24

17.6K 1K 11
                                    

"Siapa yang mengijinkan kalian berpesta di kantin?" tanya Rangga mempertegas pertanyaannya.

Lagi lagi Shafa hanya terbengong. Ya benar! Walaupun pesta kecil, kantor itu bukan kantor sembarangan. Perusahaan yang lumayan besar itu tentu memiliki peraturan ketat. Mengapa mereka tak terpikirkan ke arah sana. 

Hanya satu nama yang membuat Shafa dapat menjadikannya tameng. Shafa tentu takkan mau jika Sari terkena masalah akibat idenya itu. Demi melindungi Sari, Shafa harus mengorbankan seseorang dan Shafa yakin orang itu takkan keberatan dijadikan kambing hitam.

"Aku sudah mengulangi dua kali pertanyaanku. Dan aku tak suka jika harus mengulangnya untuk yang ketiga kalinya!" Rangga dengan tegas menginterupsi Shafa.

"Eeeng...itu...George!" jawab Shafa kemudian.

George maafkan aku. Batin Shafa.

Gigi Rangga bergemeletuk tanda kegeramannya tak tersembunyikan lagi.

"Dan malam tadi kau memang pergi dengannya? Kemana saja? " tanya Rangga.

"Bu..bukan, aku pergi dengan Sari dan Ria untuk persiapan pesta," jawab Shafa.

Dengan gerakan cepat dan menyentak tas yang tadi ditaruhnya di kursi sebelah, Rangga pergi tanpa berkata apapun.

"Mas..Mas..," panggil Shafa.

Rangga tak lagi menoleh. Dirinya telah diliputi kekesalan pada George sahabatnya. Kenapa dia memberi ijin tanpa sepengetahuannya? George sudah meleawati batas menurutnya. Bisakah George tak bertindak semena mena lagi? Kemarin menaikkan gaji pegawai kantin juga tanpa kompromi. Tapi, bule itu sangat pintar membuat Rangga menandatangani keputusan kenaikan gaji karyawan kantin.

***

"Lia, hubungi Dinda untuk memberitahu George jika bule gila itu sudah datang. " Perintah Rangga.

"Ba..baik Boss!" Jawab Lia.

Roman romannye kagak bagus nih... Batin Lia.

"Lia, pesankan sarapan di kantin. Tanyakan menu mereka pagi ini apa," interupsi Rangga.

"Bos, kata mereka sarapan pagi ini cuma ada nasi uduk. Nggak ada yang lain," uar Lia tak lama setelah Rangga menginterupsinya.

"Ya sudah." Rangga tak dapat lagi memilih sarapan apa di pagi harinya. Lelaki itu sangat sering telat sekarang, sejak Shafa tak lagi menyiapkan pakaian kerjanya. Alhasil, Rangga selalu sarapan di kantor, sarapan masakan kantin yang jarang dijamahnya.

Tak lama kemudian terdengar dari jarak yang tak terlalu jauh seseorang tengah bersiul riang. Rangga tahu siapa itu. Sahabatnya itu akhir akhir ini kelihatan sangat bahagia. Kenapa?

"Hai ciiin...ada apaan pagi pagi udah nyariin kita?" tanya George dengan gaya manja yang dibuat buat.

Rangga memasang wajah dinginnya pada George.

"Mengapa sekarang lo seneng banget ngambil keputusan sendiri?" serang Rangga pada George.

Lelaki bermata biru itu mengernyitkan dahi.

"Keputusan sendiri?" tanya George kemudian.

"Apa perlu gue bilang satu satu yang mana aja!" Lanjut Rangga.

"Yang mana, dude? Oh come on, gue gak suka teka teki gini. Tolong lo to the point aja!" jawab George.

"Oke! Yang pertama masalah kenaikan gaji anak kantin, yang kedua masalah pesta anak kantin. Kenapa apa apa tuh anak kantin yg lo perhatiin. Inget George mereka itu cuma supporting, tau nggak? Lo jadinya kesannya gak fair sama bagian lain, gue udah ngerasa lo timpang," jelas Rangga dengan raut kesalnya.

"Oke, lo denger penjelasan gue! Yang pertama soal kenaikan gaji, gini Ngga anak kantin selama setahun belakangan ini belum pernah naek gaji. Gue juga baru merhatiin setelah Shafa masuk... " George belum selesai bicara.

"Shafa lagi...Shafa lagi...ini yang bikin lo nggak profesional, George! " Kertas di atas mejanya diremukkan oleh Rangga.

"Gue belum selesai bicara, Rangga! Lo denger dulu penjelasan gue, attitude lo mana, gue lagi ngomong lo potong gitu. " Omel George dan menjeda penjelasannya hingga hening beberapa detik di antara keduanya.

"Jadi gini, oke gue akui setelah ada Shafa gue jadi nggak profesional." George melanjutkan penjelasannya

"Ngeliat daftar gaji Shafa yang gue rasa kurang pas untuk ukuran seorang anak angkat komisaris perusahaan kita, gue lalu berpikir untuk naikin gaji dia, tapi pas gue cek ternyata emang gaji mereka belum ada kenaikan selama ini. Pas gue tanya ke Bu Maria, katanya sepertinya bagi direksi bagian kantin hanyalah supporting, jadi sering dianaktirikan. Akhirnya gue inisiatif naikin semua. Ini masalah sepele. Buat apa coba lo mikir ginian. Makanya gue nggak kompromi ke elu. Ini perkara sepele, Rangga!" jelas George.

"Sepele dari mana? Ini masalah keuangan George! Gimana kalo sampai akhirnya mengganggu keuangan perusahaan?" tanya Rangga asal asalan akhirnya.

"Oh...come on dude...gue udah bicarain ini dengan direktur keuangan. Dan lagi kenaikan yang cuma dua puluh persen untuk anak kantin yang jumlahnya kurang lebih hanya dua puluhan orang, itu gak akan berarti apa apa untuk perusahaan kita yang asetnya puluhan triliun. Mana mungkin gue melakukan tindakan yang bisa ngancurin keuangan perusahaan, gila aja!" lanjut George kemudian.

"Oke, itu sih gue udah bisa terima. Sekarang masalah pesta. Lo ngijinin mereka berpesta? Itu ide lo sendiri? Yang bener aja. Lo sih pedekate boleh aja. Cuma lo pikir dong, gimana dengan karyawan kita dari divisi laen. Bisa iri mereka," terang Rangga.

"Oh my God...Rangga. Mereka iri? Apa yang bisa membuat mereka iri? Denger Rangga, anak anak kantor udah sering ngerayain pesta dan itu tidak melibatkan anak kantin. Am I right? Oke.., dan sekarang anak kantor iri sama anak kantin di mana letaknya? Kalo kita ngadain pesta di ballroom hotel, bahkan pernah kita ngajakin mereka ke Bali untuk liburan, bahkan OB aja ikut waktu itu. Anak kantin? Nggak ikut! Lo denger ya Ngga, mereka itu seperti terpisah sendiri dari kantor ini. Jadi siapa yang sepantasnya iri sekarang." George diam sesaat memperhatikan wajah Rangga dapat dibacanya tengah memikirkan sesuatu.

"Dan yang perlu lo tau, mereka cuma merayakan sesama mereka karena istri Arif ketahuan hamil, jadilah temen temen Arif inisiatif ngadain syukuran kecil kecilan gitu, makan makan aja Minjem ruang cafe. Menurut gue gak ada salahnya lagi ...." George melihat raut muka Rangga yang sudah melunak dari sejak awal mereka bicara. George menunggu Rangga berbicara, namun nampaknya jawaban George telah membuat Rangga tak mampu lagi berkata kata.

"Awalnya mereka ngadain pesta itu patungan pake uang mereka masing masing, ya kan kasian juga cuma acara gitu doang mereka harus urunan. Jadi gue yang minta Bu Maria memfasilitasi mereka." George memecah keheningan yang menyelimuti keduanya beberapa saat.

"Gue udah ngasih penjelasan ke elo, sekarang lo jawab gue, sejak kapan lo jadi uring uringan hanya karena gue ngambil keputusan kecil kek gini? Fokus lo itu bukan hal seperti ini. Dan lagi sejak kapan lo jadi picik gini?"

Rangga terdiam mendengar perkataan George. Dirinya pun bingung harus menjawab apa. George benar. Sejak dulu dia tak pernah protes jika George mengambil kebijakan yang tidak terlalu krusial bagi perusahaan. Kerjasama mereka di dalam perusahaan sangat baik. Sangat jarang mereka bertengkar permasalahan pengambilan keputusan. Masing masing punya wewenangnya. Dan Rangga tahu keputusan yang diambil George sebuah keputusan yang tidak mengganggu jalannya perusahaan dan cukup adil bagi karyawan kantin.

Lalu kenapa dia tiba tiba marah karena George memberi perhatian pada Shafa? Cemburukah dia?

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang