecil, saatnya bukan membahas hal ciuman. Kamu urus masalah ini, hubungi om Yogi. Daddy yang akan pergi menyusul Mommy. Jangan biarkan Lily tahu."
Dengan begitu Leon keluar dari ruang kerja ayahnya meski ia sangat penasaran dengan berita yang barusan terekspos jelas di media.
Begitupun Vee yang bergegas mempersiapkan segalanya.
Sign,
Pee🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...