(9) Bertemu Karina

17.5K 955 2
                                    

Shafa menatap tanpa kedip ke arah ibu mertuanya. Jelas sekali wanita paruh baya itu tengah memandang seseorang, terlihat dari dahinya yang kelihatan berkerut. Lalu Shafa menggerakkan kepalanya ke arah jatuhnya pandangan mata ibu mertuanya itu. Yap, yang dilihat ibu mertuanya itu memang suaminya, Rangga yang tengah memunggungi mereka melangkah menjauh ke arah pintu ruang tunggu.

Shafa menarik pandangannya kembali menuju mertuanya. Seketika, tatap mata mertuanya teralihkan karena seorang perempuan sebaya Muthia menyenggol bahunya dan menyebabkan handphone yang tengah dipeganginya terjatuh. Segera saja keduanya terlibat perbincangan serius. Percakapan mereka sesekali ditanggapi anggukan oleh mertuanya lalu membolak balikkan handphonenya, sebentar kemudian berbicara lagi dan tersenyum setelahnya.

Nampaknya pembicaraan itu sudah berakhir dan dengan langkah cepat, mertuanya berjalan menuju kursi menantunya, sedangkan mata perempuan paruh baya itu tak lepas dari arah Rangga meninggalkan ruang tunggu rumah sakit tadi.

"Shafa, Rangga tadi ke mana? " tanyanya begitu telah menduduki kursi kosong di sebelah Shafa, kepalanya ditolehkan kembali ke arah pintu keluar masuk ruang tunggu.

"Oh...tadi katanya cari angin sebentar." Jawaban ini akan terasa janggal bagi mertuanya, tapi Shafa tidak bisa memikirkan jawaban yang lainnya. Bukankah jika dia menjawab Rangga akan ke toilet, maka Rangga tentu salah arah.

"Bagaimana sih tuh anak. Bukannya ditungguin istrinya. Ngapain coba nyari angin. Sekarang bukan saatnya. " Sang mertua mengomel dan diikuti helaan nafas lega dari Shafa. Jika itu yang keluar dari mulut mertuanya setelah yang terjadi sebelumnya, Shafa yakin ibu mertuanya tidak menyadari keberadaan Karina. Karena yang dilihat dari belakang cuma punggung Rangga. Sementara Karina berjalan di depan Rangga.

"Kamu yang sabar ya nak dengan sikap dan sifat Rangga. " Muthia menyentuh telapak tangan Shafa dengan lembut. Shafa tersenyum dan mengangguki pesan mertuanya itu.

Tak lama kemudian, Shafa dipersilakan masuk untuk memeriksakan dirinya pada Dokter Lisa, spesialis orthopedy.

Perempuan cantik berkacamata itu mengamati foto rontgen yang ada di tangannya. Lalu mulai mengdiagnosis kondisi pasiennya.

"Hmmm.... Ada dua retakan....anda bisa lihat? Ini dan...satunya di sini, tapi pada dasarnya kedua retakan itu tidak parah," terang Dokter Lisa pada Shafa dan mertuanya.

"Anda ingat nggak kira kira jatuhnya dari anak tangga ke berapa?" tanya Dokter cantik itu kembali.

Shafa menggeleng. Lalu menjawab, "Karena kejadiannya malem, jadi saya nggak begitu memperhatikan, dokter."

"Hmmm ya...laen kali hati hati aja ya. Retakan sampe dua begini sih ya saya perkirakan jatuhnya agak tinggi. Anda harus berhati hati lagi ke depannya. " Dokter cantik itu tersenyum memamerkan giginya yang rapi dan putih.

Shafa menggangguk dan membalas senyum dokter itu. Sebetulnya Shafa tidak jatuh dari anak tangga yang agak tinggi. Retakan yang kedua terjadi Shafa sangat tahu sebabnya apa. Karena terinjak kaki Rangga yang nyaris jatuh tak seimbang karena menabrak punggung Shafa. Saat itulah bunyi 'krek' di pergelangan kakinya terdengar.

Shafa menghela nafasnya pasrah. Suaminya itu bahkan tidak mendampinginya saat ini. Malah sibuk dengan kekasih gelapnya.

"Tapi ini gak apa apa kan, Dok? " tanya Muthia.

"Insya Allah tidak apa apa... Ini saya gips dulu. Nanti sekiar satu minggu lagi kita kontrol. Silakan naik ke bed dulu Mba," pinta dokter itu.

                                 ***

Tak lama kemudian, gips di kaki Shafa telah terpasang dengan rapi. Setelah meresepkan beberapa obat dan vitamin, Shafa dan mertuanya undur diri. Hingga saat itu, tak nampak batang hidung Rangga. Sepertinya urusan wanita nya itu lebih penting ketimbang istrinya sendiri.

Saat melewati koridor rumah sakit, dari arah yang berlawanan tak jauh dari tempat mereka kini, seorang lelaki sedang berjalan pula. Lelaki yang amat dikenali Shafa. Rangga suaminya. Rangga dengan mendorong kursi roda seorang perempuan paruh baya, sedang di sisinya berjalan pula seorang perempuan cantik. Siapa lagi jika bukan Karina. Mereka berjalan berdampingan seraya saling melempar senyuman. Terlihat bahagia sekali. Shafa jadi sedih melihatnya.

Terpaku melihat kebahagiaan mereka, sebentar kemudian Shafa tersadar bahwa di balik punggung perawat pria yang mendorongnya, ada mertuanya yang juga berjalan mengikuti mereka. Perawat itu lumayan tinggi sehingga punggungnya menutupi pandangan  Muthia dari arah depannya.

Mertuanya tidak boleh melihat ini. Lelaki yang menyandang status suaminya itu akhirnya menyadari keberadaan Shafa tak jauh darinya. Rangga tersentak, sebentar saja, lelaki itu melambatkan langkahnya tanpa melepas pandangannya ke arah Shafa dan perawat yang mendorongnya. Rangga kuatir jika mereka bertemu dalam kondisi seperti sekarang ini. Ibunya pasti akan marah dan bertanya dengan detail kemana saja dirinya sejak tadi, apalagi bertemu dalam kondisi saat ini, saat ada Karina di sisinya. Namun hingga detik ini, Rangga belum melihat ibunya berada dekat Shafa.

Seolah tau apa yang ada dalam pikiran Rangga, otak Shafa berpikir keras agar mereka tidak bisa bertemu.

"Mas, bisa balik ke tempat dokter Lisa? Sepertinya handphone saya tertinggal."

"Oh oke Mbak," Jawab perawat itu tanpa menaruh curiga sedikitpun.

Lelaki berseragam putih itu pun membalikkan dirinya dan kursi roda yang didorongnya ke belakang. Shafa pun bertatapan dengan mertuanya.

"Lho... Ada apa Shafa? " Tanya Muthia.

"Handphone ku ketinggalan, Bu. Mungkin ada di ruangannya Dokter Lisa,  Bu. " Lagi lagi Shafa membohongi mertuanya itu. Entah berapa kali  Shafa berbohong hari ini hanya untuk menutupi pengkhianatan suaminya.

Ya, terlepas dari siapa yang merebut siapa dalam hal ini, Rangga adalah suami sah Shafa. Hubungan suaminya dan Karina harusnya sudah berakhir setelah mereka menikah. Begitulah yang dipikirkan Shafa.

Muthia mengernyitkan dahi. Dia merasa menantunya itu sedang berbohong. Rasanya dia tidak melihat sekalipun Shafa memegang handphonenya itu selama di ruang Dokter Lisa. Tapi, tidak ingin memperpanjangnya, Muthia memilih untuk mengikuti kemauan Shafa kembali ke ruang Dokter Lisa.

"Oh.. Ayo... " Muthia membalikkan tubuhnya sekarang posisi mereka bertukar. Jika tadi Shafa yang di depan, sekarang dirinya yang memimpin jalan di koridor rumah sakit itu.

Setelah agak lama berjalan, dan Shafa mengira ngira jika Rangga sudah tidak ada di tempat tadi, Shafa mengeluarkan akting baru. Berpura pura meraba ke dalam tas yang dibawanya, Shafa pun berkata,

"Oh... Ini ternyata handphone Shafa,  Bu" Shafa menggoyang goyangkan handphonenya memberi isyarat bahwa handphone nya sudah ditemukan. Muthia mengernyitkan dahinya. Sekali lagi Muthia menemukan kejanggalan yang dirinya tidak bisa menerka apa yang sebenarnya terjadi.

"Taksi onlinenya sudah menunggu kita di pintu barat, Shafa" Interupsi Muthia. Mereka memutuskan untuk memakai jasa transport online karena Muthia tidak berhasil menghubungi Rangga. Berkali kali menelepon Rangga, tapi putranya itu tidak mengangkatnya sama sekali. Muthia heran, ke mana perginya Rangga, yang bisa diduganya hanya lah Rangga kembali ke kantornya.

Setelah mobil pesanan mereka sampai, segera saja perawat lelaki itu menopang tubuh Shafa dengan bahunya. Menaiki mobil itu dengan ibu mertuanya duduk di sisi kursi kemudi. Sebentar saja mertuanya itu sudah sibuk dengan safetybelt nya. Shafa mencari posisi nyamannya merebahkan kepalanya ke bantalan kepala motif tazmania itu. Baru saja akan memejamkan mata Shafa mendengar mertuanya memekik,

"Hah! Itu Rangga! "

Oh tidak, Shafa memilih memejamkan mata, dirinya tidak mau menghadapi kenyataan bahwa akhirnya terbongkar juga kelakuan suaminya. Shafa tidak siap jika mertuanya mengetahui semua kebohongan Rangga dan dirinya. Shafa tidak akan sanggup mengecewakan Muthia yang saat ini telah jadi pusat dunianya.

Makasih udah hadir
Jangan lupa bintangnya ya...

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang