37

18.2K 1K 36
                                    

Belum selesai Shafa menjawab, Rangga telah menarik tangan dia untuk mengikutinya. Dengan langkah lebar-lebar Rangga tidak mengimbangi sedikit pun langkah Shafa yang kecil-kecil. Hingga Shafa seperti berlari mengikuti langkah Rangga. Jangan ditanya bagaimana kabar tangannya. Cekalan Rangga sangat kuat. Shafa dapat memastikan jika pergelangan tangannya itu memerah.

Semua mata menatap mereka. Sejak malam pesta ulang tahun perusahaan, banyak yang berspekulasi mengenai hubungan mereka. Namun, semua kembali teredam setelah melihat kedekatan George dan Shafa. Hampir tiap hari George makan siang di kantin dengan ditemani Shafa. George yang ceria sering membuat Shafa bergelak tawa. Siapapun yang melihatnya pastilah menganggap mereka tengah saling dimabuk asmara. Hingga dugaan Rangga dan Shafa saling mencintai pun lenyap tak berbekas yang sempat menjadi topik hangat beberapa waktu yang lalu.

Tapi, hari ini mulai dari ruang makan di kantin, pelataran kantor, lobi, hingga lift, Rangga yang memegang erat pergelangan Shafa tak ayal kembali mengundang pergunjingan di antara karyawan kantor mereka. Melihat cara Rangga menyeret Shafa, ibarat kekasih yang tengah marah. Bukan mereka ingin mencampuri urusan atasan mereka. Hanya saja, hubungan Shafa yang adik angkat Rangga lah yang menuai banyak keganjilan di dalam pikiran orang kebanyakan. Bagi mereka tak mustahil jika Rangga dan Shafa saling jatuh cinta tapi mungkin saja terhalang restu Pak Dedy komisaris utama perusahaan mereka.

Bukan Rangga tak tahu tatapan orang orang yang dilewatinya. Namun, ada yang lebih penting dari sekedar gosip yang diciptakannya.

"Kenapa kau menghindariku?" tanya Rangga ketika mereka sudah berada di ruangan CEO yang kedap suara serta pintu terkunci dari dalam.

Shafa diam. Mengapa seolah dia marah karena Shafa menghindarinya. Apa karena dia merasa kehilangan Shafa? Dapatkah Shafa berharap demikian?

Hening. Shafa dengan wajah tertunduknya, sementara Rangga masih berkacak pinggang di balik jasnya.

"Baiklah. Jika kau menghindariku karena kejadian malam itu, aku minta maaf. " Karena sudah terlalu lama mereka dalam kebungkaman, mau tidak mau Rangga memulai lebih dulu untuk berbicara kembali.

Shafa menatapnya dengan mata berkaca kaca.

Maaf? Untuk apa maaf? Bahkan jika kau melakukannya sesuatu yang lebih, itu adalah hakmu. Asal memang kamu lakukan karena aku adalah istrimu. Bukan sebagai pelampiasan. Itu yang aku tidak rela. Shafa membatin.

Rangga mendekati Shafa dengan tatapan sendunya. Entah mengapa ada rasa perih melihatnya berkaca-kaca. Tapi, Rangga takut salah langkah kembali. Jangan sampai Shafa menghindarinya lagi, sekarang ada masalah yang lebih penting daripada itu.

"Aku ingin minta tolong padamu," kata Rangga.

"Ya ampun, ternyata dia minta maaf ada udang di balik batu. Sudah kuduga. Kupikir dia minta maaf karena memang dia merasa salah," kata Shafa dalam hati.

"Minta tolong apa? Apa yang bisa Shafa bantu?"

"Eyang sakit. Ayah harus merawat Eyang untuk sementara, karena Eyang cuma mau dirawat oleh Ayah. Jadi Ibu minta kita menemaninya di rumah besar malam ini," kata Rangga.

"E--e--eyang sakit?" tanya Shafa.

"Ck! Makanya jangan menghindariku terus! Sudah dua hari yang lalu ibu minta kita ke sana untuk menemaninya. Aku sama sekali tidak bisa mengajakmu bicara kalo kau menghindariku seperti kemarin. Dan ini tak bisa dibicarakan lewat telepon," jawab Rangga.

"Oke, nanti aku akan bereskan pakaian dulu. Jam berapa kita berangkat?" tanya Shafa.

"Jam delapan malam. Aku ada pertemuan dengan kolega perusahaan sore ini. Mungkin malam baru pulang," kata Rangga.

"Oke ... aku balik ke kantin dulu kalo begitu," pamit Shafa. Shafa pun membalikkan badannya untuk melangkah menuju pintu.

"Tunggu dulu ...," sergah Rangga. Shafa pun membalikkan badannya menghadap Rangga.

"Ya ...?"

"Aku ingin di depan ibu, kita bersandiwara layaknya suami dan istri. Dan kita akan tidur sekamar. Jangan takut aku takkan macam macam," kata Rangga. Yang cuma diangguki patuh oleh Shafa.

"Aku ingin tiap aku berangkat ke kantor, kamu cium tangan aku seperti dulu waktu pertama kali kita menikah---" Rangga menggantung kalimatnya lalu menghembuskan nafasnya. Shafa mengerjap ngerjapkan matanya berusaha mencerna kata-kata suaminya itu.

Tidur sekamar? Mencium tangan? Tanya Shafa dalam hati.

"Baiklah ... aku akan bersikap seperti istri istri orang kebanyakan," jawab Shafa.

"Terima kasih ...," kata Rangga.

"Untuk?" tanya Shafa.

"Untuk berusaha membahagiakan orang tuaku ...," kata Rangga.

"Mereka juga orang tuaku, Mas!" jawab Shafa.

                                 ***

Matahari telah naik ke permukaan berangsur angsur memberi kehangatan setelah dingin hadir menemani kelamnya malam.

Rangga tengah memasang kancing kemejanya di kamar dengan senyum senyum sendiri. Yah, pagi ini senyumnya terbit hanya karena di tepi ranjang kamar Rangga__sebelum menikah__sudah tersedia jas, kemeja serta celananya yang dipilihkan Shafa.

Sejurus kemudian dia turun menuju meja makan, dia yakin Shafa di sana tengah menyiapkan sarapan mereka. Karena sejak Rangga bangun, dia tidak menemukan Shafa di kamar.

Dan benar saja, Shafa tengah menata sarapan pagi mereka di meja makan.

"Mudah mudahan Eyang cepet sembuh ya, Fa. Ibu bakal sepi kalo ayah kelamaan di sana," kata Muthia yang tengah mengunyah roti bakarnya.

"Iya, Bu ... Shafa ju---" belum selesai Shafa bicara, Shafa yang tengah menuangkan susu untuk mertuanya itu sontak menoleh ke belakang karena ada yang mencolek pinggangnya.

"Ih ... ngagetin aja ...," tukas Shafa.

"Morning my wife... "

Cup

Shafa menegang mendapat ciuman dari Rangga. Tumben sekali kata hati Shafa. Hanya beberapa detik saja ingatan Shafa kembali pada hari di mana Rangga meminta mereka bersandiwara. Oh ini bagian dari sandiwara

"Hmmm ... ganjen ...," komen Muthia.

"Kenapa? Ibu kangen sama Ayah?" ledek Rangga yang hanya dibalas kekehan oleh Muthia.

"Fa, ini pasangin dasi Mas dong. Udah biasa dipasangin kamus soalnya," rengek Rangga. Shafa mendelik sewot, yang dibalas pelototan oleh Rangga serta mulutnya yang komat kamit memaksa Shafa memakaikan dasi sesuai keinginannya. tentu saja semua drama itu terjadi dari balik punggung Muthia, jadi mertuanya itu tak melihat ekspresi mereka saat ini.

Sebetulnya Shafa tidak masalah dengan sandiwara yang jauh dari elspektasinya. Hanya saja kata kata 'udah biasa dipasangin kamu' itu yang membuat Shfa mual. Alih alih memakaikan dasi ke kemeja Rangga, baju yang dipilihkan Shafa saja tak akan dipakainya, kecuali dasi pemberian Karina, jika Shafa memilih dasi itu sebagai padanan kemeja kerjanya, baru akan dipakainya. Itu saja hanya dasinya. Tidak satu paket dengan jas dan celana.

"Sini ...," Shafa mengalah juga akhirnya.

Shafa memakaikan dasi pada Rangga. Kedekatan keduanya membuat jantung Shafa tidak beraturan lagi detaknya. Apalagi Rangga memperhatikan istrinya itu tak berkedip.

Sejurus kemudian, setelah Muthia menhabiskan susunya, dia hendak beranjak menuju kamarnya. Setelah berbalik mendapati menantunya yang tengah memasangkan dasi, Muthia teringat sesuatu.

"Lho ... kok dasi itu sama dengan yang waktu itu Ibu buang?"

Hahaha...
Dasi? Jadi dasinya? Ah sutralah yaa...

Jangan lupa bintangnya ya, terima kasih...

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang