Chapter 61

738 88 129
                                    

Setelah makan malam, Anvayz, Ron, dan Hermione duduk di depan perapian menunggu Harry selesai mengikuti sesi pelajaran Occlumency, kepanikan melanda Harry membuat Anvayz harus menenangkannya berkali-kali dan berkata bahwa Snape tidak seburuk itu jika kau menuruti dan mendengarkannya.

Beberapa saat kemudian Harry melompat masuk dari lukisan menuju Common Room Gryffindor, pria itu menceritakan tentang bagaimana sesi latihan Occlumency yang menyebalkan dengan sikap Snape yang tak kalah menyebalkan. Anvayz hanya terkekeh dan menggeleng, Harry mengerutkan kening dan protes. "Kenapa tertawa? Sungguh dia menyebalkan!"

"Melatih Occlumency memang sesulit itu, Rry. Snape tidak salah."

"Bagaimana kau tahu? Bukan kau yang berlatih tadi."

"Aku seorang Occlumens dan Legilimens, Harry. Aku tahu bagaimana rasanya."

Harry, Ron, dan Hermione membulatkan matanya terkejut, "Kau?! Kenapa tidak bercerita?!"

Anvayz mengangkat bahunya acuh, "Kalian tidak bertanya."

"Bagaimana kau berlatih itu?" tanya Harry.

"Sebenarnya Axlvy handal dalam keduanya, sedangkan Black handal dalam Occlumens, jelas jika aku, Heus, dan Zeus bisa karena Dad dan Mom pun bisa. Hanya saja jika ingin mendalami keduanya, kami harus berlatih. Jadi kami merasakan apa yang kau rasakan."

Harry mengusap wajahnya kasar, "Baru satu pertemuan berjalan tetapi aku semakin tidak yakin bisa melanjutkannya."

"Itu namanya proses belajar, Rry. Semua butuh proses. Aku akan bantu mengajarimu sebisaku." kata Anvayz mengemangati Harry, pria itu tersenyum dan berterima kasih.

*#*#*#

Keesokan harinya, berita tentang lolosnya sepuluh Death Eaters tersebar di mana-mana. Salah satunya adalah Bellatrix Lestrage. Anvayz semakin takut dan semakin cemas karena mimpi buruk yang menimpanya, takut jika mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Astaga, ke mana jiwa Gryffindor yang selalu dia banggakan?

Setelah makan malam, Anvayz menuju ke ruangan Snape. Dia ingin menenangkan diri dengan pria besarnya, tempat kedua dia merasa aman setelah ayahnya. Sesampainya di depan pintu, dia mengetuk seperti biasa.

Tak lama kemudian, Snape membuka pintu, seperti sudah menebak akan kedatangan gadisnya. Dia tersenyum dan memberi jalan agar Anvayz bisa masuk. Setelah memasuki kantornya Anvayz mendudukkan diri di sofa panjang, sedangkan Snape masih berdiri. "Kau baik?" tanya Snape.

Anvayz mendengus, "Kurasa begitu." sinisnya.

Snape menghembuskan napas dan berjalan pergi menuju dapur, beberapa menit kemudian kembali dengan dua cangkir teh hangat di tangannya. "Minum."

Anvayz tersenyum dan menerimanya, tak lupa mengucapkan terima kasih. Snape duduk di sebelahnya, menyesap teh sambil membaca buku yang dia ambil. Sangat hening, tapi mereka sangat menikmati keheningan ini, begitu damai dan menenangkan. Tak ada satupun yang merasa canggung atau resah.

Setelah keheningan yang cukup lama, Anvayz menaruh teh di meja kopi dan melompat ke pangkuan Snape, mengangkangi pria itu. Gadis itu mengambil teh di tangan Snape dan menaruhnya di tempat yang sama, Snape menaikkan satu alisnya heran.

"Happy,"

Cup.

"Birthday..."

Cup.

"Serpent Prince."

Cup.

Bisik Anvayz mengecup pipi kanan, pipi kiri, dan bibir Snape pada setiap kata yang dia ucapkan dengan lembut.

Love but PrestigeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang