43

18K 937 15
                                    

Hari masih panjang. Langit jingga saja masih sangat jauh. Rangga mengendarai mobilnya dengan tidak sabaran. Entah mengapa suasana hatinya mendadak kacau hanya karena melihat George memakan bekal yang sedianya diantar Shafa untuk dirinya. Ditambah dengan interaksi George dan Shafa yang sempat mengusik Rangga membuatnya memutuskan untuk mengantar Shafa pulang pada akhirnya.

Selama dalam perjalanan pulng keduanya diliputi keheningan. Shafa tak habis pikir dengan suaminya itu. Sebentar dingin, sebentar marah, lalu bersandiwara manis. Pikirnya ada lelaki labil begini?

"Kenapa tadi nggak nelpon dulu waktu mau nganter bekal?" tanya Rangga yang pandangannya sama sekali tidak beralih dari jalanan yang ada di depannya.

"Shafa udah nelpon, tapi Mas Rangga sibuk," jawab Shafa. Rangga terdiam, rahangnya tampak mengeras.

"Maaf ...," ujarnya kemudian.

"Untuk?"

"Ck! Untuk nggak angkat telepon lah!"

"Hmmm ...."

"Fa, ambilin nasi sama ikan balado kayak yang dimakan George tadi ...," pinta Rangga pada Shafa saat mereka sampai di ruang makan. Tadinya Shafa hendak mengambil minum dari kulkas, ternyata Rangga malah duduk di ruang makan, dan meminta diambilkan nasi.

"Oh oke ... bentar ...," jawab Shafa.

Shafa duduk menatap suaminya makan dalam ketenangan. Dia tidak mengira ternyata suaminya itu mau makan lagi. Padahal tadi sudah makan di kantor.

"Lho ... lho ... lho ... baru makan? Bukannya tadi dianter bekal sama Shafa?" tanya Ibu Rangga.

"Oh, tadi sedikit makannya. Mau nambah Bu ...," jawab Rangga sekenanya.

"Ibu mau bicara sama kalian berdua," ujar Muthia saat Rangga telah menyelesaikan makannya. Pasangan suami istri itu saling pandang. Mereka kuatir jika Ibu mengetahui rahasia mereka. Walaupun Ibu akan tahu mengenai ini, tapi tidak untuk dalam waktu dekat ini.

"Gimana rencana bulan madu kalian? Terus apa kalian tidak ingin menyelenggarakan resepsi. Dan kau Rangga, bukankah kau pernah janji ke ibu bahwa kau akan mengadakan resepsi dengan konsepmu sendiri," cecar Muthia.

"Oh ...," Shafa menarik nafas lalu menghembuskan pelan. Lega, karena Shafa mengira ibu mereka akan bicara soal Karina atau tentang kebohongannya mengenai status Shafa.

"Hmmm ... ya Rangga sedang pikirkan Bu, dalam waktu dekat juga belum bisa, Bu. Ada proyek pembangunan resort di Bali, Bu. Rangga nggak mau pecah konsentrasi, Bu," jawab Rangga.

"Resepsi pernikahan itu perlu, Rangga. Supaya orang-orang tahu bahwa kalian sudah menikah. Terus, masalah bulan madu. Kapan kalian akan bulan madu?" lanjut Muthia.

Rangga dan Shafa diam. Mereka saling tatap. Shafa lebih dulu melepas kontak mata mereka. Ada debaran aneh di hatinya kala mereka saling pandang. Shafa akan berusaha menghilangkan debaran itu. Jika itu dinamakan api cinta, Shafa akan memadamkannya. Sebab dia sudah terperangkap dalam permainan yang diciptakan Rangga. Tidak ada cinta pada Rangga, Shafa akan pastikan itu. Mengikuti permainan hingga akhir adalah jalan terbaik. Jika dia mencintai Rangga, dia akan sakit suatu hari nanti manakala semua ini berakhir. Shafa akan mengikuti sandiwara Rangga menyenangkan mertuanya. Dia berharap mertuanya akan mengingat Shafa dan Rangga pernah memiliki kenangan manis. Pernah merasakan bahagia.

"Secepatnya, Bu. Kami akan rencanakan bulan madu secepatnya, Bu, iya kan sayang?" Shafa menggenggam lembut jemari suaminya yang bebas di atas meja makan. Rangga tersentak. Namun, dia dapat menyembunyikan keterkejutannya akibat ulah Shafa yang berani menggenggam tangannya. Karena Shafa tidak biasa melakukannya, selama ini yang bersandiwara hanya Rangga.

Rangga mengangguk bingung dan ragu. Shafa memberi kode menggeleng sedikit hingga Muthia takkan menyadarinya.

"I ... iya Bu, kami akan rundingkan terlebih dahulu soal ini sekalian aku nyocokkin dengan jadwal kantor," lanjut Rangga kemudian seolah paham maksud Shafa.

"Aku sudah selesai makan siang. Aku ke kamar dulu, Bu. Yuk ... sayang ...," ajak Rangga sambil menggenggam keras tangan Shafa hingga gadis itu jadi meringis. Shafa berkata dalam hati pastilah dia akan mendapat masalah karena menyetujui ide bulan madu Muthia.

"Nggak balik ke kantor lagi?" tanya Muthia.

"Aku lagi pengen berdua istriku, Bu. Siapa tahu dia cepet tekdung, " Rangga berbicara sambil sorot mata tajamnya tak lepas dari menatap Shafa, disertai seringaian yang Shafa jadi bergidik melihatnya, dan dia yakin kali ini masalah besar akan dihadapinya.

"Eh ... bagus itu ... sering seringlah pulang makan siang kalo gitu ...," ujar Muthia.

Keduanya cuma tersenyum. Rangga tersenyum kecut, Shafa tersenyum takut. Sejurus kemudian Rangga menarik tangan Shafa dalam cekalan genggamannya yang kuat.

"Apa itu tadi?!" tanya Rangga dengan kilatan emosi yang nampak dari bola matanya ketika mereka sudah berada di kamar.

"Tidak ada, Shafa hanya ingin menuruti permintaan ibu sebelum pernikahan kita berakhir. Kita di sini kan bersandiwara. Dan Shafa sekarang akan mengikuti permainan Mas untuk bersandiwara juga. Ayo kita ikuti permintaan ibu. Mas Rangga tenang saja, Shafa akan menjaga hati untuk tidak mencintai Mas saat melakukan sandiwara kita. Ini benar benar murni sandiwara. Shafa takkan melakukannya dengan melibatkan hati, jika itu yang Mas takutkan. Akan Shafa kunci rapat hati ini. Setelah ini jangan salah paham dengan akting Shafa. Let's play the game. Oke?" Kata Shafa.

Mendengar penuturan Shafa ada sedikit kecewa manakala Shafa berkata akan mengunci hatinya agar tidak jatuh cinta saat memerankan menjadi istri yang bahagia dalam rumah tangganya.

"Sejak kapan kau berpikiran seperti ini?" tanya Rangga.

"Sejak Shafa melihat betapa gigihnya George memperjuangkan cintanya. Shafa nggak terbayang jika Shafa menolak George karena Shafa adalah istri Mas, pasti dia akan kecewa berat. Akan berbeda jadinya jika Shafa menolak karena Shafa tak mencintainya. Akan terjadi prahara jika kita tidak melakukannya dengan benar hingga akhir. Ada banyak hati-hati yang kecewa. Shafa sudah banyak berpikir soal ini. Kita harus sempurnakan permainan ini. Jangan sampai sandiwara kita ketahuan pada akhirnya. Dan Shafa akan siap. Satu-satunya yang membuat Shafa meragu adalah Ayah dan Ibu. Tapi, Shafa yakin walaupun perpisahan adalah jalan untuk kita, Ayah dan Ibu takkan marah. Bagi mereka kebahagianmulah yang utama. Sedangkan Shafa, Ibu dan Ayah tetap akan menganggap Shafa anaknya. Jadi, mulai hari ini Mas jangan heran dengan perubahan sikap Shafa ya ... mungkin kita akan lebih sering melakukan kontak fisik, " kata Shafa.

Rangga yang mendengar penjelasan Shafa merasa sedikit hatinya tercubit. Shafa kembali mengingatkannya tentang hubungan mereka yang akan berakhir dengan perceraian. Entah mengapa ada setitik rasa tak senang dengan ucapan Shafa baru saja.

Namun di sisi lain, dia senang dengan ide Shafa. Gadis itu akan memuluskan keinginannya untuk menikahi Karina.  Namun, Rangga tidak menemukan kelegaan ketika mereka baru saja membuat kesepakatan. Ketika jalan menikahi Karina terbentang di depan mata, dia tidak merasakan kebahagiaan sebagaimana layaknya orang yang sedang hendak menikahi kekasih yang dicintainya. Rangga tak memahami hatinya. Jika diingat ingat, dia lebih merasakan kenyamanan saat bersama Shafa. Pada Karina, perasaannya mulai hambar. Tapi, mungkin itu semua hanya perasaannya. Batin Rangga berperang.

"Baiklah, kalau begitu. Let's play the game, kita akan rencanakan bulan madunya," ujar Rangga kemudian.

"Mas ..., Shafa punya permintaan ...," Shafa berucap meleburkan kebekuan yang terjadi beberapa saat lalu.

"Apa itu?"

Kira-kira apa yang diminta Shafa ya.

Jangan lupa bintangnya ya
Terima kasih...

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang