61. Kemarahan Vee

411 84 1
                                    


Rose tidak ingat kapan ia pernah mengatakan alamat rumahnya yang berada si Australia kepada Vee, pun Rose tidak akan pernah lupa jika pria yang tepat berada diambang pintu rumahnya bisa melakukan apa saja.

"Kak, aku tutup dulu teleponya. Percayalah aku baik-baik saja."

Rose menggeser pelan ponsel yang semula berada di daun telinga untuk ditaruh dalam kantung celana. Candra memang menghubunginya. Mengatakan jika anak-anak terpantau oleh Dera, jadi kakaknya itu menyuruh Rose tetap diam dulu sampai keadaan cukup reda. Kali ini terlihat cukup sulit kata Candra, media masa cukup brutal, apalagi dengan tema perselingkuhan.

"Masuklah." ucap Rose akhirnya saat Vee masih saja berdiam diri.

Rose bukannya tidak ada pendirian setelah menolak Vee, tapi sekarang justru membiarkan pria itu masuk kedalam rumahnya. Hanya saja Rose tak begitu tega saat angin dingin diluar merembes kedalam hanya dengan pintu yang terbuka tak begitu lebar.

Apa jadinya Vee yang hanya memakai setelan tipis berada diluar kelamaan. Rose masih punya hati.

"Untuk apa kau kemari?"

"Kamu baik-baik saja?"

Keduanya masih sama berdiri. Bedanya mereka sudah berada di dalam hunian. Dibawah atap yang sama, hanya Rose dan Vee saja, karena Laura sudah pulang ke rumahnya.

Rose harus ingat, harus berpendirian. Perhatian dengan tutur lembut tak akan bisa menggoyahkan hatinya.

"Sangat baik. Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Sebaiknya kau pulang."

Katakan iya jika Rose setega itu, di jam ini, yang nyaris menyentuh sebelas malam.

Tidak tahukah Rose bagaimana kelabakannya Vee membereskan masalah di Indonesia dengan James, Jaeko tadi di kantornya?

Belum juga masalah reda karena media tak sebegitu mudah bisa dikendalikan dalam hitungan hari saja. Bahkan ini masih beberapa jam dari kemunculan berita murahan yang sudah terlanjur meluas di dunia maya.

Leon juga tidak kalah kesusahan saat akun-akun kecil kurang kerjaan ikut memperluas skala berita. Bahkan putranya itu sempat mengumpat saat para ibu-ibu pendukung Zara mengasari Rose secara verbal.

Rose tidak tahu!

"Aku tidak akan pergi sebelum kita bicara."

Vee masih ingat dengan jelas ancaman ibunya jika tidak berhasil membawa Rose pulang. Juga Vee tidak ingin dipisahkan lagi dengan anak-anaknya saat Dera dengan jelas mengatakan untuk pergi dari rumahnya setelah berita kontroversial itu sampai di telinga ibunya.

Vee sebenarnya juga cukup lelah.

Tepatnya sangat lelah.

"Kita sudah selesai, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi."

Vee praktis menunduk sebelum ia menjawab, "Baik. Kalau begitu aku konfirmasi saja jika kau itu memang benar selingkuhanku."

Mau dibantah sekalipun, Rose masih ingat jika keras kepalanya Vee itu tidak ada yang bisa menandingi. Mungkin jika itu terbuat dari batu karang sekalipun, tak ada air yang dapat membuatnya terkikis. Bahkan mungkin sampai menua, pria itu tetap sama. Isi kepalanya tak pernah bisa diajak dewasa.

Bukankah Rose sudah berkali-kali mengatakan jika semua demi anak-anaknya. Kenapa Vee justru akan menjerumuskan Rose kedalam lubang yang semakin dalam.

"Oke. Jika itu maumu. Aku sudah tidak perduli lagi."

Sebenarnya sudah tidak ada masalah lagi. Vee hanya bicara omong kosong mengenai konfirmasi. Tapi kenapa Rose sekasar ini.

Apa salah Vee sebenarnya?

Apa dirinya terlalu kejam?

Boleh bukan jika Vee emosi sekarang. Ia sudah lelah. "Ada apa dengan isi kepalamu itu, Rose?"

Rose tidak pernah lagi mendengar Vee berteriak seperti ini setelah terakhir kali pria itu mengatainya dengan sebutan jalang, ia maklum karena waktu itu masih ada kesalah pahaman. Tapi yang sekarang ia lihat adalah setitik frustasi yang disampaikan lewat tingginya suara itu membuat Rose gentar.

"Aku sudah bilang padamu. Ayo berhenti, aku tidak mau lagi. Tidak ingin memulai lagi denganmu. Apa kau masih tidak paham soal itu."

"Apa aku terlalu remeh untukmu. Apa begini caramu? Egois."

Maka Vee benar-benar marah untuk kali ini. "Aku tahu aku pernah salah. Itu sangat sulit kuga untukku Rose. Tidak ada yang mau disalah pahami. Aku tidak pernah menginginkan itu. Aku juga kesusahan saat tidak tahu harus berbuat apa. Apa kau pikir aku juga tidak menderita disaat aku tahu kau meninggalkanku? Itu sangat sulit."

Rose kesusahan meneguk ludahnya sendiri. Ia mendongak menatap lurus Vee yang sedang dikerubung amarah. Rose mencoba tak gentar dengan tetap mempertahankan keangkuhannya.

"Butuh waktu delapan tahun sampai aku bertemu kembali denganmu, Rose. Disaat aku masih membencimu, tapi aku tidak bisa berhenti mencintaimu. Aku juga lelah, tapi kau selalu membuatku luluh, tanpa ampun membuatku tak bisa jauh. Kau tidak akan pernah tahu karena kau bukan diriku."

Sorot mata Vee begitu terluka. Ini untuk pertama kalinya bagi Rose. Pemandangan ini begitu memilukan, tapi ia tetap tidak mau kalah untuk menurunkan egonya.

"Vee." Rose juga lelah, ia tak bisa menanggapi apapun yang diucapkan oleh Vee. Soalah banyak cairan yang sudah menyumbat isi kepalanya, ia pening.

"Aku minta maaf. Aku memang salah. Sangat salah untuk semua keadaan yang aku buat. Aku keras kepala."

"Vee."

Jangan lagi. Vee sudah terlihat putus asa. Tidak bisa dibiarkan.
"Aku sama lelahnya. Aku tidak bisa lagi, ini sangat melelahkan. Vee..."

"Berhenti bicara." Kali ini Vee benar-benar tak ingin mendengar kalimat perpisahan untuk kesekian kalinya.

"Percaya padaku, masih banyak wanita yang lebih baik daripada aku. Aku yakin kau akan me-"

Rose tak kuasa melanjutkan kalimatanya saat pinggang dan satu tangan ditarik spontan, bersamaan dengan itu bibirnya sudah dikatup dalam keganasan. Sensasi dingin dari bilah bibir dan hangatnya hembusan napas membuat jantung yang semula berdegup kencang seperti mendadak berhenti untuk berdetak.
Vee menciumnya.

Rose merasa oksigen yang bebas mengudara dirambas begitu saja. Dengan cekalan yang terasa menguat hingga tubuh yang semakin merapat, Rose disadarkan, mencoba melepas namun Vee tidak membiarkan.

Mata itu Vee pandang meski tak setegas sebelumnya.
Rose tetap memaksa, mengambil kesempatan disela jeda, bukan berhasil yang ia dapat, justru Vee yang jauh semakin melekatkan tubuh hingga nyaris tak berjarak.

"Berh-"

Dengan satu kata yang belum penuh terucap, Vee melanjutkan untuk meluapkan amaran lewat decapan kala lidah yang leluasa itu tak berhenti mengecap, menyesap sembarang meski tanpa melihat karena menutup mata. Rose lemas dengan getaran dada yang panas.

Masih tak berhenti. Vee justru memanfaatkan kesempatan tak berdaya Rose dengan mengangkat tubuh itu dengan mudah. Memasuki ruang lebih dalam hingga menemui sofa. Membanting Rose diatasnya.

"Masih ingin bicara? Hm?" Tatapan itu menusuk hingga membuat dada Rose semakin sesak. Vee jelmaan iblis. "Aku ingin menghamilimu."

Maka satu butir air mata jatuh begitu saja, Rose merasa tak punya daya apa-apa. "Dan kau akan menjadikanku jalang seperti perkataanmu sebelumnya?"

"Jangan merendahkan dirimu, Rose." Teriak Vee menggema hingga dengung terdengar berirama.

"Kau yang membuatku rendah di depanmu." Teriak Rose tak kalah kencang. "Apa selama ini tidak cukup?"

Wajah Vee semakin mendekat dengan tubuh yang mengungkung penuh diatas. Setitik emosi yang awalnya kecil sekarang semakin membesar. Netra mata pria itu bergetar, otot di pelipis juga ikut muncul serempak. Jika dibilang Rose takut, maka jawabannya sedikit, tapi lebih daripada itu, ia teramat kecewa.

"Lakukan Vee. Lalukan semaumu, maka setelah itu, aku jamin kau tidak akan pernah melihatku lagi, di dunia ini."




Sign,
Pee🍂

CUDDLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang