(6) Kedatangan Ibu Mertua

16.7K 1K 2
                                    

Matahari sudah naik sepenggalah. Sayup sayup terdengar suara orang dari bawah. Syifa pun mengira Rangga sudah pulang. Namun, semakin dekat suara itu, Shafa dapat menduga bahwa itu bukan suara laki laki namun suara perempuan. Seperti sedang mengomel. Lamat lamat suara itu semakin jelas suara seorang perempuan. Hah??? Ibu???

Gawat...gawat...ya Tuhan...Ibuuuuu??? Gimana kalau ibu tau kami pisah kamar? Aku sekarang bukan di kamar utama. Bagaimana ini???

Shafa mencoba bangkit dengan sepenuh tenaga sisanya pagi ini. Rasa sakit yang mendera sudah diabaikannya. Berjalan terpincang dengan menahan nyeri kaki yang sakitnya sungguh tak terperi. Tentunya bukan sesuatu yang mudah bagi wanita lemah seperti dirinya yang bahkan dalam kondisi luka harus berjalan cepat untuk berpindah ke kamar utama yang ada di sebelah kamar Shafa saat ini.

Suara ibu mertua masih berada di bawah nampaknya. Masih ada kesempatan bagi Shafa untuk segera berpindah. Ditahannya segala rasa sakit yang ada, dan pada detik ke 15 Shafa sudah berada di depan kamar utama. Saat itu pula suara langkah kaki ibu Rangga terdengar sedang naik ke atas dan berbicara,

"Kemana anak itu, pasti dia seneng aku bawakan semur daging kesukaannya. Eh...Fa...ada toh kamu di rumah? Ibu panggil dari tadi mau ngajak kamu ma...lho lho lho..kenapa keningmu?"
Ibu Rangga melihat Shafa berdiri sambil memegang daun pintu kamar utama, menyenderkan tubuhnya di situ karena kakinya sudah tidak mampu lagi menopang tubuhnya.

"Ibu...kapan ibu datang?", Shafa bertanya dengan suara pelan, karena jika dia bersuara lebih kencang, pastilah nyeri hebat di kepala menghampirinya.

"Baru saja, dari tadi ibu panggil, rupanya kamu masih di kamar. Dan kenapa keningmu itu?"

Shafa berjalan pincang menuju ibunya dan meraih tangan ibu mertuanya itu lalu menciumnya.

"Shafa jatuh Bu..", lirih suara Shafa menjawab pertanyaan sang mertua.

"Oalah...pantesan dari tadi Ibu panggil kamu ndak denger, kaki kamu juga pincang tuh Fa. Apa karena jatuh juga?"

Shafa menggangguk. "Ya udah yuk masuk lagi ke kamar, ibu bantu."

Pfuuuh...selamat...selamat...

Muthia membantu Shafa berjalan masuk ke kamar Rangga. Dan bertanya,

"Apa saja yang sakit nih Fa? Terus gimana ceritanya kamu bisa jatuh?"

Shafa merebahkan dirinya di kasur milik Rangga, lalu menjawab pertanyaan ibunya.

"Shafa nggak apa apa kok bu...jatuh dari tangga aja gitu. Kesandung."

"Emang kapan jatuhnya sih? Terus Rangga tau nggak kamu jatuh?"

"Pagi tadi bu jatuhnya...Mas Rangga tau kok Shafa jatuh...sekarang lagi beli obat pereda sakit Bu..." Shafa berbohong.

"Oooh...terus apa lagi yang sakit...kita kerumah sakit ya Fa? Periksa kakimu. Habis kamu makan obat pereda nyeri ya...," pinta Muthia

"Enggak usah bu, palingan besok juga udah sembuh, Shafa butuh istirahat aja kayaknya."

"Kayaknya enggak gitu deh Fa, kakimu harus kita periksa. Takut ada apa apa, Fa."

"Tapi Shafa berasa pening banget bu, nanti aja ya bu, kalo peningnya reda," pinta Shafa.

"Oh...pening juga. Ya udah ngga bisa ditawar lagi Fa, kamu harus tetep ke rumah sakit. Minum obat dulu apa ya? Supaya peningnya reda."

Shafa menggangguk.

"Ini Rangga udah lama belum ke apoteknya Fa? Beli obat kok lama banget, emang yng merk apa sih yang dicari?"

Deg

Shafa lupa dengan kebohongannya tadi. Shafa jadi bingung.

"Ya udah, sebelum obatnya datang kamu makan bubur ya Fa, abis itu minum obatnya kalo Rangga udah pulang."

"Iya...bu."

Muthia pun melangkahkan kakinya menuju dapur, ketika sang mertua dirasa sudah ada di lantai bawah, segera Shafa mengambil HP nya yang ada di kantong piyama.

Drrrrt...drrrrt...drrrrt...

Shafa is calling...

Rangga mengernyitkan dahinya. Angkat saja, siapa tahu penting. Dari pertama nikah, perempuan itu tidak pernah menelpon Rangga, jadi kalo sekarang dia menelpon, kemungkinan penting. Begitu pemikiran Rangga.

"Hallo..."

"Mas, Ibu ada di apartemen sekarang"

"Hah???"

"Dan aku bohong sama ibu kalo Mas Rangga keluar untuk beli obat pereda nyeri"

"Ini aku udah mau nyampe rumah"

"Mas aku minta tolong belikan obat pereda nyerinya ya. Aku takut ketauan boong sama ibu, please."

"Oh, oke"

Klik

Shafa memutuskan sepihak sambungan telpon mereka karena sakit kepala hebat kembali menderanya. Bicara lebih lama lagi Shafa tidak sanggup. Apalagi mengetik pesan whattsap untuk mengingatkan Rangga perihal kebohongan Shafa, sungguh Shafa tidak kuat lagi, bahkan sekedar menatap layar handphone. Karena tiap matanya berkedip pun, sakit itu akan kembali. Tak lama kemudian Shafa pun terlelap.

Rangga gelisah mendapat telpon dari Shafa. Dirinya tadi meninggalkan Shafa yang jatuh begitu saja. Dan sekarang ada ibu di rumah. Bagaimana kalo Shafa mengadukan perbuatannya pada ibu??? Rangga memukul mukul setir mobilnya.

Aaaaarrrrgggh....

Dan lagi lagi bukan keadaan Shafa yang dipikirkan Rangga, malah pengaduan Shafa pada ibunya yang dikuatirkan pria dewasa itu.

Muthia menoleh ke arah depan saat mendengar langkah kaki yang masuk ke dalam rumah. Rangga putranya datang dengan menenteng plastik kecil. Dengan ragu Rangga melangkah ke dapur di mana sekarang ibunya berdiri.

"Ibu...kapan datang?" sapa Rangga menghampiri sang bunda. Lalu mengecup pipi ibunya.

"Baru aja, lama amat sih beli obatnya. Shafa harus cepat minum obat itu. Pening kepalanya bikin dia nggak bisa bangun. Ke atas dulu gih, temenin Shafa. Ibu mau nyelesaikan masak bubur ini, obatnya taro aja di situ, ntar Ibu bawa ke atas barengan buburnya kalo udah jadi," titah ibu Rangga.

Ketakutan Rangga atas perbuatannya pada Shafa lenyap sudah setelah mendengar kalimat pertama yang keluar dari lisan ibunya itu. Rangga tahu jika Shafa menyembunyikan perbuatannya, karena kalo tidak, yang didengarnya pertama kali saat ibu bertemu dengannya pastilah omelan yang panjang bahkan bisa jadi ibunya marah besar. Nyatanya saat ini tidak. Rangga harus bertanya apa yang terjadi, bahkan Rangga bingung kamar mereka terpisah, tapi ibunya sama sekali tidak membahas hal tersebut.

Dengan berlari Rangga menaiki lantai dua apartemennya. Rasa penasarannya harus dituntaskan dengan berbicara pada Shafa.

Mendapati pintu kamarnya yang terbuka lebar, Rangga pun segera melihat ke dalam kamarnya itu, sesuai dugaan Rangga, Shafa berbaring di kamarnya.

Rangga menarik nafas panjang lalu menghembuskannya. Lega yang dirasakannya dan tanpa disadarinya lelaki itu tersenyum tipis. Sungguh dirinya tidak tau apa yang Shafa katakan pada ibunya sehingga semuanya dalam kondisi terkendali.

Melangkah pelan menuju kasurnya, Rangga dapat melihat wajah Shafa yang tidur dengan tenang. Saat sudah di tepi ranjang, Rangga menyingkirkan sebagian rambut panjang Shafa yang menutupi mata sebelah kiri wanita itu.

Menyadari ada orang di dekatnya, Shafa membuka mata. Saat dilihat yang datang adalah suaminya, Shafa berusaha bangkit. Melihat pergerakan Shafa, reflek Rangga membantu menyenderkan punggung Shafa pada kepala ranjang di kamar itu.

"Mas..."

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang