(23)

18.2K 1K 2
                                    

Sejak kapan Pak George di situ? Dia tadi lagi bicara tentang Pak George yang makan ikan asin kan? Mesin waktu, Sari membutuhkan mesin waktu untuk kabur. Gadis itu menutup mata dan meringis. Shafa dan teman mereka lainnya menahan tawa.

George adalah pribadi yang pembawaannya santai. Jadi, dia hanya senyum kecil melihat kericuhan kecil di antara pegawai kantin mereka.

"Well...saya nggak sadar kalo hanya karena ikan asin saya dibully," kata George.

"Enggak Pak! Swear deh! Itu bukan bully an itu pujian, Pak! " Sari mengacungkan dua jarinya di hadapan wajahnya.

"Ekheeem...saya tidak akan memperpanjang ini. Asalkan.... " George menggantung kata katanya.

"Asalkan apa, Pak? Saya siap bertanggung jawab atas perbuatan saya tadi..." Sari menjeda kalimatnya "Sebatas yang saya mampu tapi... " cicit Sari.

"Asalkan saya bisa ikut serta pada pesta kalian," ujar George.

Tentu saja Sari membolakan matanya. Ya ampun...boleh dong. Itu doang?

"Boleh banget, Pak! " Seru Sari seketika.

"Jadi, kalian konsepkan saja seperti apa maunya pesta itu. Kita adakan lebih meriah. Soal dana nanti kasih aja rincian keperluannya ke Bu Maria, saya bisa kasih tau Bu Maria untuk mengucurkan dananya," usul George.

"Oke, Pak." jawab teman teman Shafa riang.

George mendekati Shafa yang sedang duduk di tepi meja kantin. Shafa yang merasa didekati mendadak merasa canggung, terlebih ada teman temannya di sini. Saat telah dekat hanya beberapa langkah saja, George menatap lekat gadis itu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Maskulin.

"Aku tadi melihat kamu berjalan dari lobby, terus pas aku panggil kamu nggak denger. Tadi kelihatannya kamu buru buru. Jadi, aku kejar. Kukira tadi terjadi sesuatu. Aku kuatir," kata George. Oh ya ampun, mau taruh di mana muka Shafa sekarang. Kata kata George barusan seolah membenarkan ucapan Sari beberapa saat lalu. Dan tolong ingatkan George bahwa mereka masih ada di kantin.

Teman teman Shafa ada yang bersiul pura pura tak tahu. Ada yang mengobrol tapi sebenernya nguping. Ah, Shafa jadi malu.

"I...itu..aku tidak apa apa. Aku baik baik saja. Kamu belum pulang? " Shafa bermaksud mengingatkan George akan jam pulangnya. Pegawai kantin pun sudah akan pulang jika saja tidak ada rapat dadakan untuk pesta koki mereka.

"Aku sudah mau pulang...tapi...sama kamu...," kata George kemudian. Oke cukup, Shafa nggak sanggup lagi menahan malu jika begini. Shafa haris menghentikan George mengatakan apapun di sini. Tadi sudah disindir halus kan untuk segera pergi? Oh no! Ternyata tak mempan. Shafa harus membawanya keluar dari sini berarti.

"Oke...yuk kita bareng keluarnya," ajak Shafa.

     
                                ***

Rangga masih berada di dalam ruangan kantornya. Memandang langit sore yang kemerahan dari jendela besar. Di bawah sana tampak sepasang insan berjalan beriringan keluar dari kantin kantor. Lelaki itu, tersenyum ke arah wanitanya dengan tatapan yang semua orang melihatnya pasti tahu lelaki itu tengah jatuh cinta. Yang wanita hanya menunduk malu mendapat tatapan itu. Rangga memperhatikan dengan seksama pasangan itu. Ada perasaan aneh yang dirasakannya melihat pemandangan itu.

Tiba tiba kakinya bergeming. Berjalan cepat menuju pintu ruangannya. Saat akan membuka kenop pintu, tangannnya menggantung di udara. Pikirannya tersadar. Memangnya mau ke mana dia? Tadi, dia seperti ingin menyusul pasangan tadi. Tapi, karena apa?

Rangga semakin tak mengerti. Mulai ada rasa yang hilang sejak malam itu. Malam di mana Rangga mengatakan semua keinginannya pada Shafa tanpa kecuali. Bahkan keinginan untuk menikahi Karina.

Tapi, yang didapatinya kini bukan kelegaan. Yang dirasanya hampa. Walau jarang bersama, Shafa telah memasuki celah hatinya sedikit demi sedikit. Meski tak akan memenuhi ruang sebesar Karina, Rangga merasa ada yang salah. Dan dia akan meluruskan hal ini secepatnya. Dia dan Karina harus menikah lebih cepat. Kalau tidak bisa bisa dia akan terjebak selamanya di dalam pernikahanya bersama Shafa.

                                
                                  ***

Keremangan masih menyelimuti suasana di luar pagi ini. Rangga sudah bangun baru saja. Lelaki itu kemarin bertekad untuk tidur secepat mungkin sehingga dapat bangun pagi dengan mudah.

Setelah selesai bersiap dan rapi dengan setelan jasnya, Rangga melangkah keluar sebelum dirinya mendengar suara dari arah pantry apartemennya.

Rasa penasarannya pun terbayar saat dilihatnya perempuan yang berapa hari ini tak ditemuinya pagi saat dirinya akan berangkat bekerja. Dengan langkah cepat, lelaki itu segera menghampiri meja makan mereka, lalu duduk di salah satu kursinya. Shafa yang tidak menyangka kalau Rangga akan duduk di kursi di belakangnya persis menghadap punggungnya saat memasak tadi, segera saja menoleh.

"Mas..., sudah mau berangkat? " Tanya Shafa.

Rangga mencelos mendengar Shafa bertanya seperti itu. Kata pertama yang keluar dari mulut gadis itu bukan lagi menawarkan sarapan seperti dulu sebelum mereka membuat kesepakatan itu.

Rangga menggeleng memberikan jawaban pada Shafa.

Shafa lalu membuat teh manis dua cangkir. Disodorkan satunya ke Rangga dan satunya untuk dirinya sendiri. Sejak tadi, memang Rangga tak melihat Shafa sibuk dengan wajan atau panci. Shafa hanya memasak air di kompor untuk diseduh dengan teh tubruk.

"Biasanya aku sarapan pagi di kantor, mas. Soalnya malas juga sarapan sendiri di rumah. Kalo di kantin kan rame ada temen temen yang datang pagi sengaja semua sarapan di kantin" Seolah membaca pikiran Rangga, Shafa menjawab pertanyaan yang ada dalam kepala Rangga. Lelaki itu pun manggut manggut mendengarnya.

"Jam berapa pulang kerja kemarin? " Rangga betul betul ingin tahu. Semalam Rangga sampai di rumah jam tujuh. Dia mengira Shafa sudah pulang sejak dirinya melihat George dan Shafa keluar dari kantin sore tadi.

"Jam sembilan malam, Mas. " Jawab Shafa jujur.

"Hmmm...ada lembur? " Tanya Rangga sarkas.

Shafa menggeleng. Dia tahu bahwa dirinya salah. Shafa menggigit bibir bawahnya cemas. Rangga melunak melihatnya.

"Lalu ke mana? " Tanya Rangga.

Tunggu sebentar. Bukankah katanya tidak usah lagi saling peduli? Urusi masalah masing masing? Ada apa dengan suaminya itu? Shafa mengernyitkan dahi. Rangga bukannya tak tahu makna perubahan muka Shafa. Tapi, dia pura pura tak tahu. Rasa penasarannya harus tuntas. Bukankah sore kemarin Rangga melihat dengan jelas istrinya itu keluar dari kantin berdua dengan George? Lalu pulang jam sembilan malam? Entah karena apa dia jadi ingin tahu. Dia pun sudah tak peduli jika telah melanggar komitmen mereka yang tak tertulis itu. Rangga bingung. Mau apa dirinya yang sebenarnya?

"Kami pergi mencari barang barang untuk persiapan pesta syukuran Mas Arif yang istrinya ternyata hamil. Kami ingin merayakannya kecil kecilan di kantin sesama karyawan kantin. Makanya aku pulang malam," jawab Shafa.

"Betulkah? Siapa yang mengijinkan? " Tanya Rangga.

Shafa bengong. Kehilangan kata kata.

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang