33

18.8K 1K 10
                                    

Rangga menatap istrinya dengan keteduhan. Entah karena dirinya yang saat ini tengah dalam kondisi tak berdaya lalu Shafa dengan tangan terbukanya menerima meski dirinya memperlakukan Shafa bukan layaknya seorang, ataukah karena memang perasaan itu mulai berubah. Antara keduanya Rangga tak dapat memastikan. Yang jelas entah mengapa kala netranya terbuka lalu mendapati raut kuatir dari wajah yang terterpa kelelahan itu, Rangga menghangat. Sesuatu yang belum pernah dirasakannya ketika bersama Shafa meski sudah hitungan bulan mereka menikah.

"Masih terasa gatel, Fa." Rangga memiringkan badannya lalu menggaruk punggungnya.

"Ya udah, Mas Rangga berbalik ya. Shafa bantu olesin lagi," tawar Shafa.

"Hah?"

"Mas Rangga tengkurep. Mana yang merah di punggung Mas, Shafa olesin lagi." Shafa mengulang maksud perkataannya.

"Jadi ... bajunya ... eeengg ... di--di--buka?" tanya Rangga. Shafa mengikik pelan.

"Ya iyalah ... kalo nggak dibuka, yang dipoles bajunya dong." Shafa menggoda Rangga.

"Ta--ta--pi di ... daerah ... paha ... sama ... sama ... pantat juga kerasa gatel Fa." Terbata bata Rangga menjelaskan pada Shafa.

Shafa melongo. Jika ruam itu hanya di punggung tentu saja tak masalah. Nah ini di pantat dan paha. Jika mereka adalah pasangan istri selayaknya orang kebanyakan, tentunya hal itu tak akan jadi masalah yang berarti. Lalu ini? Oh ya ampun mereka pasti terjebak pada perasaan canggung serta malu.

Rangga kembali meringis sembari berusaha menggapai punggungnya yang gatal, namun tak berhasil. Pahanya pun ikut ikutan digaruk. Nampak sekali suaminya itu tersiksa oleh rasa gatal yang tak berujung. Shafa jadi tak tega melihat pemandangan yang ada di depannya kini.

"Ya udah ... berbalik aja. Mas buka baju---" Shafa menjeda kata katanya, lalu menahan nafas dan melanjutkan kalimatnya, "---dan celana ...." cicit Shafa.

Rangga bengong. Tapi nampaknya rasa gatal yang tak kunjung berhenti telah mengalahkan rasa malu bahkan gengsi di hati Rangga. Sekejap lalu, Ramgga sempat merasa gengsi meminta bantuan Shafa untuk meredakan gatalnya dengan mengoleskan salep tadi.

Saat dilihat ayahnya yang tertidur dengan raut kelelahan, Rangga tentu tak punya pilihan. Hanya Shafa yang terjaga saat sekarang ini. Pun meminta bantuan perawat juga Rangga masih merasa malu. Karena letak gatalnya di pantat itulah yang membuat Rangga berpikir seratus kali untuk meminta perawat perempuan itu mengoleskan salep alergi. Rangga takkan melakukannya

Akhirnya setelah terjeda beberapa saat oleh keheningan sehabis Shafa menitahkan kepada Rangga untuk membuka baju dan celananya, Rangga membuka kancing kemeja satu persatu. Disusul kemudian celana panjangnya. Kini yang tersisa hanyalah boxer suaminya yang menutupi area sensitifnya. Shafa mengalihkan pandangannya dari Rangga. Walau mereka suami istri, belum pernah Shafa melihat Rangga dalam kondisi seperti ini.

"Aaaw ...." Rangga memekik kaget kala sesuatu mendarat di kepalanya yang membuahkan rasa pedas di kepalanya.

"Dasar anak mesum! Masih sakit aja mau maunya ena ena di rumah sakit." Suara seorang perempuan sampai di gendang telinga Shafa kala kepalanya masih tertoleh ke arah jendela yang berhadapan dengan pintu kamar, otomatis Shafa tidak tahu jika ada orang yang datang.

Semilir suara mesin halus pendingin ruangan pun turut mendukung telinga Shafa yamg tak mendengar suara pintu ruang VVIP yang kedap suara. Pintu itu memang dirancang agar tidak menimbulkan bunyi demia menjaga ketenangan bagi pasien yang istirahat di dalamnya. Apalagi karena ruangannya besar, jarak pintu dan bed hospital yang cukup lebar, tentu saja membuat Shafa takkan menyadari ada yang datang.

Mertuanya. Mendengar suara omelan itu, dapat dipastikan itu adalah mertuanya. Sontak Shafa menoleh ke arah sumber suara.

"Ibu! Apaan sih! Ngomongnya gitu banget!" Rangga mengusap kepalanya.

"Pake lagi bajunya!" titah Ratu keluarga Dedy Hartawan itu.

"Mas Rangga mau diolesin ruam ruamnya, Bu ...," Shafa menyentuh lengan mertuanya lalu mengusapnya. Muthia senang sekali jika lengannya diusap usap begitu. Muthia menoleh kepada menantunya.

"Oh...bukannya mau bikin cucu buat ibu?" tanya Muthia polos.

Shafa menggeleng dan tersenyum kecut.

Cucu? Mimpi dulu deh, Bu. Kata batin Shafa.

"Ya bukanlah!" Bantah Rangga.

"Oh ... ya udah sana cepet rebahan! Fa, cepet olesin gih." Ratu kembali bertitah.

Rangga berniat Meminta ibunya yang mengolesinya. Tapi, ibunya pasti menolak. Sudah ada Shafa sebagai istri yang mengurusinya. Pastilah itu jawabannya. Lagipula, Ibunya akan curiga pada kehidupan rumah tangga mereka yang jauh dari kata normal.

Rangga telah berbaring dengan posisi tengkurap sekarang. Shafa mulai mengolesi salep alergi ke pundak Rangga.

"Ada apa ini ribut ribut," Ayah Rangga mengucek ngucek matanya sesaat lalu pandangannya yang bermula kabur itu perlahan menjadi jelas setelah kesadarannya mengumpul penuh.

"Eh, iya ya ... ada ayah nggak mungkin ena ena juga tuh dua bocah," gumam Ibu Rangga.

"Lho kok nyusul sih, Bu? Ayah bilang kan ibu gantian besok sama ayah pagi aja," tukas Ayah Rangga.

"Ibu inget ayah kalo tidur nggak nyaman pake kemeja,nih ibu bawain piyama. Lagian ibu kuatir Yah ...." Sambil berucap Muthia berderap sambil membawa paper bag yang berisi piayam menuju bed tidur suaminya yang sedari tadi tak disadari keberadannya oleh Muthia kala datang, karena letaknya yang agak tersudut. "...sama kondisi Rangga. Udah lama nggak kumat alerginya. Karena kita selalu menghindarinya memakan ikan kakap merah." Wanita paruh baya itu duduk dekat suaminya lalu menyerahkan paper bagnya. Dedy menerima paper bagnya lalu melangkah ke kamar mandi hendak mengganti kemeja dengan piyama.

Ibu Shafa sibuk merapikan bed tempat suaminya tidur, serta membongkar isi bag besarnya. Mulai dari pakaian suaminya untuk pagi besok hingga roti dan buah untuk sarapan pagi.

Sementara Ibu mereka sibuk, anak dan menantu mereka tak kalah sibuk juga menahan keinginan yang timbul akibat sentuhan di antara mereka. Keinginan lebih untuk bermesraan tentunya. Kala istrinya mengoles dengan kelembutan, Rangga merasa dirinya tersengat oleh sesutau yang mendorongnya dari dalam diri untuk berbuat lebih terhadap perempuan yang telah halal dimilikinya.

Tidak jauh beda dengan Rangga, memandang pundak kokoh dan berotot itu membuat Shafa berfantasi liar. Posisi mereka yang dekat lalu sentuhan kulit yang membawanya ke dalam imajinasi yang tak pernah dibayangkan seorang Shafa sebelum menikah membuat darahnya berdesir.

Beruntung saja mereka tak berdua di ruangan itu. Entah apa jadinya tak ada orang tua mereka di sana. Shafa dan Rangga pernah tidur dalam satu ruangan ketika Shafa sakit dan ibu mereka ada di apartemen Rangga. Namun Rangga saat itu tidur di sofa, otomatis mereka tak bersentuhan secara fisik.

Beralih dari punggung, Shafa mulai mengolesi pinggang suaminya. Gerakannya semakin lambat kala ruam merah yang hendak diolesi telah habis hingga pinggang Rangga. Dan sekarang giliran pantat. Rangga mengeluh di sana juga muncul ruam. Shafa menggigit bibirnya. Bokong  milik suaminya itu masih terbungkus boxer. Dengan ragu ragu dia hendak menurunkan boxer suaminya. Canggung dan malu rasanya. Tapi harus bagaimana lagi? Oh Tuhan ... Malunya Shafa.

Hai...
Update Shafa-Rangga nya...
Jangan lupa bintangnya ya...
Terima kasih.

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang