Suara pantulan bola menggema melengkapi sunyi yang begitu kelam di malam hari ini, sepasang kaki itu tak henti berlari, memutar bahkan melompat dengan tangan yang menggiring benda bulat orange.
Peluh yang meluruh dari dahi dibiarakan begitu saja. Lantas, kakinya telanjang tanpa terbungkus apapun, banyak goresan bahkan cairan kental merah berceceran mengikuti jejak pijakannya. Bukan hanya kondisi fisik yang tersiska dibalik napas engahnya, hatinya tersiris perih, pun menjalar, belum lagi punggungnya yang saat ini dipasrahkan pada lantai paping dingin di pinggir lapangan.
Vee Kanesh Bellamy, sekali lagi dilemparkan pada ingatan masa lalunya saat mata hangat itu menatap langit gelap menembus tanpa batas menampilkan pijaran bintang yang samar tak terlihat. Kepalanya berpangku pada tangan yang di lipat dibawahnya.
"Begini sangat nyaman," gumamnya sembari memejamkan mata.
Semilir angin yang tiba-tiba berhempus mampu menggoyangkan anakan rambutnya, dilihat dari sisi manapun, pria beranak satu itu sangatlah tampan.
Belum sempat matanya menutup dengan sempurna, suara hasil tabrakan bola dengan lantai tengah mengganggu waktu istirahatnya. Bahkan, waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi.
Siapa lagi orang gila yang bermain basket sepagi ini selain dirinya?
Vee sedikit kesusahan untuk berdiri, kakinya berdarah, tentu saja itu ulahnya sendiri bermain dengan gila-gilaan tanpa menggunakan sepatu-lupakan soal itu. Begitu saja angannya melayang saat manik mata itu terus menatap seseorang yang dengan lincahnya memainkan permainan yang sudah di geluti Vee sejak muda.
Satu tembakan demi tembakan tepat sasaran. Vee termangu, seperti tidak percaya dengan apapun yang berada di depannya. Tinggi ring itu khusus untuk orang dewasa, sedangkan seonggok anak manusia di depannya ini sama dengan tinggi anak gadis yang bernama Lily.
Lily?
"Sial," kesal Vee dalam hati.
Oke, kenapa otak gemblung Vee lebih memilih untuk mengingat nama Lily daripada nama anaknya sendiri. Baiklah, anggap saja Vee sedang setres mengingat ibunya Lily.
"Good, boy," pekik Vee keras saat lagi-lagi anak itu melakukan shooting dengan indah.
Anak itu berdiri tegang, hanya menatap lurus ke depan yang masih membelakangi Vee. Nampaknya bocah itu tidak menyadari ada manusia lain di lapangan ini. Kini, tubuh kecil itu gemetaran takut sendiri.
"Apa ada setan sepagi ini?" gumamnya pelan.
Kaki anak itu pun tak diam ingin melangkah namun masih tertahan, sedangkan bola orange di biarakan menggelinding keluar lapangan.
Vee merasa dirinya adalah makhluk paling tampan di dunia. Tapi, anak laki-laki di depannya itu menganggap pujiannya yang sangat berharga keluar dari mulut setan-ayolah, Vee merasa terhina. Awas saja, Vee akan menunjukkan jati dirinya.
Anggap saja saat ini Vee sedang sentimental hingga perkara keparipurnaan wajah dianggap masalah yang mampu mengguncang dunia, padahal itu hanyalah anak kecil.
"Hei, bocah cilik," panggil Vee lebih keras, kali ini, tubuh jangkung itu sudah tepat di belakang insan yang masih terjebak dengan angan-angannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...