Bola mata bulat dengan iris coklat itu mengedip lucu, kepalanya mendongak menoleh ke kiri dan ke kanan. Tubuh yang hanya memiliki tinggi satu meter lebih sedikit itu sedang berdiri diantara dua manusia dewasa yang diketahuinya adalah Mommy dan Daddynya."Lily bingung nih, mau tanya apa ya?" ucapnya dengan jari meremat boneka Tata yang ada didekapnya; pemberian Candra Uncle tempo hari saat ulang tahunnya.
Rose pun Vee tak kalah bingung dong, justru mereka yang sedang kalang kabut memutar otak mencari alasan. Ya salah sendiri, pagi-pagi sudah ribut saja, tidak sadarkah masih ada Lily dirumah? Mungkin saja gadis itu terbangun dari tidurnya karena ulah mereka.
Lily tak mendapatkan jawaban. "Emh. Uncle, selamat pagi, awal yang bagaimana ya, sedikit mengejutkan. Tapi, Lily tidak penasaran," ungkap gadis itu dengan cengirannya.
Sengaja bikin Daddy gugup nih ceritanya.
Sedangkan Vee yang disapa meringis seraya mengusap tengkuknya, kecanggungan luar biasa sedang menguasai dirinya, penuh dan total.
Lalu bagaimana dengan Rose ibunya?
Tentu saja wanita itu tak kalah dirundung rasa gelisah pun bersalah juga. Harusnya setiap hari bahkan sedari dulu sekali, Lily dapat melihat ayahnya seperti ini setiap pagi.
Pemandangan Lily bahagia bersama ayahnya yang asli sangat sering Rose impi. Mau bagaimana pun juga, semua yang nyata itu lebih indah, daripada yang semu meskipun berlimpah-Jeffry contohnya; hasil kebohongan namun membawa kebahagiaan yang menumpah ruah yang akan hilang kapan saja. Nyatanya, pria berlesung pipit dan berkulit bening sebagai sahabatnya itu harus lah bahagia dengan kehidupannya, bahkan seharusnya sudah dari dulu sekali.
Mulai hari ini Rose berhenti dan sudah tidak ingin mengusiknya lagi.
"Adek, cepat mandi sana," perintah Rose. Sekenanya saja, ya untungnya Lily tidak bertanya aneh-aneh.
Tumben?
Pikir Rose begitu. Setahunya, Lily itu orang paling kepo sedunia melebihi si Dora. Apapun ditanyakan, dari hal sepele sampai yang mengatur urusan Dunia.
Nah ini?
Vee dirumahnya lho, gadis itu malah meyapa, menurut Rose langka. "Sebentar, Mom," tolak Lily dengan tangan kanan mengangkat ke udara. Perasaan Rose mulai tidak enak sekali. "Mommy habis nangis ya?" lanjutnya dengan bertanya.
Rose total bungkam. Mau dijawab apa wanita itu tidak tahu. Kelilipan gitu? Please ya, klise banget kalau pakai alasan itu.
"Uncle matanya juga merah. Habis nangis bareng Mommy begitu?"
Astaga, tidak disaring dulu pertanyaanya. Mungkin jika itu untuk sepasang anak kecil yang baru saja selesai bertengkar dengan meraung barengan, pertanyaan itu pantas untuk diungkapkan.
Nah ini? Mau dijawab bagaimana? "Iya, nangis bareng," Begitukah? Lily ada-ada saja, pura-pura tidak tahu bisa kan, seperti biasanya lah; seperti usahanya menyembunyikan diri dari semua kebenaran yang ia pendam sendirian.
"Ya sudah, Lily mandi saja. Jangan nangis, nanti Kak Leon lihat bisa sedih."
Tak lama menutup mulutnya, tubuh mungil itu berbalik untuk mengayunkan langkah. Punggungnya tenggelam di balik pintu kayu lantai satu, kamar mandi dekat dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Roman d'amour"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...