65

23.7K 1K 33
                                    

Rangga termangu mendengar ayahnya bicara. Lelaki paruh baya itu menyuruhnya pergi dari rumah? Apa maksudnya?

"A--a--apa ... maksud Ayah?"

"Kamu sudah kelewatan manja. Jadi lelaki tidak punya sikap. Kayaknya kamu perlu merasakan dunia luar agar kamu bisa menjadi lebih dewasa. Cepat pergi dari rumah ini. Kamu nggak boleh bawa apa pun!"

Rangga yang tengah bersimpuh di hadapan ibunya, menatap dengan penuh harap pada Muthia agar ibunya itu bisa membela dirinya. Namun, tampaknya hal itu sia-sia belaka. Muthia sama sekali tidak ingin menatap pada Rangga. Rasa kecewanya yang mendalam pada Rangga membuatnya satu pemikiran dengan sang suami.

Menampar Shafa yang tidak salah sama sekali hanya gara gara pengakuan Rangga yang tidak diteliti kebenarannya terlebih dahulu adalah penyesalan yamg teramat dalam bagi Muthia. Gadis itu adalah gadis yatim piatu yang perlu dikasihani. Gadis yang masih membutuhkan perlindungan dari sebuah keluarga, apalagi dari suami. Akan tetapi, sungguh malang bagi menantunya itu, tidak diterima sang suami, ditampar mertua, sungguh nasibnya menyedihkan sekali. Muthia hanya berharap dia bisa menemui Shafa nantinya dan meminta maaf.

Tidak tahan dengan kekacauan yang terjadi malam ini, Muthia pada akhirnya meninggalkan putranya sendirian. Baru beberapa langkah dia berjalan, suara Rangga menyapa indra pendengarannya.

"Bu ...," lirih Rangga.

Muthia berhenti.

"Tolong katakan pada ayah, jangan lakukan ini pada Rangga."

Muthia memejamkan matanya dan tanpa berbalik dia berkata, "Ibu seperti biasa kalo sudah Ayah ambil keputusan final dan keras seperti ini, Ibu akan ikut. Walaupun sebenarnya sangat berat untuk ibu."

Rangga terpekur di tempatnya tadi. Kini dia kehilangan semuanya.

"Dompet, gesper, kunci mobil, sepatu, jam, semua buka. Termasuk kemeja," titah ayah Rangga.

"Ayah ....," lirih Rangga dengan tatapan tidak percaya.

"Cepat! Lakukan saja apa yang ayah minta, Rangga!" titah Deddy kembali.

Rangga membuka jam tangan, mengambil dompet dari saku celananya, melepas gesper, dan terakhir sepatu.

"Kunci mobil!" tegas ayah Rangga sembari menadahkan sebelah tangannya.

Rangga pun mengeluarkan kunci mobil dari kantong celananya lalu menyerahkannya pada sang kepala keluarga dengan langkah tertatih-tatih.

"Handphone!" seru Deddy.

"A--a--apa? Handphone? Buat apa, Yah?"

"Semua barangmu ayah sita! Kamu harus keluar dari rumah ini untuk sebuah pembelajaran. Kamu harus merenungi salahmu mungkin dengan menyendiri membuatmu bisa berpikir. Semua fasilitas perusahaan akan ayah sita. Termasuk kunci apartemen."

"Mak--mak--mak--sud Ayah ... aku disuruh ngelandang gitu gak tentu arah?" tanya Rangga dengan raut dan nada frustasi.

"Jika kamu menafsirkannya begitu, maka tidak jauh beda dengan maksud ayah."

"Handphone! Kasih ayah!" tegas Deddy kembali.

"Tidak, Yah! Handphone ini satu-satunya yang akan menghubungkan aku dengan Shafa. Aku masih menyimpan nomornya serta beberapa foto dan video di dalamnya. Itu satu-satunya kenanganku dengannya.
Tidak ada yang lain. Aku sudah tidak bisa menemuinya, dan sekarang aku harus berpisah dengan satu-satunya benda yang mengingatkanku dengannya. Tidak, Yah! Tidak! Jangan!"

"Mang Asep! Mang Asep!" panggil Deddy.

Dari ruang makan, Asep sopir keluarga mereka tergopoh-gopoh menghampiri.

"Iya, Pak!" jawab Asep.

"Ambil handphone Rangga!"

"Hah? Maksudnya, Pak?" tanya Asep disertai raut bingung.

"Ambil handphonenya di dalam saku celananya!"

"Ayah! Aku mohon jangan lakukan ini, Yah!" pekik Rangga tertahan.

"Ayah tidak ingin kamu menjual handphonemu itu untuk keperluan hidupmu di luaran sana. Ayah ingin tidak ada satu pun yang menyokongmu di luaran sana. Ayah ingin kamu menyadari salahmu di mana! Merenungi diri, mungkin dengan kondisimu yang terhimpit kamu akan tau bagaimana rasanya sendiri, terbuang, diabaikan! Ambil ponsel Rangga!"

Rangga mengambil ponsel di kantong celananya, lalu menggenggamnya erat.

"Jangan, Yah!"

"Berikan baik-baik! Sebelum ayah dan Mang Asep mengambilnya secara paksa!"

Rangga berlutut di hadapan ayahnya. "Aku mohon, Yah! Tolonglah jangan lakukan ini! Aku tidak akan menjual handphone ini!"

Melihat kesungguhan putranya, Deddy pun mengabulkan permintaan itu.

"Pergi dari rumah ini! Belajarlah lebih banyak di luar, menjadi pribadi yang bisa menghargai orang lain. Menjadi pribadi yang bisa menjaga apa yang seharusnya dijaga dan dicintai. Merenungi bahwa kesempatan itu kadang tidak datang dua kali. Bahwa adakalanya kesempatan baik bahkan tidak akan pernah kembali. Mungkin dengan kehidupan dengan ekonomi di bawah standar kamu bisa memahami makna itu. Selama ini hidup dengan berkecukupan membuatmu menyia-nyiakan banyak hal. Dengan uang kamu merasa bisa mendapatkan segalanya. Bahkan mungkin kamu bisa berpikir apa pun bisa kamu beli selama kamu memiliki uang. Padahal di dunia ini ada yang tidak bisa dibeli. Salah satunya kesempatan itu. Jika kamu sudah menemukan dan menyadari bahwa sulitnya mengembalikan kesempatan itu, pulanglah!"

"La--la--lalu bagaimana dengan Shafa, Yah?"

"Apanya yang bagaimana? Bukankah kamu sudah melepasnya?"

"Tidak bisakah Ayah dan Ibu menolongku mendapatkan kembali Shafa?"

Deddy menggeleng. "Itu sudah bukan urusan ayah lagi. Kamu kalo mau mendapatkan Shafa usaha sendiri."

Malam itu Rangga pun dipersilakan keluar dari rumah tanpa fasilitas bahkan tidak dengan uang. Sepeser pun Rangga tidak mengantongi uang.

Muthia menatap nanar punggung putranya itu. Ada rasa iba yang menyesakkan dada perempuan itu. Namun, jika suaminya sudah memutuskan keras seperti itu, dia tidak berani membantahnya.

"Ayah ..., apa Rangga bisa bertahan dengan kerasnya kehidupan luar?" tanya Muthia dengan deraian air mata membasahi pipinya.

"Bisa! Rangga bisa! Ayah hanya ingin memberikan dia pelajaran, bahwa apa yang sudah dia dapatkan harus dijaga dengan baik."

"Ibu sempat kuatir Ayah mengambil handphone Rangga. Kasian dia kalo nggak megang handphone itu. Dia gak bisa melepas rindu pada foto Shafa atau nanti dia nggak bisa menghubungi Shafa."

"Iya, ayah tahu. Ayah liat keseriusannya tadi."

"Kenapa kita gak bantu dia, Yah?" tanya Muthia.

"Kali ini dia harus sendiri mengusahakannya, tanpa bantuan kita. Ayah yakin dia bisa."

Muthia pun mengangguk.

Rangga berjalan menyusuri jalanan malam hari yang sepi. Dia sudah tidak tahu lagi harus kemana. Tanpa fasilitas apa pun, dia diusir untuk sebuah pembelajaran. Itulah yang dipahami lelaki itu saat ayahnya menasihatinya panjang lebar. Bagi Rangga ayah dan ibunya tidak salah sama sekali. Mereka menginginkan yang terbaik untukmya. Sebuah pelajaran hidup akan dia dapatkan jika berhasil melewati ujian dari kedua orang tuanya.

Tanpa disadari lelaki itu, hujan turun mengguyuri bumi. Membasahi kuyup apa saja yang dilewatinya. Membuat Rangga harus menepi dekat sebuah emperan toko di sebuah jalan yang semakin sepi karena hujan membasahi bumi yang membuat orang-orang malas untuk keluar rumah.

Dalam diam dan kedinginan, Rangga menunggu hujan reda.
Hingga tidak beberapa lama datang sekelompok pemuda yang bertampang preman ikut berteduh di sana.

Hai...
Aku up nih...
Makasih ya udah kangenin aku...
Maaf ada bebrapa alur yang harus aku perbaiki, ditambah dutaku lagi sibuk.

Jangan lupa bintangnya ya...
Terima kasih...

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang