"Hai," sapanya dengan raut datar.Pria yang baru saja terbangun di atas bangsal rumah sakit itu sedikit meringis merasakan kepalanya yang pening. Namun saat setelah mendengar nada sapaan yang seharusnya terdengar ramah ditelinga; Vee menoleh pada sang penyapa yang sudah berdiri di samping kanannya dengan melipat tangan di bawah dada.
Lidah Vee kelu, bahkan mulutnya hanya mampu ternganga, menutup, lalu ternganga lagi, lalu menutup lagi, matanya kesusahan untuk fokus, tangannya berusaha menepuk kedua pipi, ini bukan mimpi, begitulah ia meyakinkan dirinya jika yang dilihatnya bukan hanya yang mampu ia bayangkan selama ini.
"Hai, Dad, senang bertemu denganmu, perkenalkan, namaku Leon. Putramu, kembaran Lily."
Sekali lagi. Leon mengatakan dengan sangat teramat datar, bahkan adat mengulurkan tangan sebagai tanda perkenalan tidak ia lakukan. Mungkin memang Leon tidak ada minat, walaupun ia sendiri tahu jika jantungnya berdetak tak karuan menahan kerinduan.
Jujur, Leon ingin memeluk ayahnya yang masih ternganga lebar setelah pengakuan mendadak yang ia lakukan.
"Le..Leon. Boleh Daddy memelukmu." Pinta Vee.
Vee sampai melepas infus dengan paksa, yang ia rasakan hanya pening di kepala, ia tidak lemas ataupun tak mampu untuk menopang tubuhnya, jadi buat apa benda sialan itu menancap di pembuluh darahnya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan putranya, meskipun saat ini juga sudah terlambat untuk mengatakan itu semua.
Leon berjalan mundur saat Vee mencoba mendekatinya. Hatinya masih sakit, ingin sekali Leon menerima Vee untuk merengkuh tubuhnya, ingin sekali, tapi entah kenapa bagian dari dirinya menarik kebelakang untuk memulai sebuah penolakan.
Leon menggeleng. "Aku membencimu, Dad."
"Daddy tahu, Daddy tahu kamu membenci Daddy. Daddy harus bagaimana. Katakan, Son. Daddy harus melakukan apa?"
Leon menggantungkan air mata yang masih menumpuk di pelupuknya. Ia hanya bocah kecil kurang kasih sayang, ia berwatak keras seperti Vee yang sayangnya sudah terbentuk sejak dini, trauma ditinggalkan seorang ayah membekas dan sulit untuk dilupakan, terlebih ia tahu jika Vee bersama keluarga yang seharusnya bukanlah tanggung jawabnya.
"Is there no way to turn back time?" Leon mati-matian menegaskan nada bicaranya, mati-matian juga agar parau yang menggantung di tenggorokan tidak lancang untuk keluar.
Petanyaan konyol, iya itu adalah pertanyaan konyol, jika saja bisa, Vee akan dengan sangat senang melakukan itu semua. Bahkan, jika memang bisa memutar waktu, Vee akan kembali di hari saat ia bertemu pertama kali dengan Zara, Vee tidak akan pernah menjalin persahabatan dengan orang yang telah menghancurkan hidupnya. Atau bahkan, Vee meminta agar tidak terlahir didunia karena hadirnya dia membuat banyak orang menderita.
"No, Dad, you can't do that!"
"Le...."
"Aku membencimu, Dad. Sungguh." Tangan Leon mengepal.
"Maafka......"
"Maaf hanya bentuk simbolis, tidak bisa mengembalikan apapun." Leon masih sangat ingin memojokkan Vee. "Apa pernah Daddy melihat saat pertama kali kami bisa merangkak, berjalan? Apa pernah Daddy melihat saat pertama kali kita dapat bicara? Daddy tidak tahu apapun tentang kami! Dan itu semua salah Daddy! Leon memang lancang, tapi Leon tidak takut mengatakan jika Daddy adalah seorang yang bodoh!!"
Vee membenci dirinya sendiri karena saat ini tidak bisa melakukan apa-apa, bahkan untuk menenangkan Leon yang sudah dirubung amarah saja tidak bisa, bagaimana Vee menjadi orang sepengecut itu. Bahkan saat Leon mengatakan hinaan, Vee tidak berhak merasa marah, ia pun juga merasa tidak pantas untuk tersinggung. Itu adalah kebenaran. Kebenaran yang memalukan.
"Daddy mohon...." tidak disangaka, Vee berlutut menyamakan tingginya dengan Leon, meminta belas kasihan, menjatuhkan harga dirinya, ia tidak perduli, apa arti harga diri jika yang dimintai adalah anaknya sendiri. "Apapun, yang membuat kamu lega, apapun, Daddy akan melakukannya."
"Termasuk meninggalkan Mommy, meninggalkan Lily? Daddy mau menuruti permintaanku soal ini?"
Bahkan Leon membalik bertanya spontan tanpa berpikir panjang. Vee yang mendengar seperti di ambang kematian, maju jatuh mundur pun jatuh. Apa jadinya hidup tanpa mereka semua. Vee tidak bisa, bahkan terlalu sulit untuk bertahan selama ini. Alasan Vee mempertahankan hidup dulunya karena ia menganggap Rachel adalah anaknya sendiri. Namun setelah tahu jika itu adalah kesalahan besar, Vee menjadi sadar dan beralih mempertahankan hidup demi orang-orang yang memang patut untuk dipertanggung jawabkan.
"Apa Daddy boleh menolak, Son? Tidak ada pilihan lain?" untuk menjawab pertanyaan Leon pun Vee masih mencoba untuk bernegoisasi, sungguh pria itu tidak rela kehilangan Rose beserta anak-anaknya.
"Daddy tidak bisa kehilangan kalian. Daddy mohon." Imbuh Vee lagi, ia tidak malu karena saat ini satu titik air mata sudah jatuh di pipinya.
Harga diri tidak ada lagi. Sangat terlambat untuk mengagungkan ego untuk kepentingan yang tidak begitu berarti. Vee sangat sadar, Leon lebih sulit daripada Rose untuk dihadapi.
Leon tersenyum. Tidak tahu apa yang dipikirkan bocah cilik itu, mungkin sangat senang melihat ayahnya yang frustasi. Vee tahu betul, bahkan matanya begitu jelas melihat Leon yang mengangkat kedua sudut bibirnya, namun hatinya tidak tenang karena belum mendapatkan jawaban.
"Leon tidak bodoh, Dad. Mana mungkin Leon membiarkan Lily menangis karena kehilangan Daddy nya. Tapi bukan berarti Leon sudah memaafkan Daddy ya. Daddy harus mendapatkan balasan yang setimpal dari Leon."
Langsung saja Vee tergesa menarik Leon dalam pelukan. Masa bodoh dengan Leon yang saat ini memberontak mencoba menolak. Bahkan kekuatan bocah itu tak sebanding dengan Vee yang sudah mengungkung tubuh kecilnya dalam dekapan, meskipun Leon berusaha keras untuk lepas, namun hatinya memberontak agar jangan lepas dari pelukan ayahnya, ego Leon sangat tinggi ternyata.
"Terimakasih, Son. Balas semaumu, sampai kamu puas, bunuh Daddy juga tidak apa-apa." Vee mendekap erat Leon yang sudah tenang.
Leon tersenyum di balik pelukan Vee, lantas berkata, "No, Lily akan menangis nantinya, Leon tidak mau di benci seumur hidup meskipun Leon sangat ingin menembak kepala Daddy seperti yang dikatakan Om Yogi."
"APA?" Vee melepaskan pelukannya.
Leon memeragakan dengan tangan kanannya, membidik tepat di depan kepala Vee. "Fyu. Dor. Begitu, pas dikepala Daddy." ungkapnya tanpa ragu.
Vee lantas melotot, tangannya mengepal erat. Ia bersumpah akan memukul kepala Yogi. Ia berjanji untuk itu. Meskipun kesalnya menumpuk pada Yogi, lantas Vee tak pernah bisa membenci.
Vee tidak mau dulu memikirkan Yogi. Ia melanjutkan untuk menarik Leon lagi dalam pelukan. Kali ini Leon pasrah. Tidak apa-apa pikirnya, tapi lain kali Leon tidak akan mau. Jika Lily tidak apa-apa karena dia seorang perempuan yang wajar saja bersikap manja, tapi jika itu Leon, pasti akan sangat memalukan jika disaksikan banyak orang, untung saja disini hanya mereka berdua.
"Oma sebentar lagi datang." Leon bersuara membuat jantung Vee terasa ingin berhenti saat ini juga.
"Daddy tahu." jawab Vee lugas membuat Leon membolakan mata, terkejut.
Sign,
Pee🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
CUDDLE
Romance"Waah, hadiah di pertemuan pertama dengan satu tamparan, bukankah ini keterlaluan," racau Vee. "Harusnya kau menciumku, atau bagaimana kalau kita di ranjang saja, bukankah kau ahli untuk urusan seperi itu, Nona Rose?" Rose tercekat bagai menelan dur...